Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie Pilihan

Apa Jenis Usaha Kuliner yang Kuat Bertahan di Lokasi Jelek?

23 Mei 2015   11:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:41 201 0
Pertanyaan itu selalu menghayuti nalar saya akhir-akhir ini. Banyak yang usaha kuliner mengaku ke saya bangkrut karena lokasinya jelek. Di samping lokasi yang bagus juga mahal dan memang sulit dicari. Daripada selalu menyalahkan lokasi yang serba tidak jelas teorinya (tiap orang punya teori sendiri kriteria lokasi bagus dan jeles untuk usaha kuliner), maka saya berpikir terbalik "apa Usaha Kuliner yang kuat bertahan di lokasi Jelak?"

Di kawasan rumah saya Jalan Pondok Kelapa Raya,Jaktim, usaha kulinernya sering gonta-ganti. Pemain lama bangkrut digantikan pemain baru bangkrut lagi, diganti pemain baru lagi, bangkrut lagi dan seterusnya. Rata-rata mereka kuat bertahan 2 tahun lalu bangkrut. Yang berhasil melalui masa 2 tahun, lalu 5 tahun biasanya akan bertahan lama. Kesimpulan saya Lokasi Usaha di Jalan Raya Pondok Kelapa Jaktim adalah jelek untuk kuliner !.

Mengapa jelek?


  1. Biaya sewa ruko mahal. Rata-rata yang bertahan usaha kuliner adalah yang tempat usahanya milik sendiri sehingga tidak terbebani biaya sewa. Sewa ruko di Jakarta sudah sangat mahal. Di Jalan Raya Pondok Kelapa, sewa ruko 2 lantai luas 5x7 paling murah 60 juta atau 5 juta/bulan. Profit margin usaha kuliner berkisar 30% jadi untuk menutup sewa minimal dia harus memiliki omset 3x 5 juta = Rp. 15 juta.
  2. Biaya tenaga kerja mahal: Biaya tenaga kerja untuk sebuah resto makanan cepat saji misal, ayam kremes yang membutuhkan minimal 5 oraang dengan gaji rata-rata Rp. 2 juta adalah Rp. 10 juta. Kembali ke profit margin diatas untuk menutup tenaga kerja berarti omsetnya minimal 3 x 10 juta = 30 juta. Apabila menggunakan AC maka biaya listriknya 2 jutaan, apabila menggunakan kipas angin 1 jutaan. Biaya keamanan dan lain-lain berkisar Rp. 2 juta, Jadi total biaya operasional = Rp. 15 juta, berarti minimal omset Rp. 45 juta.
  3. Volume Penjualan yang Kecil. Seorang pedagang ayak kremes dengan harga 18 ribu (plus nasi) mungkin untungnya Rp. 8 ribu per porsi. Untuk mendapatkan 45 juta berarti dia harus berjulana 45 juta/18 ribu = 3000 potong per bulan atau 100 potong per hari.  Dikarenakan banyak persaingan  (jumlah resto banyak), warganya yang kebanyakan pekerja dan aging (yang muda kerja yang tua gak mampu beli) maka banyak yang tidak bisa mampu mendapatkan 100 porsi/hari. Akibatnya dalam 2 tahunn gulung tikar, Nah yang bertahan resto apa saja? Jika saya perhatikan yang bertahan adalah: Sate Gule Solo, Ayam Penyet KQ5, Ayam Kremes, Mook Mie (Mie ala Bakmi GM), Soto Bogor,  Soto Kudus, Bakso Lampiri, Bakso Malang, Bubur Ayam Ceker/Sukabumi..
  4. Harga mahal. Dikarenakan harga sewa rukonya mahal maka harga produknya pun harus dimahalkan, akibatnya justru pelanggan enggan masuk dikarenan segmen penduduk di Kav DKI dan perumahan sekitar Pondok Kelapa Kebanyyakan orang tua dan pensiunan.
  5. Lokasi Pendok Kelapa Raya  Mati. Jalan raya Pondok Kelapa hanyalah jalan "sodetan" untuk ke Jalan Raya Pondok Kopi atau sebaliknya dari Pondok Kopi ke Jalan Raya Kalimalang.  Lalu lintas yang melaluinya juga cepat (hanya lewat) dikarenakan bkan jalur utama. Sehingga potensi mendapat pengunjung dari pengendara yang lewat menjadi kurang maksimal.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun