Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Pertanyaannya Sederhana: Niat atau Enggak Sih?

19 Agustus 2011   15:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:38 122 0
Mungkin sudah ribuan kali anda mendengar Hadist yang populer dan menjadi inti ajaran Islam yakni: “ Setiap amalan tergantung dari niatnya” (Hadist Shahih Bukhari) . Seringkali pula hadist ini diplesetkan segelintir orang yang ingin melucu namun sama sekali tidak lucu dengan kalimat langsung semacam: “yang penting sudah niat, sudah dapat amalannya”. Waaah saya seperti melihat dagelan yang oleh masyarakat ibukota dibilang garing puol. Anda tahu, sebetulnya tidak memerlukan analisa yang jlimet dan catatan untuk menyimpulkan hadist sederhana namun maknanya dahsyat tersebut. Namun karena banyaknya peyimpangan yang terjadi maka saya tergoda untuk membuat catatan ini. Sebelum saya memaparkannya, ada baiknya anda menyimak kisah yang terkait dengan topik ini: Dari Abu Sa’id al Khudri diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w bercerita: Dahulu sebelum kalian, ada seorang pemuda yang telah membunuh 99 nyawa. Ia kemudian mencari orang alim, dan ditunjukkan kepadanya seorang pendeta. Iapun mendatanginya. Ia mengatakan kepada si pendeta bahwa dirinya telah membunuh 99 jiwa orang dan menanyakan apakah masih bisa bertobat? Pendeta menjawab, “Tidak”. Pemuda itu segera membunuh si pendeta, dan korbannya pun menjadi 100 jiwa. Setelah itu, pemuda tersebut mencari seorang alim lagi, dan ditunjukkan kepadanya seorang yang alim. Kepada orang alim itu ia menceritakan bahwa dirinya telah membunuh 100 jiwa. Apa ada kesempatan bertobat? Orang alim itu menjawab,” Tentu! Siapa yang bisa menghalangimu untuk bertobat? Pergilah engkau ke tempat itu– orang alim itu menunjukkan suatu tempat–karena di sana orang-orang melakukan ibadah kepada Allah Swt. Beribadahlah bersama mereka. Janganlah engkau kembali ke negerimu, sebab negerimu adalah tempat yang buruk.” Pemuda itu pun pergi. Namun, tatkala ia berada di tengah perjalanan, maut menjemputnya. Ketika itu, malaikat rahmat dan malaikat azab bertikai. Malaikat rahmat berkata,” Ia datang sebagai orang yang bertobat dengan mengarahkan hatinya kepada Allah Swt.” Malaikat azab menjawab,” Ia sama sekali belum melakukan kebaikan.” Lalu datanglah satu malaikat dalam rupa manusia untuk menengahi mereka berdua. Ia berkata,”Ukurlah jarak antara 2 daerah itu, kemana ia lebih dekat.” Merekapun mengukurnya. Ternyata tempat kematian pemuda itu lebih dekat ke daerah yang dituju sehasta. Maka malaikat rahmat membawanya. (HR. Bukhari dan Muslim) Hakekat Niat Dari kisah tersebut, seharusnya dengan mudah dapat dimengerti ketika kita sedang meniatkan sesuatu maka judge yang pertama yang didapat atau sudah ditentukan ada 2, yakni: 1. apakah niat itu baik atau buruk, dalam arti mendapat nilai positif atau negatif. Kemudian, 2) bobot nilai dari niat itu juga sudah ditentukan, yang dalam bahasa kualitatif (karena kita manusia tidak bisa atau diberi hak mengukurnya) adalah kecil, sedang sampai besar. Yang masih tertunda adalah diterimanya sertifikat nilai  yang sah dari amalan tersebut karena niat yang sudah dicetuskan itu belum dilaksanakan. Kabar baiknya adalah, ketika niat tadi sudah dicetuskan, maka sesuai kisah tadi adalah bahwa proses menuju pelaksanaan yang sempurna (amalan) dari niat tersebut akan selalu dinilai secara akumulatif sampai akhir. Doa adalah Sebuah Niat Dalam pengertian seperti