Namun, kebijakan hilirisasi ini tidak lepas dari tantangan global. Uni Eropa (UE) telah "menggugat" Indonesia di World Trade Organization (WTO) dengan tuduhan bahwa pembatasan ekspor nikel dianggap melanggar Pasal XI dari Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT 1994) yang melarang negara-negara anggota WTO untuk memberlakukan pembatasan kuantitatif ekspor. adapun Indonesia berdalih bahwa kebijakan hilirisasi nikel ini sudah sesuai dengan Pasal XX(d) GATT, yang pada intinya menyatakan bahwa pembatasan ekspor nikel diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan WTO pada November 2022 yang memenangkan klaim Uni Eropa tersebut menjadi pukulan berat bagi strategi hilirisasi Indonesia. Indonesia telah mengajukan banding namun proses ini terhenti akibat lumpuhnya Badan Banding (Appelate Body) WTO. Lumpuhnya badan ini akibat Amerika Serikat tidak memberikan persetujuan terhadap pengisian kekosongan hakim banding WTO. Kelumpuhan ini memang disatu sisi memberikan kesempatan untuk mengulur waktu bagi Indonesia untuk mempertahankan kebijakan hilirisasinya. Namun, situasi ini bagaikan bom waktu yang bisa meledak di masa depan, karena jika Badan Banding kembali berfungsi dan memutuskan untuk menyatakan Indonesia melanggar peraturan WTO, maka Indonesia akan kesulitan mempertahankan kebijakan hilirisasinya, dan akan berpengaruh terhadap target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran.