Setelah sekian lama tidak ada perubahan, atas saran seorang teman pengajian yang turut prihatin melihat tingkah pola Kriwil, si ibu kemudian mendatangi seorang Psikolog . Ia menceritakan duduk persoalannya, mengapa si Kriwil bisa senekat itu dan mengapa perubahan terjadi pada Kriwil yang dulunya ketika masih di Pesantren merupakan anak berprestasi dan santun tapi setelah keluar dari pesantren menjadi seperti kuda liar yang lepas kendali. Sang Psikolog yang sudah sangat berpengalaman dalam menangani kasus-kasus serupa pun mengangguk-angguk demi mendengarkan cerita si ibu, dengan menaruh simpati yang besar. Sang Psikolog pun memberikan beberapa saran berupa 3 langkah yang harus di tempuh sang ibu dan ayah agar anaknya bisa kembali menjadi Kriwil yang dulu; yang baik dan berprestasi.
Adapun 3 langkah yang dianjurkan oleh Psikolog kepada sang ibu adalah, pertama; Kriwil harus hengkang dari rumah orang tuanya dan kos di daerah dekat kampus dia menuntut ilmu, kedua: Kriwil hanya boleh menerima uang saku untuk keperluan diri dan kuliahnya separuh dari jatah biasanya dari orang tuanya. Yang ketiga adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang separuh lagi, dia harus bekerja di Toko milik ayahnya dengan mendapatkan upah yang sama dengan karyawan ayahnya yang lain. Dan apabila Kriwil melanggar ketiga langkah ini, dia harus di hukum dengan tidak dibenarkan bertemu dengan kedua orang tuanya selama 1 bulan, demikian juga kalau orang tuanya melanggar ketiga langkah ini karena kasihan kepada anak semata wayang mereka, maka mereka pun tidak diperkenankan bertemu dengan Kriwil selama 1 bulan. Psikolog itu menyuruh mereka datang lagi tiga bulan berikutnya.
Meski teramat berat, mengigat si ibu dan ayah Kriwil sangat menyayangi anak mereka dan selama ini selalu berusaha memenuhi kebutuhan Kriwil, namun karena prilaku Kriwil dianggap sudah meresahkan masyarakat kampong hingga stadium empat, maka mau tidak mau orang tua Kriwil harus mengikuti saran Psikolog tersebut meski sebenarnya tidak tega. Kriwil memang selama ini tidak mandiri dan orang tuanya selalu memposisikan dia sebagai anak yang harus dipenuhi segala kebutuhan dan nyaris tak pernah terpikir oleh Kriwil bagaimana orang tuanya banting tulang untuk menyekolahkannya hingga kuliah. Orang tuanya tak pernah cerita suka duka mereka membangun bisnis toko bahan bangunan milik mereka dan Kriwil tak pernah dilibatkan sekalipun dalam bisnis tersebut. Dia bahkan tak pernah tau dimana toko bangunan milik ayahnya. Dia hanya terima beres.
Singkat cerita, meski dengan mengeras-ngeraskan hati si ibu yang teramat cintanya kepada Kriwil dan si ayah yang selalu ingin menjadi pahlawan bagi setiap kebutuhan Kriwil pun melaksanakan saran Psikolog tersebut. Bulan pertama teramat sulit. Kriwil pernah kabur dari kosnya dan bermohon berjam-jam di depan gerbang rumahnya agar dibukakan pintu oleh si ibu, tapi tekad orang tua ini telah bulat. Demikian juga dengan pekerjaan di Toko, Kriwil mengancam karyawan yang lain dan memaksa mereka agar mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya namun segera si Ayah dengan tegas menghukum Kriwil dengan tidak menggajinya selama 1 bulan dan mewajibkan Kriwil mengerjakan sendiri pekerjaannya tanpa bantuan orang lain.
Masa-masa sulit itu pun berlalu dalam 3 bulan seperti direncanakan. Kriwil berubah. Kini dia jerah dan tau orang tuanya tidak bisa dikibuli lagi seperti dulu. Orang tuanya mendatangi Psikolog dan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga karena Kriwil tidak lagi balapan liar dan tidak mabuk-mabukan apalagi mencuri. Hidupnya lebih terarah, bahkan dia memutuskan bertahan untuk tetap kos dan bekerja dengan gaji yang sama dengan karyawan lain di toko ayahnya sendiri.
***
Pertanyaannya, mengapa Kriwil bisa berubah dalam waktu 3 bulan saja? Apakah karena saran brilian dari Psikolog itu? Atau karena kekuatan hati dan niat tulus orang tuanya untuk membantu Kriwil memperbaiki diri? Sering kali karena teramat cintanya, orang tua lupa kalau anaknya akan mengalami masa yang sulit penuh tantangan di dunia luar dan tidak senyaman seperti di dalam rumah atau dalam dekapan hangat orang tua. Seringkali Orang tua menginginkan yang terbaik dan mengusahakan yang terbaik bagi anak-anak mereka dengan cara-cara yang tidak “mendidik”. Kasih sayang bisa seperti dua sisi mata uang yang bertolak belakang. Bila kita salah mempersepsikan kasih sayang maka sangat fatal akibatnya bagi perkembangan jiwa si anak di masa depannya.
