Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Diaspora Indonesia: Dwi Kewarganegaraan Bukan Mimpi Lagi?

2 Agustus 2013   00:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:43 4253 1

(26/7/2013) Setelah Kongres Diaspora pertama di Los Angeles tahun lalu, akhirnya gema dwi kewarganegaraan kembali dikumandangkan. Acara bertempat di Wisma Indonesia, Sydney dengan tema “Forum Dual Citizenship” bersama ibu Indah Morgan dari Task Force Dual Citizenship IDN (Indonesia Diaspora Network).

“Acara ini bertujuan untuk mengawal aspirasi petisi Diaspora Indonesia tahun lalu setelah kami menyerahkan 6000 nama dan tanda tangan di Los Angeles,” tutur ibu Indah. Ibu Indah saat itu melakukan serah terima hasil petisi pada wakil ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso.

Kata sambutan dibawa oleh Konsul Jenderal Sydney, Bpk Gary M. Jusuf membuka acara. Sebagai perwakilan dari pemerintah RI di Sydney, Pak Gary menyatakan terbuka dengan aspirasi diaspora diantaranya dengan memfasilitasi aspirasi diapora dengan pemerintah pusat. Ketiadaan dwi kewarganegaraandipercaya membuat banyak WNI diaspora mengalami segala keterbatasan, misal tak mampu jadi politikus dan tertinggal dari negara lain.

“Disini orang Indonesia mengalami keterbatasan tidak seperti orang Vietnam dan India, tak mampu menjadi politikus atau mayor,” ujar Pak Gary. Padahal menurut Pak Gary, posisi ini sangat integral untuk menyuarakan aspirasi komunitas diaspora dan mendekatkan diri hubungan antar dua negara.

Tak lupa pak Gary menyatakan dukungan dan semangat pada Presiden Diaspora Indonesia NSW, Bpk Frans Simarmata untuk tidak menyerah dalam memperjuangkan aspirasi yang ada.

“Biar pak Frans jalan dulu…kalau jatuh baru saya angkat,” ucap Pak Gary, mengundang gelak tawa hadirin.

Bpk Frans Simarmata mengungkapkan bahwa pengakuan pemerintah pada diaspora selain untuk “connecting the dots” juga akan membuka mata bagaimana orang Indonesia memiliki peranan penting di luar negeri. “Tahukah anda ada orang Indonesia yang masuk semacam Densus NSW? Tahukah anda ada mereka juga yang bekerja di Reserve Bank Australia?” tanya pak Frans.

Diaspora Indonesia, khususnya yang bekerja di Australia biasanya adalah tenaga profesional dan terdidik. Pemerintah baru-baru ini mulai menyadari bahwa devisa yang dikirim dari Australia sendiri sudah sekitar 10% dari budget APBN.

“Uang yang dikirim dari Australia ke Indonesia itu 10% dari budget APBN, mereka (DPR) baru sadari itu,” tambah Pak Frans.

Panel diskusi dimulai bersama Ibu Indah Morgan (Koordinator Global IDN), Attache Imigrasi Kedubes Indonesia di Australia, Agus Haryono dan Bpk Salut Muhidin dari Research & Development IDN – Australia.

Ibu Indah berpendapat wajar bila pemerintah Indonesia ragu untuk membantu aspirasi ini bila keuntungan untuk pemerintah tidak sepadan dengan keuntungan pribadi WNI diaspora. Ibu Indah lalu menyebutkan negara Filipina yang mengalami kenaikan GDP diatas Indonesia sejak diberlakukannya dwi kewarganegaraan disana.

“Dibanding Indonesia, dari segi sumber daya, mereka (Filipina) lebih terbatas dari kita, tapi sejak dwi kewarganegaraan diberlakukan perkembangan GDP mereka diatas Indonesia,” ucapnya.

Menurut laporan quarter pertama tahun 2013, GDP Filipina melesat ke angka 7.8% melibas Cina (7.7%) dan Indonesia (6%). Apa kunci kuatnya GDP Filipina? Bu Indah menjelaskan bahwa meski sumber daya mereka terbatas dan tidak seperti Indonesia, negara ini lebih memacu potensi manusia-nya untuk menjadi skilled migrant yang dapat bersaing secara internasional dan tentunya ini tidak hanya bicara soal tenaga kerja buruh di Arab Saudi.

Orang yang memiliki dwi kewarganegaraan seperti Filipino biasanya lebih mudah menjadi prioritas utama karena mereka memiliki kesetaraan status sosial dengan negara tempat mereka bekerja. Disaat yang sama, Indonesia disebut bu Indah masih bermain “Hide & Seek” sambil memegang dua paspor.

Namun potensi Indonesia yang meski “dibatasi hak warganegara-nya” sudah cukup besar impact-nya.

“Remitansi satu orang (Indonesia di Australia) kira-kira mengirim uang $3000 per tahun ke dalam negeri dan dari sana sudah terkumpul 10% APBN setahun,” tambahnya. Jadi bisa dibayangkan seperti apa Indonesia meninggalkan Cina dan Filipina bila dwi warganegara diberikan.

Selain itu di jaman sekarang, ibu Indah menyebut bahwa negara yang tidak punya dwi kewarganegaraan kerap dianggap “2nd class” di era globalisasi. “Saya punya teman dokter di Inggris, ketika mencoba untuk mencari kerja di Qatar, ia ditanya passportnya. Setelah tahu passport-nya Indonesia, ia diberitahu bahwa tunjangan sosialnya 25% lebih rendah dibanding mereka (yang punya status dwi warganegara.),” tambahnya.

Mewakili pemerintah, Bpk Agus Haryono menyatakan bahwa selama ini pemerintah menyatakan itikhad baik untuk mempermudah kehidupan kaum diaspora. Salah satunya dengan UU 12 tahun 2006, dimana anak dari perkawinan campur WNA-WNI baru dapat “declare nationality” saat umur 21 tahun.

“Sejak 2006, kita kasih fleksibilitas pada kawin campur dengan UU 12 tahun 2006. Di Pasal 6, disebut umur 18 sudah harus tentukan warga negara. Tapi kita tahu ini adalah masa dimana anak sedang mau masuk Universitas. Tentunya kita tahu kalau ‘foreign citizen’ di-charge lebih mahal biaya pendidikannya. Karena itu di pasal yang sama ditulis kalau pernyataan memilih warga negara dapat disampaikan paling lambat tiga tahun. Jadi sekitar umur 21 saat deadline pengakuan kewarganegaraan, mereka setidaknya sudah lulus kuliah,” ujar pak Agus.

Sementara itu Bpk Salut Muhidin menawarkan alternatif seperti negara India. India sebenarnya tidak mengakui dwi kewarganegaraan. Namun negara ini punya solusi tersendiri. Warga India diaspora mendapat identitas yang namanya Overseas Citizenship of India. (OCI) dan Person of Indian Origin (PIO). OCI diberikan pada orang India yang lahir diluar India dan memiliki kewarganegaraan lain. PIO ditujukan pada orang India yang lahir di India, pegang paspor India dan bermigrasi ke negara lain serta mendapat citizenship di negara tersebut.

Pak Frans juga mengingatkan pada peserta acara untuk datang ke Kongres ke-2 Pulang Kampung dari tanggal 18-20 Agustus 2013. Acara ini cukup spesial karena delegasi dari Australia diundang oleh Presiden SBY ke istana negara.

“Delegasi dari Australia mendapat kehormatan diundang upacara 17 Agustus di Istana Negara untuk pertama kalinya. Ini bukti bahwa Presiden SBY mulai mengakui diaspora,” ujarnya.

Meski penuh atmosfer optimisme, bu Indah mengakui bahwa proses kelanjutan petisi 6000 suara yang diserahkan pada Wakil Ketua DPR tahun lalu belum ada kejelasan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun