Pram menyatakan bahwa secara psikologis bangsa-bangsa Barat yang datang ke Nusantara itu "tidak punya [trauma terhadap] rasa takut", sementara masyarakat Nusantara setiap hari bertumbuh-kembang untuk memiliki rasa takut: takut terhadap Sandekala, takut jika duduk di ambang pintu, takut jika ada gerhana bulan, takut jika Nyi Rara Kidul murka, dsb. Sementara bangsa-bangsa Barat akan "membuat kapal yang seramping mungkin" sehingga betapa pun jauh tujuannya, mereka akan tetap sampai.
Jawa -- menurut Pram dalam novel yang sama -- kehilangan kekuasaannya di Singapura karena tentara Jawa bertempur dengan mekanisme rasa takut, yaitu berkumpul; sementara Portugis -- lawan Jawa waktu itu -- mengelilingi mereka secara diam-diam dan individual, sehingga tahu-tahu pasukan Jawa sudah terkepung.
Namun Pram tidak menjelaskan, apakah nenek moyang sebelum zaman yang dinovelkan Pram itu (yatu abad ke-16 Masehi) juga punya hal-hal kejiwaan yang sama. Mungkin karena Pram tidak mengetahui temuan arkeolog setelah ia meninggal: bahwa gambar-gambar perahu kemudian ditemukan di beberapa gua purbakala di Sulawesi, menginformasikan bahwa pelayaran sudah biasa dilakukan oleh bangsa-bangsa di Nusantara sejak 4.000 tahun sebelum Masehi.