dengan kaki telanjang; kita berziarah
ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita.
Jangan sampai terjaga mereka!
Kita tak membawa apa-apa. Kita
tak membawa kemenyan ataupun bunga
kecuali seberkas rencana-rencana kecil
(yang senantiasa tertunda-tunda) untuk
kita sombongkan kepada mereka.
(Ziarah, Sapardi Djoko Damono)
Sistem Presidensial Bikin Sial
Pasca amandemen UUD 1945, miris rasanya menyaksikan dan menikmati ekses dari amandemen-amandemen tersebut. Legislatif menjelma menjadi Buto Ijo yang setiap saat bisa nyaplok Timun Mas. Si Timun Mas, Eksekutif, menjadi kehilangan keberanian untuk melaksanakan berbagai kebijakan dan program kerja. Posisi presiden menjadi lemah lantaran berangkat dari partai minim kursi di DPR. Akomodasi politik besar-besaran kepentingan partai penguasa Legislatif tidak dapat dibendung presiden. Akibatnya, Kabinet Indonesia Bersatu terkesan produk politik dagang sapi. Presiden pun sempat belingsatan mengkonsolidasi kabinet hingga membentuk komisi-komisi kerja yang menginvasi bidang kegiatan kabinet pemerintah. Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) cs adalah contoh kasus ketidakharmonisan hubungan dinas Presiden dan Wakil Presiden. Kalaupun sekarang masing-masing memproklamirkan diri dalam bursa Pilpres 2009 adalah fenomena yang wajar. Pernyataan petinggi Partai Demokrat, Mubarok, hanyalah sumbu peledak dari dinamit yang sekian waktu disimpan di saku SBY dan JK.
Political gridlock atau kebuntuan politik pernah juga dialami The Founding Fathers sehingga pada Rapat Badan Penyelidik Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 14 Juli 1945 ditetapkan Indonesia tidak menggunakan Sistem Parlementer dan Sistem Presidensial karena masing-masing memiliki kekurangan. Pada Sidang BPUPKI tersebut, Dr. Soekiman berani memprediksikan bahwa penerapan Sistem Presidensial dalam konteks politik multi partai akan menyebabkan kelabilan jalannya pemerintahanan. Apabila presiden terpilih berasal dari partai minoritas di Legislatif yang terjadi adalah konflik kepentingan yang rentan berkembang menjadi kebuntuan politik.
Sejak pertama kali diberlakukan, UUD 1945 oleh pemerintah yang berkuasa dipandang sebagai karya sastra yang multi-intrepretable. Kurun waktu 1945-1966, UUD 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan. Indonesia pernah menggunakan dual-executive systhem, dengan Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. UUD 1945 juga pernah dimodifikasi menjadi single-executive systhem, Presiden menjabat sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Pada masa Orde Baru, berlaku sistem pemerintahan Negara Integralistik dengan konsentrasi kekuasaan ada pada Presiden. Sejak 2002, dengan berlakunya UUD hasil amandemen, berlaku Sistem Presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan kekuasaan yang lebih besar. Dalam catatan sejarah, antara kurun waktu 1949-1959, Indonesia menggunakan Sistem Pemerintahan Parlementer. Stabilitas pemerintahan yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa dan Negara tidak bisa tercapai, karena dalam waktu 4 tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999). Mau dicoba lagi?
Pengingkaran terhadap cita-cita The Founding Fathers untuk membentuk pemerintahan negara konstitusional-demokratis telah berulang kali dilakukan. UUD dioperasi plastik dari rel pedoman berbangsa dan bernegara menjadi rel yang dapat dipindah-pindah arah semau gue. Kondisi seperti inilah yang sekarang kita alami setelah MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Reformasi adalah upaya untuk mengadakan penataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidnag politik, ekonomi, hukum dan sosial. Imawan (UGM, 2004) menyatakan bahwa tujuan utama gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan demokratisasi kehidupan politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan yang lebih efektif antara eksekutif dan legislatif, maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam proses politik.