Dalam kasus Kriwil, saran yang paling jitu sekalipun belum tentu dapat merubah prilaku buruk menjadi prilaku baik, apalagi membuat prilaku baik itu mejadi permanen untuk seterusnya. Setelah niat baik orang tua, maka kekuatan hati untuk tetap konsisten menjalankan langkah perbaikan yang sudah disepakati menjadi pilar utama. Sering para orang tua enggan menjatuhkan hukuman, tidak tega memberi sangsi yang keras atas perbuatan anak yang sudah jauh diluar batas kebaikan. Hal ini berakibat buruk pada psikologi anak. Anak yang cenderung dibiarkan berprilaku buruk akan dengan sangat mudah mempermainkan hati orang tua. Karena dia yakin seburuk apapun prilakunya, orang tuanya toh tidak akan sampai hati menghukum. Begitu pula hukuman yang tidak wajar, keras tapi tidak mengandung maksud atau pelajaran positif yang akan membekas, justru malah membuat anak semakin menjadi-jadi prilaku buruknya.
Kemudian, orang tua -- sanking PD nya lebih mempercayakan pendidikan akhlaqul karimah (budi pekerti) kepada lembaga-lembaga sekolah (Pesantren dan sekolah-sekolah yang mengklaim banyak menanamkan unsur religiousitas). Bahkan mereka, para orang tua kita yang budiman itu rela mengelontorkan sekian juta uang untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah bergengsi yang memadukan intelektual dengan kecerdasan emosional ini. Tidak ada yang salah dengan sekolah-sekolah jenis ini. Tapi yang mesti digaris bawahi adalah seberapapun baik atau mahalnya sekolah dan keinginan besar orang tua untuk menjamin anak mereka mendapatkan pendidikan dunia akhirat, tetap saja perhatian dan pendidikan dari mereka sendirilah yang paling utama dan menjadi landasan dasar bagi perkembangan prilaku anak-anak mereka. Inilah yang sering luput dari perhatian orang tua selaku teladan dan guru pertama dan utama bagi anak-anak mereka.
Anak-anak yang dibesarkan dengan kasih sayang yang tulus. perhatian yang besar melalui intensitas pertemuan yang berkesan bersama kedua orang tua mereka, lebih mampu mengembangkan diri mereka secara positif daripada anak-anak yang hanya dibesarkan dengan pemenuhan fasilitas dan tuntutan orang tua atas prestasi akademis yang harus diraihnya. Apa sebab? Keteladanan dan pengalaman spiritual adalah jawabannya. Orang tua yang selalu mendampingi putra-putrinya pada masa-masa penting mereka dan bersedia “memberikan” waktu terbaik mereka sebagai fasilitator demi menjawab segala sesuatu yang asing yang belum diketahui anak-anak titipan Tuhan ini sehingga mereka akan memiliki rasa percaya diri yang lebih dari cukup untuk menghadapi tantangan dunia luar yang akan dihadapi kelak ketika telah dewasa.
Saya katakan “memberi” karena acapkali orang tua kita yang terhormat yang nama besarnya melambung di tengah masyarakat karena kontribusi dan karya-karya mereka di anggap penting hanya “meluangkan” waktu bagi anak-anak mereka tanpa mau tau lebih dalam dan memperhatikan proses apa yang tengah terjadi pada anak-anak mereka. Mereka seringkali bahkan hanya menjadwalkan waktu sisa pada anak mereka untuk kegiatan yang tidak begitu memberi pengaruh bagi perkembangan psikis mereka, seperti jalan-jalan ke Mal untuk membelikan mainan atau benda yang diidam-idamkan anak-anak mereka. Mereka jarang sekali mengajak anak-anak untuk rihlah, mencari hikmah kehidupan melalui kegiatan bermanfaat yang dilakukan secara bersama. Rihlah bisa dilakukan dengan cara sederhana sperti mengajak anak-anak untuk bersilahturahmi ke rumah guru orang tua mereka yang telah sepuh sambil memberikan bingkisan. Juga bisa dilakukan dengan mengajak anak mencari beberapa teman mereka yang kurang mampu untuk diajak menginap di rumah pada bulan ramadhan untuk berbuka dan sahur bersama. Kegiatan yang sederhana memang, tapi saya yakin akan membekas dalam di hati anak-anak hingga kelak mereka dewasa. Hemat saya, kegiatan yang terakhir ini jauh lebih valuable dari sekedar jalan-jalan di Mal, atau makan-makan di restoran.
