dengan mu
dengan nya
dengan mereka
dengan ku
Berdamai itu sebuah seni tarik ulur rasa. Seperti dalang dan wayangnya, takkan ada cerita jika koneksi sang dalang dan wayangnya terputus. Ketika memutuskan untuk berdamai, sang "aku" menjalin koneksi dengan dirinya sendiri untuk merangkul sang "damai". Terkadang koneksi tersebut mengendur dan sang damai nyaris lepas. Tapi sang aku dapat memutuskan untuk tetap merangkul sang damai dengan mempererat koneksi dengan dirinya sendiri.
Putriku yang cantik, seringkali menantangku dengan geliat galau dan amarahnya.
"Percuma punya mamak tapi nggak sayang. Lebih bagus nggak punya." Begitu katanya tadi siang, karena aku menolak ikut berburu hiasan Natal di mall. Aku tersenyum memandangnya dari jauh. Â Tindakan yang paling tepat adalah sejenak membuat jarak karena jalan tengah yang kutawarkan tak berterima di hatinya.
Sore hari, ia menghampiriku. "Mak, aku minta maaf ya."
Aku mengangkat kepala dari buku yang kubaca dan berkata pelan, "Ok, no problem," dan tertawa geli ketika ia beranjak meninggalkanku dengan hati ringan.
Betapa sederhananya damai itu. Sesederhana kisah kelahiran Yesus di palungan.
Sebelum Natal tiba, telah kualami kemewahan rasa merangkul damai.
Saat Natal tiba nanti, Â semoga hanya damai yang ada di hati.
Hidup ini indah.
Salam Damai.