Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Tawuran Pelajar dalam Perspektif Gender

1 November 2012   02:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:08 712 0

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

Meruah sudah sekian pandangan-pemikiran menyoal tawuran pelajar di Ibu Kota. Berbagai penelitian bertema tawuran pelajar telah dilakukan sejak 1980-an. Pada umumnya, tawuran diamati sebagai kenakalan remaja. Ada yang melihatnya sebagai perilaku menyimpang, deprivasi sosial, frustrasi, agresivitas, anti kelas. Meruahnya pandangan-pemikiran tersebut ternyata, pada umumnya, masih setia dengan perspektif yang itu-itu saja, psikososial, pedagogi, ataupun kriminologi. Mungkinkah ada temuan solusi yang berbeda, apabila tawuran pelajar dengan sekian kompleksitasnya dilihat dari perspektif gender?

Perjuangan Kelas

Sigmun Freud (2001) menyatakan bahwa kemungkinan pelaku tak segan membunuh lawannya merupakan wujud dari insting agresif. Insting ini mendorong manusia menghancurkan manusia lain, berupa tingkah laku agresif yang mengandung kebencian, ditandai kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, dan pencapaian kepuasan dengan melihat lawan mengalami kegagalan mencapai obyek yang diinginkan.

Ada perbedaan persepsi. Dari perspektif pelajar sendiri sebagai subjek tawuran, berkembang adagium bahwa kenakalan yang dilakukan adalah manifestasi simbolis aspirasi mereka karena sering diperlakukan tak adil. Mereka mencoba mencari eksistensi di lingkungannya rumahnya, di sekolahnya, bahkan di jalan. Ketika mereka bertemu kawan yang senasib, mereka lantas membangun sebuah kolektifitas.

Sebaliknya, dari perspektif masyarakat umum, adagium yang berkembang adalah tingkah laku ini sebagai aksi kriminalitas dan harus menuai sanksi pidana. Padahal, suatu tindakan agresif yang dapat dikategorikan sebagai aksi tindak kekerasan sangat bersifat situasional dan dipengaruhi motivasi tindakan. Dalam kriminologi harus ada penjelasan kapan tindakan kekerasan disebut deviant dan kapan dianggap murni tindak pidana. Penggolongan itu sangat tergantung apakah tingkah laku itu sudah jadi karakter pelaku dan apakah dalam situasi serupa akan dilakukan berulang- ulang atau tidak.

Tawuran pelajar tampak memang identik dengan premanisme. Fenomena ini melekat dengan kultur masyarakat kelas bawah. Sempitnya lapangan kerja, dan ketimpangan income, mendorong mereka merasa termarjinalisasi. Pada level seperti ini, mereka berpotensi melakukan perbuatan menyimpang (kriminal) untuk memenuhi kebutuhan. Pada konteks ini, pelajar yang terlibat tawuran mengadopsi nilai-nilai dalam kultur premanisme, seperti pencarian eksistensi dengan memamerkan kekuatan dan kenekatan.

Pelajar yang terlibat tawuran menempatkan aksi tawuran sebagai cara meraih eksistensi di lingkungannya. Semakin sering frekuensi terlibat tawuran maka semakin tinggi pula prestise-nya di mata lingkungannya. Dengan sendirinya, pelajar yang bersangkutan akan mengalami mobilitas sosial menuju kelas yang lebih tinggi. Pada bagian inilah, aksi premanisme sebagai bentuk perjuangan kelas menemukan benang merahnya.

Laki-Laki Dan Perempuan

Konstruksi sosio-kultural yang mengatur relasi laki-perempuan dapat menjadi suluh penerang latar belakang terjadinya tawuran pelajar ini. Lingkungan membangun konstruksi sosial yang memandang laki-laki dan perempuan sebagai pribadi yang memiliki bertingkah laku berbeda. Perempuan mendapat predikat feminine, pasif, lembut, pengalah, sabar, dll. Lelaki dianggap maskulin, agresif, kasar, pemberani, pemenang, dll. Meskipun peran lelaki dan perempuan sering dinyatakan sebagai setara dan seimbang, saling mengisi dan melengkapi, dalam kenyataannya peran lelaki di dunia publik tetap dianggap lebih utama dan penting daripada peran perempuan yang identik dengan lingkup domestik.

Iklim konstruksi sosial seperti ini melahirkan pribadi anak perempuan yang bercita-cita 'menjadi seperti lelaki', sebagaimana yang digambarkan oleh tokoh Shakuntala dalam Novel “Saman”nya Ayu Utami. Kecenderungan seperti ini muncul dari pemahaman bahwa hal yang paling mudah dilakukan adalah mengadopsi perilaku yang identik dengan maskulinitas. Pemahaman inilah yang menjadi penerang mengapa anak perempuan sampai melakukan tindak kekerasan kepada perempuan lain. Mereka sedang menunjukkan sisi maskulinitas dirinya dan mereka menganggap lakuan tersebut merupakan penanda hegemonik.

Bagi penulis, kekerasan hanya dimungkinkan terjadi bila ada kondisi yang memungkinkan. Lies Marcoes dalam “Gender dan Pembangunan” (2002) mengatakan bahwa ada tiga hal yang bisa menjelaskan pola kekerasan bila menggunakan analisis Gender.

Pertama, kekerasan hanya terjadi manakala ada ketimpangan relasi. Dengan begitu, kekerasan bisa dialami siapa saja dalam hubungan hubungan yang timpang. Misalnya, perbedaan ras, perbedaan kelas sosial, mayoritas vs minoritas, senioritas vs yunioritas, guru dan murid, dll.

Kedua, kekerasan pada umumnya berangkat dari berkembangnya stereotipe tertentu yang menempatkan orang lain sebagai korban. Dalam relasi kulit putih-kulit hitam, misalnya, kekerasan berangkat dari berkembangnya persepsi bahwa warga kulit hitam identik dengan tindak kriminal dan sampah masyarakat. Persepsi ini bermuara pada paradigma bahwa warga kulit putih berhak dan wajib hukumnya melakukan tindak kekerasan terhadap warga kulit hitam. Tumbuh-suburnya stereotipe serupa juga berkembang di wilayah Sampang ketika publik menumbuh-suburkan persepsi bahwa penganut Islam Sunni adalah kelompok layak untuk mendapatkan perlakuan kekerasan.

Lalu, bagaimana solusinya?

Analisis Gender telah lama menawarkan solusi berupa model pendidikan yang lebih mengutamakan relasi feminin sebagaimana di pendidikan tingkat kanak-kanak dan dasar. Lembaga pendidikan dibangun dalam konstruksi keluarga, dengan guru sebagai orang tua, sedang murid yang lain sebagai saudara, kakak, adik. Dalam relasi feminin pengembangan kasih sayang penuh cinta lebih efektif dan efisien dalam membangun karakter peserta didik, ketimbang penerapan disiplin gaya maskulin. Ke depan, relasi yang terbentuk dalam lembaga pendidikan terbentuk adalah relasi yang melindungi dan bukan menguji nyali, serta lebih menomorsatukan kebersamaan dan meminggirkan persaingan (baca; kompetitif).

Hingga lahirlah sebuah persepsi bahwa siswa sekolah lain adalah teman-teman kita, adik-adik kita, kakak-kakak kita yang harus digandeng tangannya, bukan harus disapa dengan lemparan batu, ayunan ikat pinggang berbandul gir, maupun sabetan senjata tajam yang mencerminkan performa megalitical communication ala zaman pra-sejarah.

*************

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun