Siang itu (2 November 2012) massa buruh kembali berkumpul didepan Balaikota. Misi mereka sebenarnya simple: meminta Wakil Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama untuk menemui dan mendengar aspirasi mereka serta dikabulkannya sejumlah permintaan. Salah satunya adalah kenaikan upah minimum buruh.
Pak Basuki sebenarnya saat itu sedang sibuk. Pria yang dikenal dengan nama Ahok tersebut sedang mengadakan pertemuan tertutup dengan Dinas Pariwisata DKI. Lagipula seminggu sebelumnya (24 Oktober), Pak Basuki sudah menyempatkan diri untuk bertemu dan berbicara dengan para wakil buruh langsung.
Namun setelah dikabari ajudannya, Pak Basuki bergegas turun. Sesampainya di luar gedung Balikota, ia melakukan sebuah manuver yang terlihat asing dan bisa dikatakan nekad untuk ukuran standar pemimpin di Indonesia. Pak Basuki langsung nyelusup ke tengah-tengah massa dan berdiri di atas mobil orasi.
"Ayo kita buat barikade untuk mengawal Pak Ahok (panggilan Basuki). Pak Ahok kelihatan gagah sekali, seperti turun dari kahyangan, mau menghampiri kita di tengah kesibukannya," kata sang orator demo. (Kompas, 2/11/2012).
Dengan sigap Pak Basuki mengambil mike dan berbicara: “"Saya kira kita telah membuat sejarah baru, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tidak dihitung tahun ini, tapi tahun depan. Diproyeksikan ke tahun depan. Tadi kami sudah berhasil memutuskan seperti itu. Sekarang tinggal kita membicarakan Upah Minimum Provinsi (UMP)," ujarnya. (Kompas, 2/11/2012)
Tahu bahwa ia dituntut untuk memenuhi kenaikan upah, Pak Basuki memberi wejangan bahwa menaikkan gaji tidak akan menyelesaikan masalah. “UMP dipastikan diatas KHL, tapi itu tidak cukup memang, makanya kami memberikan jaminan kesehatan, masuk puskesmas gratis, dirujuk ke RSUD, perawatan dan obat-obat kita tanggung…juga sekolah kita adakan kartu pintar…..jaminan perumahan dan transportasi murah.” (Kompas, 2/11/2012)
Harus diakui, keberanian Pak Basuki menyambangi massa patut diacungi jempol. Bicara soal common sense sebenarnya bukanlah suatu hal pengecut bila dia tidak bertemu dengan para buruh. Sebuah hal yang berisiko bila kita masuk dalam gerombolan pendemo dan ada kemungkinan….things could go bad bila kita “salah bicara” yang berakibat fatal atau kehilangan nyawa ditengah gerombolan orang-orang asing yang emotionally tidak bisa diprediksi.
Namun Pak Basuki mendobrak pemikiran ini. Rakyat bagaimanapun adalah sekumpulan individu yang senang ketika pemimpin memperhatikan mereka. Kenekatan Pria yang pernah berkata rela “ditembak mati saat mengibarkan bendera Merah Putih” ini justru membuatnya semakin berkesan di hati para buruh. Tak aneh, sehabis Pak Basuki bicara, massa buruh langsung bubar teratur tanpa anarki.
Sejak masa orde baru, rakyat sudah terbiasa hidup ala feudal dimana selalu ada jarak antara mereka dan pemimpin. Adapun, pemimpin sudah terbiasa hidup “alergi” untuk tidak turun langsung kecuali saat Pemilu atau Pilkada. Kalaupun ada yang turun, paling hanya petugas keamanan yang lengkap dengan pentungan dan gas air mata. Tough love my friend…Tough Love.
Mungkin hal ini yang membuat kaum buruh jadi sedikit “salah tingkah” sampai mendemo pak Basuki dua kali (dalam kurun waktu seminggu) untuk melihat apakah respon seorang Ahok benar-benar genuine? Dan ternyata persis seperti pada tanggal 24 Oktober, Pak Basuki kembali berani untuk menyelam lautan massa buruh untuk memberi update, solusi serta pertanggungjawaban atas janji yang ia beri seminggu lalu.
Lebih lagi, pak Basuki menyatakan bahwa komunikasi tidak berhenti sampai disitu saja. "Harap para pekerja, habis maghrib kalau lowong, ke tempat saya. Kita ngobrol kalau ada keluhan, tapi jangan banyak-banyak enggak tahan kasih makannya, sebulan sekali lah kita ngobrol, kami kirim utusannya." (Kompas, 2/11/2012)
Sebagai warga keturunan dan juga menganut agama minoritas, pak Basuki berhasil mematahkan anggapan bahwa hanya orang yang seiman dan sesuku yang sanggup mengayomi Jakarta serta tidak “alergi” pada rakyat. Ada pepatah yang bilang: “Menjadi minoritas dalam kuantitas adalah suratan takdir…Namun menjadi minoritas/mayoritas dalam kualitas adalah suatu pilihan.”
Semoga semakin bermunculan Ahok-Ahok dan Jokowi yang baru…karena pemimpin yang tidak “alergi” rakyat masih sedikit.