Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Genderang Antikorupsi dari Panggung Teater

17 Juli 2012   09:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:52 120 0
Korupsi masih mencolok meski nyaris tak sepi dari olok-olok. Persembahan Teater Kini, Jakarta ingin membangkitkan kesadaran bahwa watak koruptif kerap kali merasuki kesadaran setiap orang.

Layar perak selebar 10 meter persegi itu menyuguhkan detik-detik runtuhnya jembatan Mahakam, di Tenggarong Kalimantan Timur September 2011 lalu. Jembatan yang berdiri gagah sepanjang 710 meter itu lantak dalam hitungan detik. Tali-tali pengait putus satu persatu diiringi terjerembabnya jembatan yang baru berusia 10 tahun itu ke dasar sungai. Tragis, puluhan kendaraan bersama ratusan orang yang melintas di sana terjun bebas.

Momen mengharukan itu tampil mengawali pementasan Drama Komedi Satire persembahan Teater Kini di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin malam pekan lalu. Melibatkan puluhan seniman teater Jakarta, pementasan yang hendak menggelorakan kembali semangat antikorupsi itu sengaja mengambil tema “Neko”, negosiasi dan kompromi.

Dua kata tersebut merangsang Arif Firmansyah, penulis naskah lakon itu, untuk dipergelarkan dalam pertunjukan teater yang akan digelar di sejumlah daerah itu. Demi mewujudkan idenya, ia dan kalangan seniman teater Jakarta sempat menyambangi Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk mendiskusikan perjuangan antikorupsi yang dilakukan lembaga itu.

Peristiwa rubuhnya jembatan kebanggaan warga Borneo itu menjadi salah satu topik yang muncul kala membicarakan korupsi. Banyaknya korupsi dan mark up di sektor infrastruktur membuat bangunan publik minim kualitas. ”Ini menggelisahkan kami sebagai pekerja seni,” tutur pimpinan produksi Andi Salomo.

Selain karut-marut korupsi infrastruktur, komedi fiksi berdurasi 60 menit ini juga berkisah tentang kaburnya sejumlah tersangka megakorupsi ke luar negeri. Tak ingin sekadar nyinyir soal penyakit korupsi, Teater Kini ingin mengajak publik bercermin pada diri sendiri, mengkritik diri dengan lelucon, bahwa perilaku koruptif kerapkali diam- diam merasuk ke dalam diri setiap warga negara.

Peristiwa itu pula yang tampak menonjol dalam sosok tokoh Nurodin, diperankan Arif Firmansyah, tersangka korupsi pengadaan jembatan yang buron keluar negeri. Sempat buron di sejumlah negara, sambil menebar misteri dan ancaman pada para koleganya, sebelum akhirnya dicokok polisi. Nurodin mewakili sosok salah seorang koruptor negeri ini yang kerap tampil di muka publik bukan sebagai pesakitan.

Nurodin yang kabur bersama anak dan istrinya tampil seperti saudagar yang tengah berlibur menghabiskan uang recehan. Tak heran jika ia mendapat perlakuan khusus saat dijebloskan dalam tahanan Asosiasi Pemutihan Korupsi (APEK), lembaga penegak hukum yang khusus menangani perkara korupsi di negerinya.

Kendati kerap ditekan petinggi APEK, ia tak segan terus mengulang pengakuan bahwa ia bukanlah si jahat, tapi hanya seorang yang dijadikan korban. Alhasil, sidang yang digelar berkali-kali tak berhasil menemukan bukti siapa pelaku utama. Sidang memutuskan rubuhnya jembatan adalah sebuah musibah, yang harus ditanggung bersama. Pengakuan Nurodin yang membuat semua pelaku terbongkar tetap saja tak mengubah rubuhnya jembatan sebagai akibat kejahatan korupsi. Temuan tim independen yang menyatakan adanya kesalahan dalam sistem sambungan jembatan pun tak digubris majelis hakim.

Kecurigaan publik muncul Sebagai pimpinan sidang, Yang Mulia membenarkan semua keterangan Anggora, saksi kunci yang memberikan penjelasan rinci atas rubuhnya jembatan. Demi mendengar kesaksian Anggora, kemarahan Nurodin memuncak. Tapi ia tak bisa berbuat banyak karena semua bisa diatur di persidangan, dikompromikan. Kendati terjerat pasal korupsi, Nurodin dan Anggora hanya menerima vonis ringan.

Sosok Yang Mulia dalam adegan ini bukan Presiden atau pimpinan lembaga penegak hukum yang begitu banyak di negeri ini, melainkan watak yang sudah banyak merasuk dalam kesadaran banyak orang. Watak inilah yang hendaknya juga menjadi musuh bersama dalam memberantas korupsi di negeri ini. “Ajakan memberantas korupsi sebaiknya dimulai dari diri sendiri,” kata Andi.

Gurita korupsi di negeri ini diakui Andi juga berjalin erat dengan persepsi masyarakat terhadap korupsi. Karena itu, upaya pemberantasan korupsi tak melulu bisa dilakukan oleh penegak hukum. Alangkah baiknya jika publik menghidupkan kesadaran antikorupsi sejak dari pikiran dan tindakan sehari-hari.

Meminimalisir korupsi bukan perkara mudah. Namun, setidaknya, pementasan hasil besutan Teater Kini dengan ICW dalam rangka menyambut hari antikorupsi, 9 Desember mendatang itu mengajak kita kembali pada kesadaran, bahwa memberantas korupsi tak dimulai dari lembaga penegak hukum, tapi dari diri kita sendiri.[] Anom B Prasetyo

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun