Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa

Lagu Masa Kini Tak Lagi Puitis

16 Agustus 2010   03:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 1618 0
Berada di tepi keraguan Tebing bayangmu Sesekali luruh jua Tercipta nelangsa Di pucuk rerumputan Oh...harumnya dukaku Ditiup semilir Sikapmu mendua Menghitung bintang satu...satu Sesukar meraba Lelikuan sifatmu Berkali diri ini terpaksa jatuh Pada jurangnya bimbang Dan asa yang tercecer Sempat bertanya... "Senyum atau merahkah kau tawarkan Bagi jiwa dahaga ‘smara?" (Aku ini lelaki kecil dalam kurun waktu berlalu) __ Lara Melanda (Katon Bagaskara, Medio 1984) __ *** [caption id="attachment_227710" align="alignright" width="300" caption="dok. AFR"][/caption] Pernah membaca bait puisi ini? Atau pernah mendengarnya dalam sebuah lagu? Bagi yang menyukai karya-karya puitis Katon Bagaskara, penyanyi solois sekaligus vokalis grup band KLA Project yang popular pada era 1980-an sampai 1990-an itu, tentu sudah tak asing lagi dengan puisi sendu yang digubah menjadi sebuah lagu itu. Puisi manis dengan gubahan musik yang semakin menambah kesan romantis. Kata-katanya pun tak biasa. Melankolis namun tidak cengeng, menurut saya. Karena keindahan bahasa dalam lirik lagu-lagunya itu, maka sejak awal mendengar lagu-lagu ciptaannya bersama KLA Project, saya pun langsung menyukai karya-karya Katon Bagaskara. Meskipun sudah jarang mendengarnya, sampai kini saya masih menyukai lagu-lagu Katon Bagaskara dan KLA Project, terutama karya-karya lama mereka sebelum sempat bubar pada tahun 2001 karena keluarnya Lilo dari grup yang terkenal dengan lagu "Yogyakarta"-nya ini. Lagu-lagu mereka mampu bertahan menjadi hits meski semakin banyak grup musik baru yang bermunculan menjelang akhir dekade 1990-an. Namun seiring semakin matangnya usia para personil dan grup itu sendiri, ternyata eksistensi KLA Project goyah juga, meski belakangan Lilo kembali bergabung menjelang akhir tahun 2008 dan mencoba kembali mendobrak dunia musik nasional dengan membawa nama baru "KLA Returns". Karya-karya terakhir mereka terasa semakin redup di tengah-tengah industri musik yang lebih banyak mengikuti selera pasar. Dengan langkah yang seolah tersaruk-saruk, mereka mencoba tetap berpegang pada idealisme dan ciri khas bermusiknya tanpa menghiraukan riuh musikalitas "asal jadi" dari banyak grup musik tanah air saat ini. Untuk mengikuti arus, mereka tak sudi. Maka, apa boleh buat. Lirik-lirik bernuansa sastra puitis nan romantis itu pun mau tak mau semakin terpinggirkan dan mulai samar gaungnya. Sungguh sebuah fenomena yang menarik sekaligus membuat miris. Banyak sekali grup musik atau penyanyi solo saat ini yang tiba-tiba saja meroket dengan lagu-lagunya yang -paling tidak menurut saya pribadi- kurang estetis bila didengar, terutama dari liriknya. Bahasa yang digunakan dalam kebanyakan syair lagu masa kini tak lagi dalam maknanya, kurang indah, sehingga tak lagi menimbulkan kesan tersendiri saat mendengarnya. Tak perlu saya contohkan lagu dari penyanyi atau grup musik apa. Yang jelas, bahasa dalam lirik lagu-lagu tersebut tak lagi menggunakan metafora-metafora yang sarat makna, namun lebih banyak menggunakan bahasa percakapan sehari-hari; begitu lugas, terlalu mudah dicerna bahkan bisa ditebak lirik selanjutnya, hingga terkesan dangkal. Maka tak heran, lagu-lagu seperti ini begitu mudah disukai, begitu mudah dihafalkan -bahkan oleh anak-anak sekalipun- dan akhirnya begitu mudah juga tenggelam begitu ada lagu-lagu baru yang sejenis. Saya bukan pemusik atau orang yang paham tentang dunia musik, namun sebagai orang yang awam tentang musik, setidaknya saya ingin menyampaikan uneg-uneg tentang betapa semakin sederhananya kosa kata dan makna lagu-lagu Indonesia yang saat ini sering kita dengarkan di berbagai stasiun radio dan program-program hiburan televisi setiap hari. Betapa bahasa dalam lirik lagu-lagu Indonesia masa kini -menurut saya- semakin mencerminkan rupa generasi muda Indonesia zaman sekarang yang ingin serba instan, serba mudah, serba nyaman, dan serba-serba lain yang cenderung mencirikan sifat hedonis. [caption id="attachment_227714" align="alignleft" width="300" caption="dok. AFR"][/caption] Menciptakan atau menikmati sebuah lagu tak lagi merupakan proses kreatif yang memerlukan pengetahuan tentang kekayaan kosa kata bahasa Indonesia atau memikirkan lebih lama tentang pilihan kata-kata dan metafora-metafora yang lebih membutuhkan sensitivitas rasa. Setidaknya itulah yang saya "nilai" dari penyanyi atau grup musik baru yang belakangan ini semakin banyak bermunculan. Memang, selera musik masing-masing orang tentu berbeda-beda, namun saya merasa beruntung mendengarkan dan menyukai lagu-lagu yang digubah dari puisi-puisi Katon Bagaskara mulai saat saya masih SD hingga remaja. Keindahan dan kedalaman makna dibalik lirik-lirik lagunya begitu mengesankan hingga tanpa saya sadari akhirnya membuat saya begitu menyukai puisi. Mungkin Katon adalah guru puisi saya pertama kali. Sedikit banyaknya, keindahan yang terpancar dari puisi-puisinya itu menginspirasi saya dalam banyak hal. Caranya memainkan kata-kata yang beberapa di antaranya masih jarang digunakan (misalnya; renjana, saujana, pagut, ngelangut, menyatru), menyadarkan saya bahwa banyak sekali kosa kata dalam Bahasa Indonesia yang masih belum terangkai dalam kalimat-kalimat kita sehari-hari. Setidaknya, puisi-puisi maupun lirik-lirik lagu seperti ini mengingatkan kita tentang pesona keindahan bahasa persatuan kita, Bahasa Indonesia, sehingga tak perlu lagi merasa lebih bangga dengan bahasa asing yang mungkin telah kita kuasai. *** >> Puisi/lirik lagu Lara Melanda dari buku kumpulan puisi Bulan Dibuai Awan, karya Katon Bagaskara (Gramedia Pustaka Utama, 1996). >> Hanya tulisan sederhana, terinspirasi oleh ide Mas Bambang "Dalang" Pribadi tentang "Bahasa Menunjukkan Bangsa".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun