Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop

Teroris Masih Ada, Siapa (Yang Bisa Dikambinghitamkan?)

5 September 2012   12:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53 455 0

Acara TV One kemarin menyajikan tema “Teroris Masih Ada, Salah Siapa?” Karni Ilyas menyajikan berbagai narasumber mulai dari Intelijen, Kepolisian, Pemimpin Religi, Pengamat Politik dan beberapa anggota wakil rakyat.

Diskusi dimulai ketika Kepala BNPT Ansyaad Mbai memberikan keterangan. Ia berpendapat bahwa pengamat-pengamat harus berhenti berkonspirasi mengenai kaitan aksi teror dengan Pilkada DKI atau kunjungan Hillary Clinton.

“Terlalu ngawur analisis itu pak. Teroris tidak berurusan dengan Pilkada. Dia negara, khalifah tujuannya,” ujarnya pada Karni.

Dan juga Ansyaad menegaskan keterlibatan Ngruki dalam aksi teror ini.

“Mereka berangkat dari Ngruki,itu daerah persiapan (dari sudut pandang militer), dan balik lagi ke Ngruki...itu fakta pak.”

Suka tidak suka, kasus teror Solo ini kembali menyinggung keterlibatan Pondok Pesantren yang dalam konteks ini adalah Ngruki. Tapi seperti kita tahu, Ponpes seperti sebuah “sacred institution” dan bila institusi keagamaan (terutama agama mayoritas) disinggung dengan aksi teror, sensitivitas dan keresahan mudah terjadi.

Sehingga akhirnya sangat mudah ada pihak yang berasumsi bahwa polisi mendeklarasikan Ponpes secara general sebagai sarang teroris. Akhirnya beberapa argumen defensif sempat keluar seolah-olah umat Islam dikambinghitamkan dan dikaitkan dengan aksi teror. Ketua BNPT sempat diingatkan untuk “berhati-hati dalam berpendapat” oleh narasumber lain.

Bagi yang menonton acara semalam, terlihat bahwa tiap kubu memiliki definisi teror yang berbeda-beda. Pengamat Mustafa Nahrawardhana yang dengan lantang menyebutkan bahwa aksi teror yang ada di Solo belum tentu teror dan dengan berani menyebutkan bahwa fakta dapat direkayasa. (Tidak jelas apakah itu juga berarti mengatakan kalau kematian anggota Densus juga hanya rekayasa juga)

Imam Besar Istiqal Ali Mustafa Ya’qub “bermain aman” dengan menyebut bahwa terorisme masih ada karena “ada yang membuat.” Cukup ambigu, tapi intinya beliau berusaha membawa penonton untuk menjauhkan isu teror dengan SARA.

Dalam diskusi ini ada satu hal yang terlewatkan menurut saya. Hal tersebut adalah kesepakatan berbagai kubu mengenai definisi teror yang sebenarnya. Ponpes memang bukan sarang teror, tapi harus diakui beberapa Ponpes di Indonesia telah disusupi. Fakta terakhir ini memang sulit diterima terutama kaum Muslim karena adanya perasaan serba salah. Kalau diakui, nanti dikira tidak membela agama tapi kalau diabaikan, terorisme akan tetap nyaman “diterima” disana.

Perbedaan definisi teror ini membuat ada rasa tidak aman dan curiga antara masyarakat dan polisi. Terkadang setiap manuver Densus 88 dianggap menista aktivitas umat Muslim dan sikap non-kooperatif institusi-institusi beragama membuat Polisi hanya bisa reaktif dengan strategi “menunggu” dan “bertindak” setelah ada kejadian. Coba kalau tiba-tiba Densus datang merazia sebuah Ponpes dan menginterogasi petinggi-petinggi pesantren hanya berdasarkan “sebuah data intel” bahwa ada aksi teror sedang direncanakan disana, bisa dibayangkan betapa gaduh dan gemuruhnya suara kaum Muslim. Polisi dan Densus semakin tidak dipercaya. Aparat dianggap semena-mena dan tidak mempedulikan kepentingan kaum Muslim dan otak pelaku teror semakin mudah mendapat anak-anak binaan barunya. Skenario yang apik untuk si pelaku teror. Always wins in every situations. (Hal ini mengakibatkan kita sekarang melihat bahwa seberapa gencar Ngruki dikaitkan dengan teror, mereka tetap tidak disentuh seolah dibiarkan)

Karena itu harus ada kesatuan hati mengenai apa yang sedang terjadi di negara ini. Akui bahwa institusi keagamaan kini telah disusupi dan diracuni. Karena itu ketika misalkan institusi keagamaan tertentu mendadak dikaitkan dengan jaringan teror, mereka tidak perlu panik dan membangun tembok pembenaran seolah mereka dikambinghitamkan karena tidak ada satupun hal yang sempurna didunia ini. Yang pengurus institusi perlu lakukan adalah bekerjasama dengan aparat untuk bersama-sama mengeluarkan “parasit” yang menghinggapi institusi tersebut. Untuk kasus Ngruki misalkan (skenario terbaiknya), sekalipun petinggi-petinggi-nya “bersih” paling tidak pasti ada satu atau dua pengajar dengan kapasitas pemuridan dan cuci otak sehingga regenerasi selalu tersedia.

Pilihan hanya dua: Melindungi Reputasi atau Reformasi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun