Oleh : Anjrah Lelono Broto
Pendidikan pribadi (personalized education) Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya -Francis Parker dan John Dewey- memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
(Nana Sukmadinata, 1997)
Amanah Manusia dan ESQ
Tuhan menciptakan umat manusia untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Memimpin dirinya sendiri (mikrokosmos) dan memimpin semua eleman yang ada di dalam dunia ini (makrokosmos). Konsep kepemimpinan direvitalisasikan pada pengelolaan (management) diri dan lingkungan sekitar, baik secara biotik maupun abiotik. Pendidikan menjadi wahana pemertegas posisi dan kedudukan manusia di mata Tuhan yaitu bahwa manusia yang hidup di permukaan bumi memiliki tujuan. Tujuan tersebut terafiliasikan dalam kumpulan pilihan-pilihan, yang masing-masing menggawangi sederet konsekuensi. Manusia diciptakan Tuhan bukan untuk sebuah kesia-siaan, namun membawa amanah-Nya, yaitu memimpin (mengelola) dirinya sendiri dan lingkungan seisi bumi demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia itu sendiri. Kearifan membimbing kita pada perspektif bahwa kesadaran tersebut bersifat subjektif. Dalam arti, individu manusia yang menyadari urgensi pendidikan akan secara tulus-ikhlas mendidik dirinya, untuk mampu memimpin dan dipimpin oleh manusia lainnya.
Sudahkah terpelihara amanah tersebut?
Kesadaran untuk memelihara amanah-Nya akan kedudukan dan tugas kemanusiaan kita memiliki keterkaitan erat dengan potensi dan kemampuan masing-masing individu manusia bersangkutan untuk membaca dan menerjemahkannya dalam komunikasi bahasa kemanusiaan. Membaca dan menerjemahkan potensi dan kemampuan diri, serta menyadari potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia lain untuk selanjutnya dikembangkan dan atau tidak dikembangkan melalui proses pendidikan sampai menjadi “manusia seutuhnya”.
Aristoteles maupun John Locke, memandang bahwa personal manusia pada hakekatnya dilahirkan dalam kondisi ”tabularasa”. Putih. Bersih. Dan belum mengenal contrengan. Sebagaimana selembar kertas kosong, begitulah manusia pertama kali menghirup atmosfer dunia. Noktah, garis, goresan, karutan, ataupun bingkai merupakan hasil sentuhan-sentuhan, yang kemudian memberikan bentuk dan warna jati diri kemanusiaan kita tersebut.
Personal manusia membutuhkan pendidikan untuk mengisi kekosongan tabularasa tersebut agar identitas manusia dan kemanusiaannya menemukan eksistensinya. Paradigma pendidikan kritis Paulo Freire menyatakan bahwa pendidikan menghendaki agar personal manusia memiliki kesadaran sebagai subjek bagi kehidupannya sendiri sekaligus menyadari realitas kehidupan sekitarnya. Kesadaran sebagai homo socius menemani kebangkitan kesadaran kita sebagai personal manusia yang haus akan eksistensi.
Menyaksikan ketidakberadaban kemanusiaan kita hari ini, satu kesadaran sepatutnya kita revitalisasi yakni kesadaran akan potensi yang ada pada manusia. Sejatinya, potensi yang dimiliki individu manusia, bermuara pada dua kutub dikotomis yang berseberangan; pertama: potensi kebaikan; dan yang kedua: potensi ketidakbaikan. Proses pendidikan menjadi pilihan utama dalam membangun konstruksi yang bermodalkan potensi kebaikan dan meminimalisasi, bahkan mungkin mengelimanisasi potensi ketidakbaikan dalam diri personal manusia. Pengarahan pendidikan sebagai media pengembangan potensi kebaikan personal kemanusiaan tersebut akan mewujudkan apa yang menjadi amanah personal kemanusiaan yakni mampu mengelola diri sendiri dan alam semesta secara bertanggung jawab -baik kepada diri sendiri, manusia lain, dan Tuhan-.
Daya dan kemampuan personal manusia untuk menginvestasikan potensi kebaikannya guna mewujudkan amanah-Nya merupakan tujuan dari penyelengaraan proses pendidikan.
Manusia sebagai makhluk teo-genetis memiliki kesadaran akan keberadaan kehidupan pasca-kehidupan di dunia. Kesadaran inilah yang meyakinkan personal manusia bahwa segala sesuatu yang telah dilakukan di dalam kehidupan dunia ini pasti akan bermuara pada pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kesadaran ini menjadi pedoman intern-personal kemanusiaan dalam berpikir, bertindak, dan mengembangkan lembaran-lembaran perspektif penyikapan pada segala fenomena yang terjadi dalam realitas lingkungannya.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan; kehidupan dan segala yang menjadi perhiasannya hanyalah pinjaman dan bentuk ujian-Nya. Penempatan komponen duniawi pada posisi dan tempat yang tidak seyogyanya akan mengkudeta amanah-Nya. Bahkan, bisa jadi, akan menanggalkan jati diri kemanusiaan kita yang memiliki kewajiban mengabdi kepada-Nya. Proses pendidikan adalah rangkaian usaha dan kerja keras yang tiada putus, pada manusia, guna menemukan harmoni antara Tuhan-Manusia-Alam Semesta..
Di masa-masa kejayaan dekadensi moralitas seperti saat ini, jujur atau tidak, kepercayaan menjadi komoditas mahal yang tidak sembarang pabrik mampu memproduksinya, tidak sembarang gerai dapat memajangnya, bahkan tidak tidak sembarang keluarga atau lembaga pendidikan dapat memeliharanya. Publik masyarakat kita dijejali dengan sederet orang berintelektual tinggi, tetapi mereka ”kurang mampu” mengakomodasi nikmat-Nya tersebut untuk memimpin dan mengelola dirinya sendiri, apalagi menggunakannya untuk membangun eksistensi-kebermanfaatan bagi manusia lain dan society. Di sisi lain, orang shaleh tak bisa dituntut fasih mengelola negara.
Pendidikan yang mengacu kepada pengembangan konsep Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dewasa ini kurang lebih dilatarbelakangi realitas mengenaskan yang terjadi pada kemanusiaan kita. ESQ menjadi tambatan hati untuk menemukan kembali sosok personal manusia dengan kriterium sederhana yakni insan yang cendekia, mandiri, dan bernurani. Menularnya proses pendidikan yang mengacu pada pengembangan ESQ diikuti dengan pemunculan beragam metode pembelajaran dan teknik pengelolaan kegiatan belajar-mengajar yang berlandaskan pada etika emosional kemanusiaan, seperti Metode Kooperatif, Metode Kontekstual, Pembelajaran Quantum, Pembelajaran Ausable, Problem-Based Learning/Education (PBL/PBE), dll.
Namun, pemerintah masih saja setia dengan UNAS-nya yang semata berpijak pada kemampuan kognitif dan mengabaikan kemampuan afektif, dan psikomotorik peserta didik. Bisa kita bayangkan, bagaimana bopengnya hasil pendidikan dengan kesetiaan sempit tersebut? Lebih-lebih fakta di masyarakat menunjukkan, siswa dan guru berlomba-lomba dalam kecurangan dalam menghadapi UNAS.
