Kota Macau selalu identik dengan glamornya perjudian dan kasino yang aktif selama 24 jam. The Venetian Macao, tempat penulis bersinggah adalah tempat kasino terbesar di jagad bumi. (Sumber: BusinessWeek.com) Dengan tinggi 40 lantai, tidak hanya kasino dan hotel, mall raksasa yang seolah tak berujung menampilkan berbagai barang bermerk.
Untuk menampilkan unsur ala kota Venice, Italia, kanal-kanal buatan dibangun dan tersedia gondola-gondola yang dapat disewa pengunjung untuk menelusuri mall ditemani boatman yang ramah dan dapat bernyanyi dengan suara merdu.
Keluar dari zona nyaman “The Venetian”, penulis pun meluncur menyusuri kota Macau untuk mendapatkan “street experience” yang tak kalah menarik. Sepanjang jalan berbagai marka dan rambu-rambu dilengkapi dengan bahasa Portugis. Identitas peninggalan kolonisasi Portugis sangat masih kental meski Macau kini sudah menjadi bagian dari Cina sejak 20 Desember 1999. Portugis merupakan satu dari dua bahasa resmi (selain bahasa Kanton) di Macau.
Mata uang yang berlaku adalah Pataca Macau. Namun Hongkong Dollar juga diterima dalam setiap transaksi tanpa ada perbedaan kurs. Terkadang ada juga gerai makanan atau situs wisata yang memasang biaya masuk dengan dollar Hongkong. Tenang saja, mereka juga menerima Pataca Macau. Sewaktu memasuki Museu De Macau misalkan, terdapat plang biaya masuk $15 (Bukan MP). Penulis memberikan uang 14 MP dan HK$1. Uang diterima dan tiket pun diberikan.
Didalam museum, penulis menelusuri lebih dalam relasi politik antara kolonialisme Barat dan Cina di Macau. Sejak abad 16, kedatangan Portugis mengubah Macau yang awalnya hanya kota biasa menjadi pelabuhan komersial penting antara Barat dan Timur.
Tak hanya pusat ekonomi, Macau juga menjadi pusat aktivitas religius bagi para misionaris Katolik (Katolik adalah agama mayoritas bangsa Portugis). Ordo Jesuit merupakan yang mayoritas saat itu dan mendapat resepsi baik dari Kaisar Cina. Ada alasan menarik dibalik hal ini. Ordo Jesuit bukan sekumpulan orang yang hanya tahu Alkitab dan Yesus. Mereka juga adalah golongan terpelajar dan banyak yang diterima di pelataran Kaisar untuk menduduki jabatan iptek seperti Matematika dan IPA guna memajukan bangsa Cina saat itu.
Faktor “East Meets West” juga mempengaruhi kuliner masakan Macau yang merupakan fusion antara masakan Chinese, Portugis, Afrika dan Melayu.
Tak Selamanya Nasionalisasi Jadi Solusi
Bagi penulis yang lahir di suatu negara dimana nasionalisasi berarti penghapusan budaya dan bahasa asing dari bumi tanah air, eksistensi bahasa Portugis yang berseliweran dimana-mana merupakan hal yang aneh. Apalagi Cina sendiri dikenal dengan arus politik komunisme-nya yang kental. Kultur gambling yang dibangun Portugis sejak tahun 1850 dibiarkan tumbuh dan bahkan didukung lebih giat oleh pemerintah komunis Cina ketika Macau sudah menjadi bagian teritorinya.
Bicara Macau mengingatkan penulis pada Timor Leste. Keduanya merupakan dua jajahan Portugal yang terakhir. Keduanya sama-sama lepas akibat faktor internal yang sama namun berakhir dengan kisah yang berbeda.
Pada tahun 1974, sebuah kudeta politik di Portugal menciptakan sebuah pemerintahan demokrasi yang baru. Aksi ini membuat cengkraman Portugal atas jajahannya di luar negeri melemah.
Ketika Indonesia melihat situasi ini sebagai kesempatan untuk melakukan invasi besar ke Timor Leste, Cina lewat Menteri Luar Negeri, Huang Ha justru malahan berdiplomasi dan memperbaiki hubungan kedua negara yang sejak lama tidak terlalu baik.
Berdiskusi dengan lihai, RRC tak hanya memenangkan hati Portugal, tapi juga dapat membuat Portugal memutuskan hubungan dengan musuh bebuyutan RRC, Taiwan pada 8 Febuari 1979. Baik Portugal dan RRC sepakat untuk mengakui Macau sebagai daerah teritori RRC, namun masih belum ada kesepakatan soal penyerahan Macau ke tangan RRC.
Sementara itu, Indonesia yang mengandalkan kekuatan militer dan dukungan Amerika Serikat dengan mudah menguasai Timor Leste. Dukungan barat terhadap Indonesia dikarenakan rasa takut Timor Leste dikuasai rejim komunis. Ingat, ini adalah masa Perang Dingin.
RRC sendiri masih harus bersabar. Namun hubungan diplomatik kedua negara membaik seiring dengan kunjungan delegasi kedua negara dari tingkat bawah hingga tingkat kepala negara. Pada 30 Juni 1986, pembicaraan resmi dua negara mengenai status Macau dimulai. Pembicaraan ini terdiri atas 4 sesi terpisah yang berakhir pada 23 May 1987. Lama bukan? Bisa dibayangkan betapa alotnya perdebatan yang terjadi.
Ketika Indonesia sibuk menutup mata dunia dari segala kejahatan perang di Timor Leste, Cina mulai memetik buah hasil kesabaran. Pada 13 April 1987, Sebuah perjanjian bernama “Joint Declaration on the Question of Macau” ditandatangani oleh RRC dan Portugal. Tertulis bahwa masa administrasi Portugal atas Macau berakhir pada 20 Desember 1999.
Dalam perjanjian ini Cina juga memperhitungkan faktor sosio-kultur yang sudah bertumbuh semenjak Macau dipegang Portugal selama ratusan tahun. Berkaca pada Hongkong yang menggunakan sistem “satu negara dua sistem,” Macau pun diberi status “Daerah Istimewa” atau Special Administrative Region.
Sistem kapitalis liberal dan sistem hukum berbasis Portugis yang sudah berkembang dibiarkan hidup dan Macau menikmati hak untuk menjalin hubungan kerja dengan negara atau organisasi internasional seperti WHO atau APEC layaknya negara independen. Macau juga memiliki bendera sendiri. Hanya keamanan Macau saja yang menjadi tanggung jawab militer RRC.
Pada akhir milenia, Macau akhirnya kembali ke pangkuan Cina. Meski perjanjian “Daerah Istimewa” itu disebutkan berlangsung untuk 50 tahun dan tidak diketahui bagaimana nasib Macau setelahnya, setidaknya win-win solution telah terjadi. Baik Portugal dan RRC menyelesaikan status Macau dengan damai.
Sementara itu di tahun yang sama Indonesia hanya bisa gigit jari, tatkala rakyat Timor Leste menolak referendum unifikasi. Pemberian status “Daerah Istimewa” sudah terlalu terlambat dan terjadi hanya karena Indonesia terdesak dari faktor internal maupun eksternal.
Tamparan terberat adalah mengganti bahasa resmi dari Indonesia menjadi Portugis dan Tetum. Padahal dibawah okupasi Indonesia, bahasa Portugis dilarang karena dianggap sebagai bahasa penjajah. Ah kini siapa penjajah sebenarnya?
Indonesia yang dulunya pernah merasakah pahitnya dijajah, kini tercatat sebagai agresor dan bangsa penjajah tak ubahnya seperti Belanda. Ironis. Jas Merah Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah kata Bung Karno. Indonesia saja meraih kemerdekaan berkat diplomasi bukan kekerasan. Ingatlah akan kekuatan suatu diplomasi.
Anda Mungkin Tertarik Membaca:
2. Kasus Atut Bukti Wanita Harus Lebih Dipersulit Berpolitik
3. Caleg PKS ini Janji Bisa Berantas Korupsi Dalam Setahun Asalkan.....
4. Jusuf Kalla: Agama Kristen Ada 300 Aliran, Islam Cuma Satu, Kurang Toleran Apa Indonesia?
5. Kontroversi Hak Paten Allah: Ketika Muslim Tidak Terlatih Menghadapi Kesamaan Ketimbang Perbedaan