Proyektor yang disemprotkan ke dinding itu menampilkan adegan dialog dua siswa yang baru saja keluar pintu kelas usai mengikuti ujian nasional. “Sop buntutnya matang,” ucap satu siswa berseragam putih abu-abu. “Sop buntutnya gurih,” sahut siswa yang lain.
Itu salah satu cuplikan dari film dokumenter yang diputar Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait kecurangan ujian nasional di kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jakarta, Senin pekan lalu. ‘Sop buntut’ adalah sandi untuk bocoran kunci jawaban yang didokumentasikan seorang siswa di sebuah SMA di Jakarta tahun lalu.
Dalam video itu terungkap kunci jawaban disebarkan seorang siswa yang merupakan “bandar”. Video juga memperlihatkan di mana siswa menyembunyikan kunci jawaban yang mereka tulis di kertas kecil. Ada yang ditempel di kaus kaki, kerah baju, dan di balik baju.
Pemutaran film ini bagian dari acara pembentukan Posko Pengaduan Kecurangan dan Perlindungan Pelapor Kecurangan UN oleh ICW. Posko yang didirikan ICW bersama jaringannya itu ada di 18 Kabupaten/kota se-Indonesia. Posko selain menampung laporan kecurangan juga akan memberikan bantuan pendampingan pelapor ke LPSK. Upaya ini dilakukan agar orang atau saksi yang melihat kecurangan UN berani melapor. Serta melindungi saksi agar tidak takut diintimidasi dan diserang. Upaya ini untuk mengantisipasi seperti terusirnya ibu Siami dari Gadel, Surabaya.
Posko hingga saat ini menemukan terjadinya sejumlah kecurangan. Tak hanya saat UN berlangsung, tapi juga sebelum dan sesudahnya. “Sejak 2003 kami amati polanya begitu,” kata aktivis Koalisi Pendidikan, Lodewyk F Paat.
Sebelum ujian berlangsung, kata dia, ada banyak sekolah yang “mencuci” rapot guna mengatrol nilai ujian sekolah. Rapot yang baik membantu nilai UN jika hasilnya di bawah standar. Kunci jawaban soal juga ditemukan beredar pagi-pagi sebelum UN dimulai. Siswa kadang harus menebusnya dengan sejumlah uang, ada pula yang diperoleh dari panitia ujian. Bahkan dari pihak pengawas ujian dan pimpinan sekolah.
Di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, fakta pahit itu juga terungkap. Saat UN berlangsung, Selasa pekan lalu, seorang pengawas menemukan kunci jawaban dan menyitanya. Namun, setelah mengkonfirmasi kepala sekolah, ia justru diminta mengembalikan kepada peserta ujian.
Peristiwa serupa terjadi di Tangerang, Banten, dan tujuh daerah lainnya. Di banyak sekolah, tak butuh waktu satu jam, separuh siswa telah selesai menggarap soal. Umumnya, peserta hanya membaca soal sekilas. Di posko Jambi, tiga hari menjelang hari pertama ujian, testimoni seorang siswa menyatakan, pukul 19.00 para siswa mendapat bocoran kunci jawaban. Kunci sama persis dengan soal yang diujikan pada Senin, 24 April lalu.
Salah satu modusnya, dalam kajian aliansi masyarakat sipil, kebocoran terjadi setelah soal diambil dari rayon menuju sekolah masing-masing tanpa ada pengawalan. Ujian yang digelar pukul 08.00, ada jeda 3 jam untuk menyalin kunci jawaban dan membocorkannya, dari pengambilan soal pukul 05.00. “Tak jauh beda dengan modus kecurangan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, Kamis pekan lalu.
Adanya bocoran mengindikasikan sistem UN 2012, terutama untuk jenjang SMP, tak dapat diandalkan. Peneliti ICW Febri Hendri menyesalkan kebocoran UN yang berulang ini. Selain mengajarkan ketidakjujuran dan kecurangan, secara hukum, bocoran soal dan kunci jawaban merupakan tindak pidana pembocoran rahasia negara. “Terbukti proyek UN tak efektif dan harus dievaluasi.”
Bukti-bukti dari lapangan itu tengah disiapkan, termasuk selembar kertas ukuran 5 x 15 sentimeter berisi kunci jawaban. Pekan ini juga, aliansi akan menyerahkannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Langkah ini tak sekadar mengungkap kasus per kasus. Kecurangan UN menurut Listyarti hanyalah gunung es dari gagalnya sistem pendidikan nasional.
Pelibatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), menurut dia, menjadi penting. LPSK amat diperlukan demi menjamin identitas pemberi testimoni di sejumlah daerah. Dalam catatan FSGI, para guru di Garut pelapor kecurangan UN 2007 masih mendapat intimidasi hingga kini. Pelapor dari kalangan guru diancam diturunkan pangkatnya, sementara pelapor dari kalangan siswa diancam dibatalkan kelulusannya. Bagi PNS bahkan diancam dimutasi atau diturunkan pangkatnya. “Intimidasi dilakukan Disdik setempat,” ungkap Listyarti.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri mengakui UN bukan 100 persen parameter kelulusan. UN 60 persen, selebihnya, 40 persen ditentukan dari ujian sekolah. Kewenangan pusat 60 persen, menurut Wakil Menteri Dikbud Musliar Kasim, sudah menjadi ketetapan. “Kalau hanya sekolah yang menentukan, tidak ada yang belajar anak-anak,”katanya, Rabu pekan lalu.
Musliar tak yakin kecurangan UN mudah terjadi, seperti yang dilansir aliansi masyarakat sipil berupa lembar kunci jawaban. “Anda yakin itu kunci soal? Itu belum tentu kunci soal dan belum tentu kecurangan,” Musliar bertanya balik. Ia mengaku sudah mencek sendiri kesiapan soal UN ke percetakan. Soal dibuat sedemikian rupa, bahkan pegawainya pun tidak membaca. Sejumlah pelanggaran yang terjadi menurutnya akan terus diperbaiki. “Untuk itu kita buat pakta integritas buat guru. Guru yang melanggar kena hukuman.”
Namun Koalisi Pendidikan yang kekeuh menuntut penghapusan UN dinilai Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Rochmat Wahab, terlalu berlebihan. Dalam UN peserta didik dilatih berkompetisi secara fair. Hanya saja, kompetisi dimaksud harus dilakukan secara sehat agar tak menghalalkan segala cara untuk bisa lulus. “Kalau nggak lulus, jangan disalahkan UN-nya,” ujarnya.
Kecurangan UN yang berulang, menurut dia, harus dicari akar masalahnya, kenapa masih ada pihak sekolah yang membocorkan. Pakar pendidikan ini hakulyakin kecurangan terjadi karena pihak sekolah tidak siap. Kendati tak bisa disamaratakan, UN tetap perlu untuk mengukur kompetensi peserta didik. Selain UN, moralitas menjadi bagian penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Jika seorang siswa ketahuan mencontek, menurut dia, harus diberi sanksi dan bukannya diberi bocoran. Karena itu, UN harus dijalankan secara fair agar tak memberi contoh buruk pada siswa. Menyalahkan sistem pendidikan karena adanya pelanggaran UN, kata perumus naskah akademis UU Sisdiknas ini, “seperti buruk muka cermin dibelah.”[] Anom B Prasetyo
Mingguan Prioritas 30 April 2012.