Wisata Sejarah dan ‘Terapi Mata’ di Candi Cetho
Hari kedua tur, rombongan Kompasianers berkunjung ke Candi Cetho. Candi berlatar agama Hindu itu terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, provinsi Jawa Tengah. Dari kota Solo sekitar pukul 8 pagi, kami langsung menuju Karang Anyar mengikuti petunjuk ke air terjun Parang Ijo. Setelahnya, kami mengikuti papan penunjuk yang mengarah ke Candi Cetho. Sejak memasuki kabupaten Karang Anyar, kami disuguhi pemandangan sawah di kiri-kanan jalan. Sampai di daerah Kemuning, mata kami dimanjakan panorama perkebunan teh yang bak permadani hijau. Senang rasanya disajikan pemandangan indah tersebut, hal yang jarang kami temui di ibukota negara. Betapa tidak, ‘hutan beton’ di Jakarta lebih menjamur ketimbang kawasan hijau seperti sawah dan kebun. Makanya, kami tak menyia-nyiakan kesempatan berterapi mata dengan ‘melahap’ seluruh penampakan lereng barat Gunung Lawu itu.
Namanya juga di kaki gunung, jalan menuju Candi Cetho berkelak-kelok. Bahkan di beberapa bagian, jalanan pada bolong-bolong nan terjal, mobil yang ditumpangi serasa mengarungi ombak laut saja. Aku sampai berpikir, orang yang gampang mabuk, pasti bakal muntah-muntah di dalam mobil. Syukurlah, tak satu pun di antara kami yang mabuk. Namun demikian, kondisi jalan bak lautan ini sangat tak disarankan dilalui oleh wanita yang lagi hamil tua. Khawatir di tengah jalan, tiba-tiba perutnya mules minta lahiran. Berabe khan? hehe.
Mendekati candi, jalanan makin menanjak. Mobil yang kami tumpangi sempat tertahan di tengah tanjakan, karena mobil di depan kami tampak ‘berat’ mendaki. Untunglah, pak supir sigap menyalip mobil tersebut. Rasa was-was kami pun berkurang, fiuuuh. Setibanya di tempat parkir Candi Cetho, hawa sejuk nan segar lekas menyusup ke dalam paru-paru kami. Sembari menunggu rombongan lain yang menumpangi mobil putih, kami melihat-lihat cendera mata yang dijual di lapak depan loket karcis. Tak lama kemudian, mobil yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Tapi ooh... kenapa hanya ada supir? Lantas ke mana 3 penumpangnya? Ternyata mbak Agatha cs mendaki tanjakan curam dengan berjalan kaki. Soalnya mobil nggak kuat menanjak, jadi mereka terpaksa turun lebih awal untuk mengurangi muatan. Ketika mereka bertiga tertangkap mata kami, kentara sekali pada ngos-ngosan. Capek ya, mbak? *plak! Udah tahu, pake nanya, xixixi. Peace ^^v
Syukurlah, mereka sampai di lokasi pada waktu yang tepat. Soalnya tak lama mereka tiba, kabut tebal menyelimuti puncak Desa Gumeng yang terletak 1.496 meter di atas permukaan laut. Andai kabut tebal menyergap saat mereka tengah menanjak bukit, agak ngeri membayangkannya. Boleh jadi mbak Agatha cs tersesat dalam kabut! Hiii... Ngomong-ngomong, baru kali ini aku menyaksikan kabut tebal dari dekat, depan mata kepalaku sendiri. Aku jadi punya gambaran betapa tegangnya George, Anne, Julian, Dick yang terjebak kabut tebal dalam serial Lima Sekawan : Rawa Rahasia. Pandangan mengabur, sulit banget melihat kejauhan. Terus, tiba-tiba dingin sekali seolah ada invisible hand yang membelai wajah kita. Aku dan beberapa teman rombongan cepat-cepat ke pintu masuk candi, karena di sana kabutnya tipis. Walau ada juga sebagian dari kami yang sempat-sempatnya selfie dengan background kabut tebal tadi *tepokjidat. FYI, mengunjungi Candi Cetho nggak perlu merogoh kocek dalam-dalam, lho. Karcis bagi wisatawan lokal seharga 3000 perak saja, sementara untuk wisatawan asing ‘cuma’ lebih mahal 7000 rupiah. Cukup terjangkau bukan?
Candi Cetho merupakan warisan leluhur berwujud 13 teras (kini hanya 11 teras), yang membentang dari timur ke barat, makin tinggi ke arah puncak. Sukar membayangkannya? Ingat-ingat saja bentuk punden berundak-undak pada masa prasejarah. Seperti itulah gambaran fisik Candi Cetho. Tiap-tiap teras ditandai sebuah pintu gerbang dan dihubungkan oleh jalan setapak yang seakan-akan membelah pekarangan candi menjadi dua sisi. Ketika karcis sudah di tangan, kami lekas mendaki menuju pintu pagar kompleks Candi Cetho. Setelah melewati pagar, kami bersua sepasang arca penjaga yang disebut arca Nyai Gemang Arum.