Idealnya, Reformasi adalah momentum bagi MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi meng-amendemen UUD 1945 guna menciptakan sistem pemerintahan negara yang dapat menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis. Faktanya, momentum tersebut disia-siakan. Bahkan, amandemen UUD telah menghasilkan sistem pemerintahan presidensial, yang menyimpang dari bentuk dan susunan negara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats fundamental norm sistem pemerintahan Indonesia.
UUD 2002 hasil amandemen bahkan menciptakan problematika baru yaitu kompleksitas relasi eksekutif dan legislatif, presiden yang dipilih langsung tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas penunggu DPR. Kebuntuan politik semacam inilah telah coba dihindari Dr. Soekiman dan para perancang UUD 1945, sehingga mengharamkan Sistem Presidensial sebagai sistem pemerintahan Indonesia.
Manajemen Kekeluargaan
Renaissance lahir dari kepahitan mencicipi monarki-absolut. Renaissance memberikan pengakuan hak individu setiap warganegara. Faham Individualismenya Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, Herbert Spencer, dan H.J. Laski, menjadi dasar dari sistem politik demokrasi yang berkembang di Eropa. Menurut Faham Individualisme, Negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas dasar kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat (social contract). Faham kedua yang diusung Rennaissance adalah Faham Kolektivisme, yang tidak mengakui hak-hak dan kebebasan individu. Faham Kolektivisme memandang persatuan berlandaskan ikatan kesamaan ideologi sebagai dasar dalam penyusunan negara, yang terdiri atas pimpinan sebagai suprastruktur dan masyarakat sebagai struktur. Faham Kolektivisme menjadi landasan Diktator Totaliter dari Hitler, Stalin, Mussolini, maupun Mao Ze-Dong.
Faham Kolektivisme juga membidani lahirnya Teori Kelas milik Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat oleh suatu kelas untuk menindas kelas yang lain. Negara ialah alat golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat untuk menindas golongan yang lemah. Negara Kapitalistik adalah alat golongan Borjuis untuk menindas proletarian, oleh karena itu Marxis menganjurkan revolusi politik kelompok tertindas untuk mengeliminasi kaum Borjuis dengan merebut kekuasaan negara. Faham Kolektivisme juga sempat menimang-nimang Teori Integralistik buah pemikiran Spinoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi. Teori Integralistik memandang negara didirikan bukan untuk menjamin kepentingan individu atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat secara holistik. Negara adalah suatu masyarkat yang integral, elemen-elemen yang ada adalah satu kesatuan masyarakat yang organis Kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sebuah kado berharga dari The Founding Fathers of Indonesia adalah Faham Kekeluargaan. Bung Karno memahami bahwa kekeluargaan bangsa Indonesia sebagai dinamika dan powerfull spirit. Bung Hatta memaknai kekeluargaan sebagi etika ke-Indonesia-an. Prof. Soepomo menafsirkan kekeluargaan sebagai konsep organis-biologis. Keberbedaan pemaknaan tersebut menghasilkan interpretasi yang indah tentang konsep kekeluargaan. Bung Karno menginterpretasikan kekeluargaan sebagai semangat gotong royong, Bung Hatta memandang kekeluargaan sebagai etika interaksi sosial dan kegiatan ekonomi berbasis kehidupan pedesaan yang terimplementasikan dalam semangat tolong-menolong.
Dasar susunan suatu negara berhubungan erat dengan stuktur sosial bangsa tersebut. Setiap negara membangun susunan negaranya dengan memperhatikan konfigurasi politik, hukum dan struktur sosial masyarakatnya. Pandangan inilah yang melatarbelangi lahirnya sistem pemerintahan negara Indonesia yang berdasar atas aliran fikiran negara integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun (Setneg, 1998:55). Konsep Manunggaling Kawulo Lan Gusti menemukan kesamaan ancangan dengan Faham Integralistik. Dalam Negara Integralistik, terimplementasikan sifat tata pemerintahan asli bangsa Indonesia, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya. Persatuan antara pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong.
