Berkat klarifikasi Kompasianer Erwin Alwazir, tercerahkan sudah bahwa bukan air kemasannya yang diharamkan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin melainkan privatisasi swasta dan asing terhadap air kemasan.
Memang setelah mengecek dari berbagai media massa, isi makna perkataan Din memang sesuai dengan apa yang ditulis Erwin. Salah satunya dari media massa Merdeka menulis seperti ini:
"Air kemasan tidak boleh diserahkan ke swasta apalagi swasta asing. Air (kemasan) itu seharusnya dikuasai negara,"
Bila mengikuti tafsiran Erwin, Din secara tidak langsung berkata bahwa lumrahnya itu kalau air kemasan itu diproduksi dan dijual oleh pemerintah. Kira-kiranya itu, pemerintah bertindak sebagai perusahaan air minum tunggal tanpa ada saingan alias monopoli. Tentu ini menimbulkan polemik baru mengingat sepertinya tidak ada satupun negara di dunia yang pemerintahnya berjualan air kemasan.
Katakanlah pemerintah mempunyai pabrik kemasan air sendiri. Skenario yang logis adalah memberlakukan subsidi seperti BBM supaya rakyat kecil dapat membeli dengan harga murah.
Namun masalah sebenarnya bagi bangsa ini bukan di sistem, melainkan mental garong yang sudah berakar dan beranak cucu. Yakinkah kalau dana subsidi ini dapat dikelola dengan baik dan bersih? Ataukah justru malah tercipta “lahan basah” yang baru.
Di negara-negara Barat, air minum pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai komoditas gratis. Di Australia, anda masuk restoran manapun, maka anda dapat meminta tap water atau air secara cuma-cuma. Supply air minum berasal dari waduk, air laut dan limbah rumah tangga dan dikelola melalui filterisasi canggih sebelum dialirkan langsung ke keran rumah maupun situs-situs publik.
Sungguh ironis mengapa Indonesia tak mampu “curi ilmu” dari Australia dan tiap tahun, setidaknya selalu ada anggota legislatif yang “studi banding” namun hingga sekarang sistem pengelolaan air dari negara tetangga tak pernah terpikir untuk “disadap balik.”
WHAT THE HELL ARE THEY DOING???!!!
Sangat mengejutkan mengingat tanah Australia “relatif terkutuk” dan miskin air sampai-sampai ada kebijakan water restriction dari pemerintah dengan denda yang tidak tanggung-tanggung. Tahukah anda bahwa menyiram bunga setelah pukul 10 pagi dapat dikategorikan tindakan kriminal disana? Namun soal konsumsi air minum, pemerintah Australia menjadikan komoditas tersebut accessible for public.
Adapun peranan penjual air kemasan adalah menjual “kualitas” dan bukan sekadar air yang layak diminum. Bagi warga Indonesia di negeri Kangguru yang sudah terbiasa minum AQUA, tentu dapat membedakan “rasa” antara air kran dan air kemasan. Air kemasan adalah barang mewah dan diciptakan bagi mereka yang mampu membeli.
Secara hukum, penulis merasa bahwa pemerintah tidak melanggarUUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi : (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintah nyatanya menguasai, cuma tidak mampu saja mengelola drainase dan filterisasi air minum seperti di Australia. Bila mau fair, yang harus dilakukan Din adalah mengkritik ketidakmampuan pemerintah dan badan PAM yang meski singkatannya Perusahaan Air Minum, tapi kenyataannya masih banyak orang yang harus bergantung pada air kemasan.
Kalaupun pemerintah mampu menyediakan akses air minum untuk semua orang, lantas kenapa private swasta maupun asing harus hengkang? Bukankah mereka juga menciptakan lapangan kerja serta membayar pajak pada negara? Memangnya MUI mau menyantuni mereka yang menggantungkan hidupsebagai karyawan di perusahaan air minum swasta?
Silahkan saja, komoditas air kemasan menjadi barang mewah, selama pemerintah mampu mendistribusi air layak minum kepada mereka yang tak mampu. Contoh lainnya adalah rumah sakit. Apakah karena pemerintah gagal memberikan akses kesehatan pada masyarakat kecil, lantas rumah sakit swasta harus ditutup semua?
Rumah sakit swasta ada untuk memenuhi fasilitas dengan kualitas berbeda bagi mereka yang mampu. Hal ini tidak masalah, selama pemerintah dapat menjamin rakyat kecil mendapatkan akses kesehatan yang sama meski bedanya hanya tidur di kelas 3.
Beberapa orang berpikir bahwa definisi merdeka itu artinya suatu negara dapat berswasembada atas segala hal. Pada faktanya, hal tersebut adalah utopia. Sama seperti manusia yang disebut sebagai makhluk sosial, kehidupan antar negara pun saling membutuhkan satu sama lain.
Sebenci-bencinya Venezuela pada USA, mereka hingga tahun lalu tercatat sebagai eksporter minyak bumi terbesar keempat bagi negeri Paman SAM. Memangnya Venezuela sampai kekurangan bisnis partner dan kurang mesra apa, Amerika Serikat dengan negara-negara penghasil minyak lain seperti Arab Saudi?
Berhubung Erwin menggunakan contoh negara “Cina, Iran dan Venezuela” sebagai negara yang diyakini menjalankan utopia anti-swasta dan asing terutama dalam kasus privatisasi air mineral, maka penulis harus mengklarifikasi beberapa hal terlebih dahulu.
1.Cina
Air kemasan swasta dan asing adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri lagi di Cina. Merk kemasan Nestle (Pure Life Brand) salah satunya dapat ditemukan dengan mudah di pertokoan dan saya kira para Kompasianer yang pernah jalan-jalan ke Cina mungkin dapat juga mengkonfirmasi.