From the maker of "Ketika Jokowi Menebar Terror (1)." Sequel kedua kini telah hadir.
Sukro takjub melihat apa yang ada di depan matanya. Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu puluhan tahun, ia melihat badan jalanan Kebon Jati, Tanah Abang bebas hambatan dilalui kendaraan. Kemacetan sudah tidak terlihat lagi.
Namun tidak seperti kebanyakan warga DKI yang senang dengan perkembangan positif semacam ini, Sukro terlihat geram. Ia panggil “tangan kanan”-nya Ahmad.
“Ahmad...ini apa-apaan!!??? Dimana para PKL yang biasa kasi setoran ke kita? Preman mana yang berani mengusir sumber rejeki kita!!!??”
Muka Ahmad terlihat pucat pasi. Dengan terbata-bata ia menjawab.
“Anu ketua...ini bukan kerjaan sembarang preman,” tutur Ahmad.
Sukro terdiam. Tiba-tiba ia tersenyum. Ia berjalan mengitari Ahmad. Tepat dibelakang ajudannya, dalam sepersekian detik, sebuah pisau lipat sudah terhunus di depan leher Ahmad.
“Loe tahu...20 tahun lamanya gue menguasai tempat ini. Loe tau siapa yang persatukan 5 mafia besar di tempat ini? Gue!!! Jangankan preman, gubernur dulu-dulu sampai yang kumisan kemarin aja enggak ada yang bisa nyentuh gue! Muka pucet lu itu tanda pelecehan seolah ada yang lebih jagoan dari gue,” ujar Sukro dengan berapi-api.
Usai ekspresikan amarah, Sukro mencabut kembali pisau lipatnya. Ia putar tubuh Ahmad sehingga tatapan mata ajudannya bertemu dengan tatapan mata Sukro. Ahmad tahu ketuanya butuh jawaban atas horror yang menghiasi wajahnya.
“Sejak dini hari tadi...tiba-tiba segerombol satpol PP dan Polantas menguasai jalanan dan mengatur arus lalu lintas. Pedagang yang datang disuruh membuka lapaknya di Blok G Pasar. Saya dengar.....” Ahmah meneruskan dengan berbisik.
“Ini inisiatif si “Preman Balaikota.”
Mendengar kode nama “Preman Balaikota”, gantian Sukro yang memutih mukanya. Kode nama itu sudah dikenal oleh PKL liar dan anggota geng dibawahnyaselama beberapa minggu terakhir. Entah siapa yang pertama kali menyebut dan mempopulerkan nickname tersebut. “Sang Preman” juga mendapat julukan sebagai “Firaun”: Tokoh penguasa lalim dan penindas yang terdapat di kitab suci.
Sesuai dengan julukan “Preman Balaikota”, Pria yang menjabat sebagai Wagub DKI ini tidak kenal rasa takut. Sukro sempat menonton sepatah interview seorang reporter bersama si Wagub. Ketika sang reporter dengan kritis bertanya apakah penggusuran PKL tidak bertentangan dengan HAM, dengan pongah Wagub itu menjawab.
“HAM itu apa? Hamburger?,” candanya.
Sukro termenung. Sejak dulu kala sebagai preman....EH SALAH maksudnya sebagai “pengelola keamanan” hidupnya selalu aman sentosa. Yah...sebagai pengelola keamanan...ya wajar donk, meminta upeti dari PKL-PKL yang kebanyakan beridentitas gelap. Kami menyediakan lapangan kerja bagi yang membutuhkan lho!
Eh siapa bilang kami preman? Kami juga “bekerjasama” dengan pemerintah juga kok selama ini. Kalau PKL bayar upeti pada kami, mereka juga bayar “iuran pemutihan” ke pemerintah melalui kami. Setahun bisa Rp 2,000,000 per kepala. Preman bukanlah preman selama “financially tetap berkontribusi” pada pemerintah bukan?
Ah menyesal Sukro memilih pasangan nomor 3 tahun lalu. Seandainya ia masih memilih si kumis...baik dirinya dan aparat pemerintah sekarang dapat hidup makmur sembari bergandengan tangan dan tidak kepo mengurusi masalah orang lain. So what soal kemacetan gitu lho? Yang penting gue bisa makan.