[Gadis Melati 1]
Kutatap awan biru yang bercampur warna kejingga-jinggan. Teraduk menjadi satu menghasilkan satu kesatuan. Terlihat kupu-kupu hinggap ditaman kembang.Ingin rasanya kucubit sayap'nya yang memgepak elok. Orang-orang berlalu lalang, kesana-kemari berjalan-jalan. Suasana begitu sejuk dan segar setelah langit mengeluarkan air matanya, terjatuh membawa kehidupan untuk alam semesta. Begitu sayup nan damai ditambah dengan kebisingan.Ada apa gerangan? Nyawa berjalan itu menatap diriku dengan tatapan yang tidak memastikan.
Jariku dengan cekatan mengetik senar gitar. Menghasilkan nada-nada yang kian terdengar, sekarang Aku tahu alasan tatapan mereka. Tak lain dan tak bukan hanya ingin menikmati suara gitar. Rasanya bola mata itu ingin kucomot karena mau keluar. Satu dari sekian banyaknya nyawa berjalan, terdapat satu gadis berikma bergelombang. Diam dikursi taman, fokusnya hanya ke tangan dan memegang jendela dunia. Apa benar-benar terlalu fokus atau tidak mendengar.Dari sekian banyaknya nyawa berjalan. Dia seolah-oleh enggan menoleh bahkan melirik,ekor mata dan pandangan terus ke depan.
Ketika jendela dunianya tertutup oleh tangan. Matanya yang tajam menatap keramaian, membuat diriku enggan berputar. Mata itu, sangat indah dan amat memanjakan. Satu...dua...tiga!Tiga detik Aku bertahan, menatap betapa indahnya ciptaan Tuhan. Mata itu sangat bersinar terlihat dari luar serta bermakna penuh kedalam. Terus kuselami, terus kuselami hingga terasa nyata bagaikan mimpi. Ada apa gerangan? tanyaku dalam hati. Jariku mengakhiri petikan terakhir, meninggalkan bunyi 'jreng' yang seketika membangunkan mata yang seolah-olah ingin kucomot.
Tidak juga!Gawat, Ku tinggal menoleh kecakrawala. Si gadis bermata tajam telah hilang di telan awan. Ku sibak begitu banyak nyawa berjalan. Toleh kanan, toleh kiri, bangku sama berisi gadis bermata pelangi itu telah hilang dari taman kembang. Di perasaan terdalam, hati ini begitu kacau. Terobrak abrik, pas sekali kalau di tambah nasi bercampur telur dadar tanpa garam. Hambar!
"Pak Pak! Kau melihat gadis yang duduk disitu?" Ku tanyakan kepada Bapak-bapak.Berumur sekitar setengah abadan. Entahlah apakah pantas disebut Bapak yang Ku tahu buntut nya sudah panjang, bahkan berkeliweran di belakang.
"Seorang gadis?" Tampak berpikir menyelami ingatan. Ku kira dia seorang pelupa, hingga urung Aku tanyakan. Tatapan matanya menjadi berbinar-binar, melihatku bagaikan sebuah santapan.
"Mas Jingga Banyu Setiyono Ya?" Si Bapak yang kukira pelupa membuat diriku kelabakan. Masker sudah kukenakan, Ku bimbang kenapa penglihatannya  begitu tajam. Pertanyaan selanjutnya urung ku tanyakan. Memilih pergi daripada terserang nyawa barjalan. Terkerubungi kerumunan membuat diriku tidak bisa pulang. Jauh atas segalanya, yang Ku tahu dia adalah orang. Bukannya bayang-bayang, Dia hidup, bernafas, dan makan. Bernafas dalam satu udara. Gadis unik penuh keelokan. Kalau cinta tidak juga, penasaran bukannya hal yang pas untuk diungkapkan.
Gadis itu, gadis bersyal merah. Terukir setitik kecantikan yang pasti akan Ku kenang. Indah bagaikan bunga melati, manis bagai madu murni. Rambutnya bergelombang, panjang dan berwarna kebiru-biruan. Satu sesal, tidak bisa berbincang walau hanya sebentar. Hatiku mencelos, melihat arloji ditangan. Sudah saatnya jadwal keberangkatan.