Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Punk Parokial: Resurjensi Kesalehan, Deklinasi Idealisme, Mistifikasi Perjuangan, dan Bias Kemanusiaan

28 Juni 2024   13:32 Diperbarui: 29 Juni 2024   10:52 34 1
Mengamati fenomena mereka yang melabel diri sebagai anak punk, musisi punk, hingga yang bangga melabel diri seorang sosialis hingga anarkis yang pro-Palestina atau pro-Hamas itu amat sangat menggemaskan. Punk yang berkubu pada gambaran besar kedamaian, kesetaraan, dan kemanusiaan tidak semestinya terjerembab dalam dangkalnya keberpihakan kepada kubu otoritarian beragenda supremasi golongan. Seorang punk, sosialis, dan anarkis sepatutnya skeptis dan kritis menyangkut narasi-narasi mistifikasi semacam ini. Agen perdamaian independen seharusnya mampu mengidentifikasi keresahan utama perihal siapa yang menjadi korban dogma, agenda, dan propaganda picik para tiran, hegemon, dan despot pendamba supremasi agama berkedok humanisme ini.

Di sinilah esensialnya literasi terhadap kontranarasi, agar benak tidak masif dijejali satu sisi warta semata. Punker lokal varian ini biasanya tumbuh dengan pupukan sistematis dan masifnya dalil-dalil kelangitan yang fasis, rasis, serta sumpah serapah mantra dogma arkais sekte mayoritas yang membentuk metode analitiknya bias, tendensius, dan tidak imparsial. Untuk band punk bergaya sok populis yang harus mempertahankan eksistensinya tentu dihadapkan kebutuhan mendesak untuk mempertahankan dan mengais popularitas. Menilik demografi negeri budak yang mayoritas muslim, pro-Palestina, dan pro-Hamas tentunya narasi 'Free Palestine' sangat aman, nyaman, dan profitabel. Sejatinya punk adalah ideologi intersubjektif superposisi. Punk tidak berkubu pada entitas semu berlabel Palestina, Israel, Islamisme, maupun Zionisme. Punk tidak berkubu pada otoritarian beserta proksi-proksinya. Jika ingin bermain aman dan bernyaman-nyaman jangan nge'Punk'.

Kenaifan dan buruknya kemampuan analitik-holistik membuatnya tidak menyadari bahwa mereka sedang turut serta dalam mengonstruksi resurjensi bias kemanusiaan yang mengangkangi perjuangan idealis punk itu sendiri. Maka tidaklah mengherankan jika varian 'Punk Muslim', 'Sosialis Religius', 'Anarkis Saleh', dan 'Para Kamerad Taslim' semakin menjamur di negeri yang mayoritas bangsanya masif berbangga diri antre dalam barisan perbudakan dogma, mengekor tren 'Metal Tauhid' yang sama konyol dan bodohnya. Punk varian ini layak dilabel 'Punk Parokial'---punk yang terjebak dalam popularisasi dan takut untuk tidak populer--punk saleh dan delusional yang masih nyaman dalam buaian bualan dogma destruktif yang gersang dan tandus hingga ke akar. Punk memang tidak mati, tapi ia berevolusi, merangkak menuju deklinasi.

Hingga kini punk belum bisa beranjak dari identitas manifestasi sikap ideologis utopis sosialis kontra punk sebagai skop musik. Seorang punk tidak harus menyukai genre musik punk, dan penggiat atau penyuka genre musik punk belum tentu seorang punk. Punk terlalu dangkal untuk sekadar menyematkan atribut dan kosmetik, terlihat serampangan, garang, funky, dan keren. Punk itu skeptis, kritis, dan berdikari. Punk adalah 'be-yourself' dan 'do-it-yourself'. Punk itu imparsial, keberpihakannya selalu kepada gambaran besar kedamaian, kesetaraan, dan kemanusiaan. Punk adalah utopia yang bersandar pada manusia dan kemanusiaannya, tidak kepada entitas-entitas otoritas berlabel agama, negara, dan isme-isme konservatif, terstruktur, sistematis, dan masif. Punk melawan peperangan tanpa berperang, anarki menegasi kekuasaan tanpa berkuasa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun