Masih teringat di benak penulis tatkala meliput seorang anggota dewanfraksi PPP, Okky Asokawati di KJRI Sydney. Saat itu beliau sempat mengutarakan dua fakta unik mengenai wanita dan politik Indonesia. (Link wawancara penulis dengan beliau klik disini)
Pertama UU Pemilu mengharuskan Partai menyediakan minimal 30% persentase jatah caleg untuk wanita. Kedua, mencari caleg wanita di Indonesia itu bukan hal mudah. Bahkan ibu Okky menyebut total anggota legislatif wanita di DPR, hanya sekitar 18%. Ini juga tidak dapat memenuhi quota minimum anggota legislatif wanita yang harusnya 30% juga.
Beralih ke tema hari ibu dan tentunya sangat pas berbicara mengenai peran wanita terutama di bidang politik. Kebanyakan wanita yang aktif dalam politik biasanya juga sudah berkeluarga dan menjadi ibu.
Kenyataannya akhir-akhir ini, wanita yang berkarir dalam politik menghadapi dua buah krisis. Yang pertama, dan sangat jelas adalah krisis kuantitas, seperti yang dijelaskan oleh ibu Okky. Yang kedua seperti kita lihat akhir-akhir ini adalah krisis kualitas.
Dalam urusan pidana korupsi, kejahatan tidak mengenal gender. Siapa yang menyangka bahwa sebuah “dinasti Banten” yang kokoh selama 8 tahun berpusat pada seorang wanita? Siapa pula yang mengira, sang juara Miss Indonesia 2001, yang berpenampilan menarik serta teruji intelektualitasnya, kini menikmati pidana 12 tahun penjara, belum termasuk penyitaan aset kekayaannya. Wanita pun tidak kalah gahar dengan rekan politisi lawan jenisnya dalam soal korupsi.
Feminisme Dipolitisasi?