Soepomo, dalam Konsep Kekeluargaan Organis-Biologis mencermati kedudukan pemimpin dalam Negara Indonesia identik dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga. Bung Hatta, berbeda dengan Sukarno dan Soepomo, beliau menafsirkan Faham Kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi yang terbangun di pedesaan Indonesia. Esensinya adalah semangat tolong menolong atau gotong royong. Karena itu dalam pemikiran Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme model Indonesia tersebut bisa kita cermati dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama. Jadi, Kolektivisme oleh Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan Bintang, 138-144).
Waiting For Godot
The Founding Fathers telah jauhari meragukan kesaktian Sistem Presidensial dalam konteks kekuasaan yang terfragmentasi sesuai dengn Trias Politika. Proses coba-coba mencari dan menerapkan sistem pemerintahan negara harus diakhiri cukup sampai di sini. Proses pencarian itu pernah dan masih dialami oleh banyak bangsa di dunia. Amerika Serikat, yang memperkenalkan diri sebagai Pengguna dan Pengedar Sistem Presidensial di dunia, telah mengalami dan menjalani proses pencarian selama 100 tahun. Woodrow Wilson (1879 dan 1884), Alexander Hamilton (1787) dan James Madison (1787) yang dikenal dengan The Federalist Papers kita dapat mencoba memahami diskursus Sistem Pemerintahan Negara. Wilson habis-habisan berusaha meyakinkan bangsanya untuk menerapkan Sistem Pemerntahan Kabinet (Sistem Parlementer). Namun usulan Wilson tersebut kurang mendapat respons dari decision maker di Amerika Serikat. Amerika memilih untuk mempertahankan The Constitution of 1787 dan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Selama 230 tahun Amerika Serikat telah mengadakan 27 kali amandemen, atau rata-rata 9 tahun setiap amandemen, sebagai tambahan atas Konstitusi yang asli, dan bukan merubahnya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kondisi political gridlock yang terjadi karena presiden berangkat dari partai minoritas dan wakil presiden yang secara dominant menjadi ketua umum partai penguasa mayoritas kursi di DPR telah menunjukkan betapa berbahayanya Sistem Presidensial. Konflik-konflik kepentingan semakin akan memperlemah bangsa Indonesia ke depan. Eksekutif ‘terpaksa’ menciptakan bursa tawar-menawar dengan DPR dalam menjalankan tugasnya. Politik Dagang Sapi masih menjadi pilihan agar akomodasi politik partai-partai mayoritas di DPR dapat terafiliasi dan program-program yang telah direncanakan bersama dapat dilaksanakan. Lalu bagaimana dengan kepentingan rakyat? Kelihatannya rakyat harus menunggu dan menunggu lagi kepentingannya dapat diafiliasi oleh pemerintah. Nasib korban Lumpur Lapindo adalah salah satu contoh konkretnya. Karena si pemilik perusahaan Lapindo adalah petinggi di salah satu partai mayoritas di DPR. Eksekutif hanya berpangku tangan dan membiarkan masalah ini terus berjalan tanpa kepastian apalagi penyeleseian.
Forum Rektor Indonesia dalam Konvensi Kampus ke III di Yogyakarta pada 11-12 Juni 2006 mengusulkan agar dilakukan kaji ulang terhadap UUD hasil amandemen. Usulan ini berangkat dari indentifikasi berbagai krisis sosial, ekonomi dan politik pasca pemberlakuan UUD hasil amanedemen tersebut. Usulan ini mendapat respons positif dari Pemerintah, DPD, MPR maupun masyarakat. Realitas ini menunjukkan betapa kita harus bekerja kersa menemukan kembali sistem pemerintahan negara yang memiliki kemampuan dalam mewujudkan cita-cita The Founding Fathers yaitu suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Bagaimana? Kapan? Kita sekali lagi harus nrimo untuk mementaskan Drama Waiting For Godot-nya Samuel Becket. Siapa yang menjadi aktor-aktornya?
***********
Ditulis jelang Pemilu 2009