[caption id="attachment_92440" align="alignright" width="300" caption="(google.com)"][/caption] Entah kenapa beberapa hari belakangan ini saya menemukan cukup banyak cerita tentang sosok Ayah. Saya sendiri pada beberapa hari yang lalu juga berkisah tentang Ayah saya melalui sebuah tulisan berjenis
memoir di sini. Bagi saya, sosok Ayah adalah sosok penting yang tidak bisa dinomorduakan. Posisinya menyamai ibu yang tetap menduduki peringkat teratas dalam sejarah kehidupan seorang makhluk Tuhan berlabel manusia. Berbicara tentang Ayah, saya jadi teringat pengalaman saya setahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Maret 2009.
Hmm...baru saja setahun lewat satu hari ya. Pada hari itu saya sedang berperan sebagai narasumber dalam sebuah acara yang diselenggarakan sekaligus disponsori oleh satu merek sabun keluarga produksi Unilever. Jika Anda masih ingat, pasti Anda tahu acara kompetisi antar Ayah "
Lifebuoy Superdad", yang diselenggarakan di 7 kota besar di Indonesia dan promosinya pada saat itu dapat dilihat di tayangan televisi, radio, dan berbagai media cetak. Saya turut serta sebagai pembicara di
event itu dalam kapasitas saya sebagai seorang psikolog anak. Sebenarnya saya di sana untuk menggantikan teman saya yang berhalangan hadir. Jadi sungguh, itu menjadi pengalaman menarik dan berharga bagi saya yang belum lama menyandang gelar psikolog anak sejak bulan Juli tahun 2008. Mengapa acara itu mengundang seorang psikolog anak? Pastinya karena acara itu berkaitan dengan pembahasan tentang peran seorang Ayah dalam keluarga, yang tidak jauh-jauh dari perhatian seorang psikolog anak. Acara ini diselenggarakan bukan hanya untuk hiburan semata tanpa tujuan yang jelas dan mulia, tetapi diharapkan sebagai salah satu penggerak atau motivator bagi masyarakat untuk memaksimalkan kembali peran Ayah dalam keluarga.
Loh,
memangnya selama ini peran para Ayah kurang maksimal? Kan sudah bekerja keras menafkahi keluarga? Bahkan terkadang sibuk bekerja dari pagi sampai malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. Apa itu masih kurang? Kurang
sih tidak, tapi sebenarnya masih perlu ditambah. Agar lebih jelas, mungkin bisa saya ilustrasikan seperti ini: bagaimana perasaan Anda ketika melihat senyuman dan mendengar sapaan anak setiap hari? Apakah perasaan Anda "bahagia" atau "biasa-biasa" saja? Kalau Anda merasa bahagia, maka dapat dipastikan Anda adalah sosok Ayah yang rela melakukan apa saja demi buah hati tercinta. Rasanya tak apa bila harus bekerja keras mencari nafkah, asalkan itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama anak. Bahkan bila ada waktu, Anda masih sanggup menemaninya bermain apa saja, asalkan ia senang. Kalau perasaan Anda biasa-biasa saja, bahkan terkesan
cuek dengan apapun yang terjadi pada anak, mungkin Anda perlu menilik lagi beberapa aspek peran ayah sebagaimana yang dikemukakan oleh Hart (dalam Slameto, 2002), yang menggambarkan sosok Ayah sebagai:
- Pemberi nafkah yang memenuhi kebutuhan finansial anak
- Teman yang dapat menjalin hubungan yang baik dengan anak
- Pengawas yang memonitor atau mengawasi perilaku anak
- Pemberi perlindungan, penasehat yang siap membantu, mendampingi dan membela anak jika ada kesulitan atau masalah sehingga dengan demikian anak merasa aman dan tidak sendiri
- Pendidik dan teladan yang baik bagi anak, dan
- Pemberi perhatian yang membuat anak merasa nyaman dan penuh kehangatan.
KEMBALI KE ARTIKEL