Aku adalah seorang pelajar Indonesia di Malaysia yang tengah melanjutkan studi demi meraih gelar sarjana muda. Perlu diketahui kampusku tidaklah bertempat di pusat kota, tidak dekat dengan pemukiman penduduk, tapi cukup ramai warga di dalamnya.  Tahun lalu dengan berat hati aku harus merayakan lebaran di kampus tanpa bisa berkumpul bersama sanak saudara di kampung halaman. Kenapa? Harga tiket melonjak drastis. Keterbatasan dana. Waktu liburan yang sangat singkat. Itu adalah beberapa alasan mengapa aku tidak bisa mudik ke tanah air. Oke, bagaimana rasanya? Sepi. Satu kata yang dapat menggambarkan suasana lebaran di sana. Hampa. Kata lain yang bisa mewakili perasaanku kala itu. Ya, lebaran di negeri tetangga itu ternyata tidak enak. Tidak ada ronda sahur keliling. Tidak ada pawai bedug keliling di malam takbiran. Tidak ada tradisi sungkeman selepas sholat Ied di hari raya.Makanan lebaran yang berbeda yang rasanya tidak sama dengan masakan di tanah air. Tidak ada tanda-tanda kalau lebaran telah tiba. Terlebih-lebih yang membedakannya adalah warung-warung makan tetap buka dengan menunjukkan orang-orang yang makan di dalamnya secara terang-terangan. Ya, negeri tetangga ini memang tidak didominasi besar oleh orang muslim. Cukup banyak juga warga non muslim di dalamnya. Teman-temanku yang non muslim itu tanpa malu makan dan minum dengan sengaja di depan kami yang berpuasa. Hal yang sangat jarang kita temukan di tanah air. Walaupun tidak sedikit juga warga Indonesia yang bukan muslim, mereka tetap menghormati dengan tidak makan dan minum di depan kita. Ya dapat dikatakan kalau itu semua karena perbedaan tradisi berpuasa dan berlebaran antara negeri kita dengan negeri tetangga seperti yang telah kujelaskan di atas. Kalau di tanah air suasan Ramadhan sangat kentara dan terasa. Di sana tidak. Oh ya satu lagi perbedaan yang cukup terlihat yaitu tradisi mudik lebaran. Hal itu tidak bisa kurasakan di negeri tetangga ini.
KEMBALI KE ARTIKEL