Pendidikan Konstruktor Kehidupan
Konsep Tri-Pusat Pendidikan yang diajar-kenalkan oleh Ki Hajar Dewantara memposisikan bahwa lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan wahana untuk mendidik personal manusia. Konsep pendidikan Menteri Pendidikan pertama Indonesia ini memandang bahwa ada hubungan timbal-balik antara lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam proses pendidikan seorang peserta didik (manusia). Ketika seorang anak dimasukkan ke dalam lingkungan pendidikan sekolah maka keluarga tidak bisa lepas tangan dan menyamankan diri menjustifikasi andaikata proses pendidikan tersebut tidak menuai keberhasilan. Begitu pula sebaliknya, masyarakat tidak seyogyanya untuk mengembangkan iklim lempar-melempar tanggung jawab andaikan realitas memprihatinkan menggelembung dan mengembang. Kearifan menempatkan bahwa konsep awal pendidikan personal manusia agar menjadi abdillah dan khalifah fi ardhl harus disemaikan semenjak dari lingkungan keluarga.
Pendidikan terhadap personal manusia menjadi bagian vital dalam pendidikan nasional karena cita-cita mewujudkan tatanan ideal bagi bangsa dan negara Indonesia ini akan sukar tercapai jika personality manusia di dalamnya jauh dari kesadaran terhadap pentingnya perbaikan ke arah yang lebih positif. Namun, yang patut dicermati adalah pendidikan terhadap personal manusia tidak berarti mengedepankan perspektif mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan bersama. Fokus pendidikan terhadap personal manusia lebih didasari atas fakta kelabu bahwa norma-norma sosial kemasyarakatan maupun negara telah menemukan idealitasnya, tetapi personal manusia di balik norma tersebut masih terjerembab dalam kemiskinan kesadaran humanisme dan amanah hakikinya sebagai makhluk Tuhan yang mengemban tanggung jawab habblum minnallah dan hablum minnanash. Norma hukum dan sosial menjadi korban tabrak-lari oknum persona manusia yang dilanda dekadensi kompleks.
Pemahaman komprehensif terhadap eksistensi manusia dan kehidupan menuntut pendidikan mengembangkan tanggung jawab pada setiap personal manusia. Melalui pendidikan, personal manusia ditantang untuk dapat menjadi inisiator dan aktor reformasi masyarakat dan bangsa. Jika pendidikan tidak melahirkan individu-individu manusia yang memiliki kepedulian, kepekaan sosial, maupun humanisme, dan terjebak dalam apatisme kronis terhadap kehidupan, maka proses pendidikan dapat dikatakan berhenti pada angka nol.
Personal manusia yang baik akan menciptakan masyarakat-bangsa yang baik. Masyarakat dan bangsa yang common good akan tercipta karena personality manusia yang hidup-berkehidupan di dalamnya memahami dan memiliki kemampuan mengimplementasikan konsep common good dalam berpikir, bertindak, dan mengembangkan perspektif.
Terbentuknya masyarakat dan bangsa yang common good dengan sendirinya akan mampu mewujudkan tujuan didirikannya negara Indonesia; yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kemudian, di manakah akar pengingkaran pendidikan Indonesia? Mengapa program pendidikan gratis justru memperkuat stigma apatisme keluarga pada proses pendidikan? Mengapa pendidikan formal di Indonesia, hari ini, tanpa henti menjadi “pabrik koruptor-manipulator”?
Pesimisme menjadi menu wajib ketika memandang Indonesia ke depan. Ketidakbecusan memimpin diri sendiri maupun bangsa dan negara telah menjadi mata rantai dari generasi ke generasi, dari masa ke masa, terulang dan terulang. Peninjauan kembali fungsi dan tujuan pendidikan Indonesia dalam UU Sisdiknas No 20/2003 menyebutkan bahwa pendidikan Indonesia berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bab II Pasal 3 UU Sisdiknas No 20/2003 menyatakan bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar potensi peserta didik berkembang menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jika disimak lebih jauh, tujuan pendidikan yang diutarakan tersebut begitu mulia. Mungkin kita lupa melakukan pendidikan yang benar-benar mendidik sehingga kesulitan melahirkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Renungan akan tetap meyakinkan bahwa pendidikan merupakan “finnal cannon” untuk membangkitkan republik ini dari kompleksitas multikrisis. Melalui pendidikan, kita yakin akan lahir manusia-manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
************