Aku, 44 tahun. Enrico memanggilku "mamak". Aku bergabung dengannya di pondok dan duduk sejarak sejangkauan tangan darinya. Kuperhatikan, bola api itu masih membara di kedua matanya. Hmm, saatnya bicara.
"Aku tahu kenapa kau marah. Kau itu terlahir dengan takdir harga diri sebesar dunia. Dengan harga diri sebesar itu, kau tak sudi diperlakukan semaunya. Kau kepingin meledak sekarang kan? Tapi itulah hebatmu Enrico, kau anak cerdas yang belum sadar telah memiliki bibit-bibit kecerdasan emosional dalam dirimu. Kau ingin meledak, tapi kau memilih duduk di sini sambil ngocop untuk menenangkan diri."
Ketegangan wajahnya mengendur dan bola api di matanya meredup.
"Sekarang aku tanya, apa kau sendiri yang buat dirimu ingin meledak? Atau orang lain yang bersikap gak enak samamu, yang buat kau kepingin kali meledak? Gak semua sikap orang itu enak ke kita. Tapi yang penting itu kau mau pilih yang mana, mau sakit hati ato EGP "emang gue pikirin". Kayak gini lho, misalnya ada yang nawarin kau madu sama racun. Kalau kau pilih racun lalu kau minum, ya mati, minimal tersiksa sengsara kayak kau sekarang ini."
Bola api di matanya padam, berubah wujud menjadi sebutir bening air mata mengalir di pipi kirinya, tanpa isak. Hanya mengalir saja. Hatiku haru memandang air mata harga diri itu. Kuhapus dengan kain balinya sambil membelai pipi kanak-kanaknya yang lembut.
"Jadi begitulah Enrico. Kita gak bisa tentukan semua orang harus bersikap baik ke kita. Tapi kita bisa belajar gimana caranya menerima sikap-sikap yang gak enak atau gak baik ke kita. Dirimu itu milikmu sendiri, kau rawat baik-baik, jaga baik-baik, jangan biarkan siapa pun bikin kau sengsara kayak gini. Tapi kayak gini pun, kau sudah termasuk hebat. Kau bisa jadi orang hebat nanti."
Kurang dari lima menit kemudian, Enrico mulai bercakap-cakap seperti biasa. Harga dirinya telah pulih dan sisa hari dilewatinya dengan ceria. Persoalan dengan kakaknya sejenak lepas dari ingatan.
Malamnya, aku dikejutkan dengan pertanyaannya yang ajaib: "Mak, kenapa malaikat punya sayap?" Kali ini aku kehabisan kata-kata dan mulai tertawa. Dia pun tertawa mendengar tawaku dan kami pun tertawa berderai-derai sampai sakit perut.