***
Hampir mirip-mirip dengan Kriwil, banyak ditemukan anak-anak yang disekolahkan di Pesantren atau boarding school, sepulangnya mereka menjadi anak-anak yang lepas kendali. Barangkali ada dua analisa untuk hal ini, pertama, anak-anak hanya mengangap peraturan yang baik tempatnya adalah di asrama Pesantren, sedangkan di rumah mereka bebas melakukan apa saja. Ini pun bukan tanpa sebab, orang tua mereka cenderung memperlakukan mereka secara longgar di rumah ketika mereka liburan sekolah dan pulang ke rumah, apalagi jika di rumah pola hidup yang diterapkan tidak Islami, di tambah lagi mereka mungkin tidak diberi pemahaman yang kontinue mengenai alasan mendasar orang tua memasukkan anak-anaknya ke Pesantren atau boarding school. Sering orang tua mengatakan begini ketika anaknya memohon-mohon agar tidak dimasukkan Pesantren,
“Pokoknya kamu harus masuk, titik! Jangan membantah orang tua. Papa tau yang terbaik untuk kamu!!” dengan nada tinggi sambil menghentak meja.
Sebaiknya lah para orang tua menjelaskan kepada anak-anak mereka tentang mengapa mereka melakukan ini, mengambil keputusan itu, mengapa mereka harus masuk pesantren sedini mungkin, tentu dengan bahasa yang paling mudah yang mungkin mereka fahami. Dengan jalan ini mereka tentu akan lebih mudah menyesuaikan diri dan berusaha memenuhi harapan orang tuanya karena mereka merasa “dipercaya” mampu melakukan amanah tersebut.
Kedua, alasan dari orang tua sendiri untuk mengelak dari tanggung jawab pendidikan moral anak. Seperti yang sudah saya katakan di awal, banyak orang tua yang menyerahkan bulat-bulat pendidikan akhlaq anaknya kepada institusi pendidikan agama, ini jelas salah kaprah! Orang tua mestinya menjadi teladan pertama dan rujukan utama bagi anak dalam hal menanamkan budi pekerti, kemandirian dan kesalihan. Sering kali orang tua menyuruh anaknya pergi mengaji dan marah kalau anaknya tidak pergi, di saat yang sama si orang tua ini malah menghidupkan TV dan menonton sinetron. Ada lagi orang tua yang sibuk dengan bisnis dan selalu menjejali anak-anak mereka dengan limpahan fasilitas modern yang belum waktunya bagi si anak untuk menikmati, tanpa pernah sedikitpun mengajak si anak untuk melihat dan tau bagaimana letihnya si orang tua tadi membangun bisnisnya, apalagi orang tua yang mau repot mengajak anaknya untuk belajar terlibat dalam bisnis, sangat sedikit sekali. Padahal ini pelajaran penting tentang bagaimana menghargai kerja keras dan bersungguh-sungguh dalam berusaha. Entah kita tergolong dalam jenis orang tua yang mana.
***
Konsistensi, barangkali menjadi kata kunci dalam tulisan ini. Pisau yang tajam hanya dapat dihasilkan dari proses memanaskan besi berkualitas baik dan memukulnya berkali-kali, terus-menerus. Kopi yang nikmat aroma dan rasanya yang sering kita rindukan untuk di minum di waktu rehat dan diskusi bersama sahabat-sahabat dekat di warung kopi langganan juga hanya mungkin di peroleh dari proses yang panjang dan sedikit jelimet, mulai dari menjemur biji kopi, mengggongsengnya bersama beras hingga hitam diatas bara api, kemudian menumbukknya atau menggilingnya menjadi bubuk baru menyuguhkannya dengan air panas setelah ditambah sedikit gula… Begitulah hidup ini dan seni mendidik manusia. Perlu usaha yang tidak putus dan berulang agar pendidikan akhlaqul karimah yang ditanamkan orang tua tidak hanya menjadi lintasan pengetahuan saja namun menjadi karakter dan kuat terpatri di alam bawah sadar anak-anak. Orang-orang yang sukses dalam artian punya kredibilitas dan integritas yang tinggi yang namanya harum sepanjang zaman dan pengaruhnya terus hidup di hati banyak orang yang terinspirasi kemungkinan besar ditempah seperti biji kopi tadi.
Menutup tulisan sederhana ini saya mengutip kata-kata hikmah dari dua orang yang sangat saya kagumi;
“Sedikit namun terus menerus akan lebih baik daripada banyak tapi terputus-putus” (Ali bin Abi Thalib as dalam Ghurar al-Hikam, pasal 49, nomor 37)
“ Ketika anak-anak akan menginjak remaja, dan mereka telah memahami perkataan orang dewasa, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa tujuan dari memiliki kekayaan dan sebagainya itu adalah untuk kekuatan dan kesehatan badan, agar mereka tidak jatuh sakit dan bisa mengumpulkan bekal untuk hari akhirat. Jelaskan juga kepada mereka bahwa kelezatan badan itu tidak lain adalah terlepas dari penderitaan” ( Khoja Nashiruddin Thusi dalam Akhlaq Nashiri, hal., 227).
Masih banyak yang bisa kita diskusikan dalam tulisan ini, tetapi saya ingin membahas topik yang berbeda pada kesempatan lain. Semoga kita dibimbing oleh Yang Maha Kuasa dalam mendidik dan mengantarkan anak-anak kita kepada masa depan mereka. Wallahu alam bishawab.