Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Pergi

27 Juli 2010   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:34 240 0
Gigi geliginya gemeretak. Telapak tangannya terkepal, menonjolkan urat-urat biru di tangan dan lehernya. Nafasnya mendengus-dengus. Ingin dibantingnya kursi plastik itu. Ingin ditinjunya lemari lapuk itu. Ingin ditendangnya pintu berderit itu. Sekuat tenaga ia tahan bara api di hatinya. Susah payah ia mencari air jernih dari tempat yang jauh di sudut pikirannya. Tak jua ia jumpai. Bulir-bulir keringat mulai bertimbulan di sekujur tubuhnya, menahankan panas api yang menyala-nyala. Matanya semakin nyalang. Kedua sosok di depannya mulai mengerut terhembus hawa panasnya. [caption id="attachment_205853" align="aligncenter" width="300" caption="(http://curhati.wordpress.com/)"][/caption] Ia tak lagi punya apa-apa sekarang. Semua sudah hilang, berpindah tangan. Harapannya musnah. Apalagi pada gadis itu, yang ia janjikan untuk dinikahinya tempo hari. Ahh...bayangan gadis yang sangat dicintainya itu justru semakin menyalakan bara hatinya pada kedua sosok ini. Tergambar Ayahnya yang pengangguran dan senang mabuk-mabukan. Ibunya yang saban hari hanya sibuk bergunjing dengan tetangga dan berhutang kesana kemari. Sementara ia dan kakaknya banting tulang mencari uang untuk menghidupi keduanya dan ketiga adik perempuan mereka. Juga untuk menutupi hutang-hutang itu. Sejak dulu. Lebih lama dari sejak Ayahnya masih mau menghidupi mereka semua, lima belas tahun yang lalu. "Jika ada anak yang durhaka pada kedua orangtuanya lalu masuk neraka, maka pasti ada orangtua yang durhaka pada anaknya dan juga masuk neraka. Tuhan Mahaadil," ucapnya pelan dengan nada suara bergetar. Terdiam sejenak, ia lalu berbalik dan pergi. Ia robek ingatan tentang ibunya yang menggadaikan sepeda motor kesayangannya, modalnya untuk menikahi kekasih hatinya. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun