Eits...jangan dulu buru-buru memberi rating "provokatif" untuk tulisan ini ya. Silahkan membacanya dulu sampai habis, baru setelah itu boleh lah memberi rating apapun yang Anda kehendaki; mau "provokatif", "tidak penting", "biasa", terserah! Atau mau
nggak kasih rating juga boleh
kok.
Hehehe... Ide tulisan ini sebenarnya sudah sejak lama saya endapkan dalam pikiran saya. Saya pikirkan, saya timang-timang, apakah pantas saya memublikasikan tulisan dengan judul ini. Masalahnya sama sekali bukan pada judul yang mungkin sedikit menghentak (kecuali kalau tidak merasa terhentak ya...
hehe...), tetapi lebih pada esensi yang ingin saya sampaikan. Setelah lama menimbang-nimbang, tulisan ini akhirnya spontan saya tulis setelah membaca postingan seorang sahabat kompasianer, Mukti Ali, yang belum 12 jam yang lalu (01/03/2010, pukul 15:34) memublikasikan tulisan berjudul
Untuk Sementara Absen Dulu dari Kompasiana. Baru membaca judulnya, saya berpikiran kalau saudara Ali sedang sibuk atau ada kegiatan penting yang harus dilakukan selama selang waktu tertentu sehingga harus pamit sementara dari kompasiana tercinta. [caption id="attachment_84162" align="alignleft" width="300" caption="(google.com)"][/caption] Tapi setelah membaca isinya, saya pun merasa tersentil, bahwa benar adanya yang disampaikan saudara Ali, khususnya bagi saya pribadi. Bahwa sering karena berkompasiana, kita lupa waktu. Terserah benar atau tidak, setuju atau tidak bagi Anda, tapi saya merasa demikian. Selama menjadi kompasianer, sering saya menunda-nunda melakukan pekerjaan lain yang seharusnya lebih penting untuk segera dilakukan, seperti adanya tugas-tugas, sampai pada urusan dan rutinitas hidup sehari-hari; mandi, makan, minum, masak... (
hahahah...saya suka geli sendiri tentang hal ini, karena pada kenyataannya banyak kompasianer yang demikian. Ini menurut sumber yang terpercaya
loh...hehehe...), sampai pada urusan hubungan dengan Tuhan (
hablum minallah); shalat, mengaji, yang
astaghfirullah...sering secara sengaja ditunda!
Waduh, kalau sudah begini kan bisa gawat ya? Kalau semua aspek kehidupan sehari-hari tiba-tiba berubah menurun kuantitas dan kualitasnya gara-gara
ngompasiana, gimana
dong? Kuantitas dan kualitas, misalnya semua urusan yang tidak berkaitan dengan
online, apalagi berkompasiana, berusaha disegerakan agar bisa cepat-cepat kembali
online untuk berkompasiana. Gara-gara disegerakan, terkadang kualitas (khususnya ibadah bagi saya) menjadi menurun. Gara-gara itu pula, terkadang jadi bahan teguran suami karena saya terlalu lama
online! Dan
online-nya lebih lama untuk berkompasiana. Saya jujur saja karena mungkin di antara Anda ada yang seperti saya, tapi
moga-moga tidak ada yang lebih parah ya, karena saya sendiri bisa saya katakan sudah masuk kategori parah...
hehehe... Jadi begitulah...sebelum berkompasiana, semuanya biasa saja, serba rutin, normal, tanpa ada "gangguan" keinginan untuk ber-
online ria hampir sepanjang hari. Saya yang dulunya jarang
online, paling cuma untuk mencari tambahan bahan ajar di kampus, sekarang malah menjadi
netter sejati. Setidaknya itulah yang saya alami selama lebih dua bulan berkompasiana. Malah terkadang dengan bangganya saya mempromosikan
social blog ini kepada teman-teman saya di
facebook sebagai model
social blog yang bisa membuat kecanduan! Jadi perlu hati-hati! Sesungguhnya saya memberi semacam
warning berjenis guyon yang esensinya tidak saya arahkan pada diri saya sendiri. Lalu, adakah yang perlu kita salahkan atas hal ini? Apa dan siapa yang kita salahkan? Kompasiana kah? Para admin yang menciptakan kompasiana kah? Atau apa? Siapa? Menurut saya pribadi, jawabannya; mari kita tunjuk pikiran kita sendiri.
Loh, kok pikiran? Iya, karena semua aktivitas kita terpusat dan dikendalikan oleh pikiran kita, otak kita. Namanya juga manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang berakal, yang berotak, semestinya mampu mengatur segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dengan manajemen waktu yang baik, agar semua aktivitas dapat dijalankan dengan baik dan tidak ada yang terbengkalai atau tertunda. Untuk masalah manajemen waktu, pastinya sudah banyak teori dan tips yang disampaikan para ahli
time management yang dipaparkan di banyak sumber referensi. Tapi kalau untuk urusan pekerjaan yang terbengkalai atau tertunda yang berkaitan erat dengan manajemen waktu, saya akan membahasnya sedikit di sini. Nah, untuk membahas ini, saya lebih suka menggunakan istilah prokrastinasi. Mungkin karena terdengar lebih keren ya? Tapi terpeleset sedikit mengucapkannya bisa jadi "proklamasi". Hehehe...
loh?
Nggak ada hubungannya
kok itu. Jadi apa itu prokrastinasi? Asal kata
prokrastinasi berasal dari bahasa latin,
procrastinare.
Pro artinya gerakan maju dan
crastinus artinya milik hari esok. Prokrastinasi adalah perilaku manusia yang sering menunda-nunda, baik tugas maupun pekerjaan. Orang yang melakukan prokrastinasi disebut prokrastinator (yang ini juga
nggak ada hubungannya dengan "proklamator"). Untuk lebih jelasnya, definisi prokrastinasi dalam hal ini saya ambil dari
Websters Third International Dictionary:
Prokrastinasi atau perilaku penundaan adalah kebiasaan atau dengan sengaja menunda sesuatu dan karena suatu alasan tertentu dianggap sebagai perilaku yang patut dicela seperti kemalasan atau pengabaian tanggung jawab.
Hmm...Anda merasakan semacam sentilan? Saya iya. Lebih jauh, ada istilah
addiction (dapat diartikan secara harfiah; kecanduan, ketagihan) sebagai penjelasan lebih lanjut dari prokrastinasi. Dalam hal ini bisa dikaitkan dengan ketagihan berkompasiana sehingga menunda suatu tugas atau pekerjaan yang semestinya lebih diutamakan untuk dilakukan atau menempati prioritas yang lebih tinggi.
Addiction yaitu hal yang dilakukan sebagai pengalihan dari tugas penting yang ditunda/substitusi hal yang seharusnya dilakukan individu. Jenis-jenis
addiction ini juga beragam. Saya uraikan tiga di antaranya yang paling sesuai dengan konteks ini dengan pembahasan yang semoga bukan pembenaran dari perilaku prokrastinasi karena berkompasiana: § Ketagihan melakukan aktivitas yang sebenarnya kurang penting (
Lower priority activity addictions). Kalau ini sebenarnya patut dipertanyakan. Memangnya kompasiana tidak penting? Saya rasa justru sangat penting. Buktinya, sejak berkompasiana pengetahuan dan wawasan saya bertambah terus setiap hari karena senantiasa menikmati sajian tulisan-tulisan yang bisa menambah nutrisi bergizi bagi otak dan hati saya. Malah rasanya saya tidak perlu terlalu jauh-jauh lagi mencari informasi-informasi penting dan
up to date tentang banyak hal karena sudah banyak
link yang tersebar di berbagai tulisan, jadi tinggal klik saja. Selain karena saya juga bisa mengenal lebih banyak karakter orang lain dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda, saya juga semakin banyak membaca dan berlatih menulis dengan "bimbingan" tidak langsung dari para kompasianer yang saya anggap sebagai guru menulis yang paling hebat. Pokoknya, bagi saya kompasiana adalah semacam sarana belajar yang efektif untuk menjadi penulis-penulis handal di kemudian hari. § Ketagihan akan relaksasi (
Relaxation addictions). Maunya
ngompasiana terus; baca tulisan-tulisan para kompasianer yang bagus, asyik, seru, lucu, pokoknya yang biasanya dikasih rating "aktual", "inspiratif", "bermanfaat", "menarik", dan "menghibur". Setidaknya dengan berkompasiana bisa menyeimbangkan otak kiri yang terkadang penat berpikir karena belajar atau bekerja. Ini sudah diakui salah seorang sahabat kompasianer kita. § Ketagihan untuk bersosialisasi(
Socializing addictions). Ini yang paling seru sebenarnya dari kompasiana. Dengan berkompasiana jadi banyak teman untuk saling berbagi pengetahuan dan wawasan, teman diskusi, teman
ngobrol, teman bercanda, teman
ngalong, sampai teman curhat. Hebatnya, semua dilakoni dengan teman-teman yang belum tentu sudah pernah bertatap muka di dunia nyata, tapi kenapa ya, kayaknya asyik dan nyaman
aja gitu. Setuju
nggak? Selanjutnya adalah penyebab prokrastinasi. Nah, ini yang perlu kita ketahui ya. Apa
sih penyebab kita sering menunda-nunda pekerjaan? Ternyata di antaranya yang sesuai konteks ini adalah:
- Rendahnya toleransi terhadap ketidaknyamanan (low discomfort tolerance)
KEMBALI KE ARTIKEL