yang dipaparkan, niat yang kuat akan menghasilkan dorongan yang kuat pula pada seseorang untuk melakukan amalan yang diniatkannya. Lain halnya dengan niat yang separuh hati atau tidak tulus. Dorongan untuk meraih nilai amalannya dipastikan sangat lemah. Terkait dengan ini, doa yang merupakan permohonan kepada Allah juga merupakan sebuah niat. Ketika seseorang berdoa memohon sesuatu, maka ketulusan doanya itu otomatis adalah ukuran yang sama sekali tidak bias terhadap besarnya niat. Cobalah anda berdoa, misal anda berdoa agar dihindarkan dari perbuatan dosa tertentu yang sudah menjadi kebiasaan. Tidaklah sekonyong-konyong doa itu akan membuat anda melepaskan diri dari kebiasaan buruk itu tanpa dilambari oleh sebuah niat yang kuat. Niat , Visi dan Kepentingan Permasalahan yang dihadapi adalah, interaksi manusia yang hidup secara sosial juga berdampak pada pelebaran makna niat. Dalam sebuah kelompok atau organisasi, dapat dipastikan mereka mempunyai tujuan yang diniatkan bersama. Ketidaksamaan niat pada masing-masing individu akan berdampak pada hancurnya kelompok tersebut. Dalam bahasa organisasi, niat yang dirumuskan bersama inilah yang disebut sebuah visi. Visi ini tertulis secara terbuka dan disosialisasikan kepada segenap anggota organisasi untuk diketahui dan diresapi dan dilaksanakan sesuai peran parsial mereka masing-masing. Adalah tugas dari seorang pemimpin untuk berniat dan menjaga arah dan kesatuan organisasi untuk mencapai visi yang telah disepakati. Jika niat-niat individu yang negatif dan menyimpang dari visi yang mulia terus berkembang, maka niat-niat buruk itu akan bertemu satu sama lain membentuk sebuah niat kelompok karena niat buruk individu tidaklah kuat untuk dipenuhi jika mereka tidak bersatu. Kelompok inilah yang kemudian akan menyamakan dan menyatukan niat buruk mereka. Berbeda dengan visi yang mulai dan dipaparkan secara terbuka, kesatuan niat buruk ini cenderung untuk tidak mengemuka, bersifat “gerakan bawah tanah”, dan terjaga dengan rapi. Kesatuan niat buruk itulah di dunia modern saat ini lebih popuper disebut sebagai kepentingan ( karena kata ini sekarang cenderung dikonotasikan negatif akhir-akhir ini. Bukan pemaknaan bahasa) Jika masih banyak sekelompok kepentingan lain dalam sebuah organisasi yang bervisi, maka dipastikan organisasi itu akan terombang-ambing oleh berbagai kepentingan. Namun jika semua kepentingan (buruk terhadap visi) itu menyatu, maka dipastikan terjadi konspirasi yang sangat kuat sehingga individu-individu yang berkomitmen terhadap visi akan tergilas dan teraniaya. Pelaku-pelaku utama adalah barang tentu tidaklah salah jika dialamatkan pada individu-individu yang mempunyai kekuasaan untuk menyalurkan kepentingannya ataupun mampu menyetir elemen individu lain untuk sejalan dengan kepentingannya. Kaidah pertanggungjawaban terhadap seorang pemimpin adalah hal yang sangat mutlak dan tidak perlu diperdebatkankan karena kepemimpinan itulah yang akan berkuasa untuk mengolah niat, kepentingan atau merujuk kepada visi yang mulia. Maka seharusnya sangat mudah untuk membuat dugaan awal kenapa sebuah organisasi, baik itu kecil sampai besar (jika besarnya sampai ke tataran negara, itu hak anda memaknainya) tidak mampu menjadi sebuah tatanan yang baik, yakni karena para pemimpinnya memang tidak berniat ke arah itu *Tulisan juga dimuat di blog pribadi penulis di http://anung.sunan-ampel.ac.id/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun