Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Tuhan, Selamatkanlah Marya

25 Mei 2011   08:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:15 100 0
Marya, seorang lelaki setengah ganteng designer disebuah perusahaan advertising yang bersebelahan dengan butik tempatku berkerja. Orangnya asyik diajak ngobrol, rada aneh dan susah ditebak. Kadang baik kadang jahil suka mengacak-acak rambutku. Usia kami hanya terpaut beberapa bulan tapi Marya jauh lebih dewasa dan selalu bisa membuatku tersenyum. Sering membuat kejutan-kejutan kecil seperti menjepretku diam-diam lalu beberapa hari kemudian memajang foto hasil rekayasanya di dinding dekat meja kasir atau meletakan di tangan manekin dekat pintu masuk. Sore ini cuaca mendung seperti hatiku. Aku baru putus dengan Sammy, aku selalu perhatian padanya tapi dia malah bersayang-sayangan dengan cewek lain dihadapanku. “Kok matanya sembab Dee, habis nangis ya?” Marya tersenyum seperti akan meledekku. “Hm…” ternyata tidak, dia hanya membelai kepalaku lalu pergi. Sudah pukul satu, aku tak bisa tidur. Kesal, marah dan sakit hati menjadi satu. Ingin aku berteriak tapi aku juga tidak bisa membohongi perasaanku, aku masih sayang pada Sammy. Coba menelpon Marya tapi tidak diangkat. Akhirnya kukirim sms, ungkapkan kegalauan hatiku. “Hai non! Nyadar dkit napa? Mau2nya djadiin hiasan doank! Kyk boneka disyng2 trs klo udh bsan dibuang. Mkr donk pke otak!” Kulempar handphone, kubenamkan wajah menangis dibawah bantal. Sebulan berlalu, sejak SMS malam itu aku tidak pernah lagi berteguran dengan Marya. Aku mulai kangen kata-kata. Ledekan-ledekannya selama ini seperti memberiku energi lebih untuk membuktikan apa yang Marya katakan itu salah dan aku bisa membuktikannya. Kusingkirkan gengsi untuk menyapanya lebih dulu. Dia masih seperti dulu, biasa saja seperti tidak pernah merasa bersalah, ingin rasanya aku menonjok mukanya. Menjelang sore, Marya datang membawakan brownies untukku. Dia juga menyodorkan sebuah buku tentang ibu, baru membaca sedikit mataku berkaca-kaca. “Kok nangis, merasa bersalah sama ibu ya?” “Banget.” Kuhapus air mata tidak ingin diledeknya. “Kamu sih bandel jadi anaknya…” Dia membelai kepalaku. “Jangan nangis lagi, ntar aku pergi nggak ada lagi yang mau m’bujuk kayak gini.” “Memangnya mau pergi kemana?” “Ke Jepang. Mengikuti pertukaran pemuda antar negera.” Jelasnya. “Berapa lama?” “Enam bulan.” Tiga hari kemudian Marya dijemput oleh seorang cewek cantik berambut pirang. *          *          * Aku putus lagi dengan Suta. Ingin menelpon Marya tapi takut teringat kata-katanya yang menyakitkan. Namun apa yang dikatakan Marya itu benar, selama ini aku hanya dijadikan hiasan oleh mantan-mantanku, mereka tidak menghargaiku, tidak seperti Marya selalu mengerti aku. Air mataku tidak mau berhenti, aku menangisi kebodohanku sendiri. Aku terbangun saat sinar sang surya menerobos masuk kedalam kamar, mataku bengkak karena menangis semalaman. Siaran berita televisi pagi ini mengabarkan bahwa Jepang diguncang gempa dan tsunami dahsyat. Langsung kuhubungi Marya tapi nomornya tidak aktif. Sendai kota tempat Marya berada mengalami kerusakan paling parah. “Tuhan selamatkanlah Marya, tidak sanggup jika harus kehilangannya…” Tubuhku lemas sambil berurai air mata.*** Pekanbaru, 29 Maret 2011 01:01 Cerita ini didedikasihkan untuk para korban bencana gempa dan tsunami Jepang. Salut, dalam krisis bencana dahsyat mereka tetap tertib dan saling menghargai satu sama lain. http://www.boston.com/bigpicture/2011/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun