Pada hari Selasa (18/3/2013), Semenanjung Crimea secara resmi meninggalkan Ukraina dan bergabung dengan Russia. Hasil referendum menunjukkan persetujuan dari 96% warga Crimea yang didominasi tiga etnis besar yakni: etnis Russia (58%), etnis Ukraina (24%) dan sisanya etnis Tatar.
Kontan, negara-negara Barat, khususnya NATO berang dengan manuver tersebut yang dianggapnya tidak menghargai kedaulatan Ukraina. Terlebih lagi pemerintah Ukraina yang tentunya merasa “dirampok” dan menyebut referendum tersebut adalah permainan sepihak dari Russia. Sementara itu Vladimir Putin dengan tangan terbuka menerima wilayah yang sebelumnya pernah menjadi bagian dari Uni Soviet.
Sejarah mencatat, bahwa sejak 19 Febuari 1954, Crimea berpindah tangan dari Federasi Russia kepada Ukraina yang saat itu masih sama-sama berada dalam naungan Uni Soviet. Pemain kunci dibalik peralihan tersebut tak lain adalah Sekretaris Jenderal Partai Komunis, Nikita Krushchev yang juga seorang etnik Ukraina.
Lalu apa hubungannya dengan Papua? Propinsi paling Timur di Indonesia ini memiliki kisah yang kurang lebih sama. Peralihan Papua atau Irian Barat ke tangan Indonesia saat itu berkat andil sebuah referendum bernama PEPERA atau Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969. Bagaimana dan cara pelaksanaan referendum tersebut hingga kini penuh dengan kontroversi dan sejumlah ketidaktransparanan persis seperti polemik yang terjadi di Crimea
Adapun berdasarkan perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, tercatat di pasal 18, bahwa Indonesia dengan bantuan PBB akan mengatur supaya tercipta kebebasan bagi warga Papua untuk menentukan haknya. Secara spesifik disebutkan pentingnya ada referendum apakah rakyat Papua ingin bergabung dengan Indonesia atau menjadi independen sendiri.
Secara kontroversial, PEPERA diadakan dengan campur tangan Indonesia sendiri yang memilih 1025 pemilih dari total 800,000 jumlah populasi saat itu. Tak hanya itu, melalui bocoran kabel diplomatik Amerika Serikat, diketahui ada pertemuan rahasia antara pejabat Amerika Serikat dan perwakilan PBB, Ortiz Sanz seputar implementasi PEPERA.
Disana disebutkan bagaimana Ortiz berusaha membuat sebuah referendum dimana hasilnya dipastikan akan menjaga "kedaulatan Indonesia" dan disaat yang sama menunjukkan “keinginan rakyat” serta mengikuti “norma-norma standar internasional.”
Wacana bergabungnya Papua dengan Indonesia awalnya dianggap kurang populer. Aneksasi tersebut hanya dianggap “perpindahan kolonialisme dari tangan kulit putih (Belanda) kepada kolonial kulit coklat (Indonesia).” Administrasi President Kennedy namun memiliki pandangan lain. Dengan semakin sengitnya Perang Dingin antara U.S dan Uni Soviet, “bahaya pengaruh komunisme di Indonesia” dianggap lebih mengancam ketimbang persahabatannya dengan sekutu lama, Belanda.
Alhasil berbagai lobi politik Amerika Serikat di PBB lebih memfavoritkan Indonesia dalam menganeksasi Papua (Irian Barat). Salah satunya adalah mendukung pengibaran bendera Merah Putih setelah 1 Januari 1963 disamping bendera PBB. Padahal jajak pendapat PEPERA baru diadakan 6 tahun kemudian.
Dengan mengakui jajak pendapat dan integrasi Papua Barat pada Indonesia, hal ini merupakan kemenangan diplomatis Amerika Serikat pada poros komunis. Tak disangka 51 tahun kemudian negara tersebut akan menghadapi dilema dan oposisi dari poros politik (komunis) yang sama. Bedanya, Amerika Serikat bertukar posisi dan menolak referendum integrasi rakyat Crimea kedalam Russia.
Isu Separatisme Crimea Tatar
Meski hasil PEPERA menunjukkan bahwa hasil voting jelas memfavoritkan Indonesia, di lapangan ketidakpuasan dimanifestasikan baik melalui kritik internasional dan gerakan separatisme internal. Sejumlah negara-negara Afrika dan tokoh anti-apartheid, Desmond Tutu meminta PBB untuk meninjau ulang hasil PEPERA. Di Papua sendiri, gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang aktif sejak 1963, kerap bentrok dengan militer Indonesia.
Kembali ke polemik Crimea, kali ini kita berfokus pada etnis minoritas Tatar. Mereka bisa dianalogikan sebagai “Yahudi versi Ukraina.” Alasannya karena kedua suku tersebut sama-sama pernah mengalami pengusiran dari tanah asalnya.
Bila Yahudi diusir dari tanahnya oleh Kaisar Hadrianus, di era Romawi pasca kekalahan revolusi Simon Bar Kochba (132-135), maka suku Tatar yang mayoritas beragama Islam diusir dari tanahnya pada tahun 1944 di era pemerintahan Joseph Stalin dengan tuduhan “kolaborator Nazi.”
Banyak warga Tatar yang menderita kehilangan tempat tinggal dan nyawa saat itu. Baru sekitar tahun 1967, pemerintah Soviet mencabut tunduhan tersebut. Namun hampir tidak ada tindakan untuk memfasilitasi kepulangan etnik minoritas tersebut. Warga Tatar mulai berani kembali pasca runtuhnya Uni Soviet.
Integrasi Crimea kedalam Russia kemungkinan menguak trauma masa lampau warga Tatar. Meski hasil referendum menunjukkan hasil 96% setuju akan integrasi, banyak warga Tatar yang golput dan menganggapnya sebagai aksi separatisme.
“Kami sudah pernah merasakan hidup dibawah pemimpin totalitarian dan idiot. Tapi setidaknya di Ukraina kami lebih merasa bebas. Kami masih bisa bebas menggugat hak kami di Ukraina. Sekarang kami harus melanjutkan perjuangan dibawah okupasi (Russia),” ucap Akhtem Chiygoz, ketua komunitas Tatar di kota Bakhchisarai, seperti dilansir Time. Saat referendum diadakan, Chiygoz bersama rekan aktivisnya menolak mengikuti referendum.
Aksi golput juga diperkirakan datang dari etnik Ukraina. Bila benar kedua etnik minoritas tersebut melakukan aksi golput, dan hanya etnik Russia yang mengikuti referendum maka hasil jajak pendapat tidak terlalu mengherankan. Namun setiap elemen sosial yang merasa “tersingkir” kelak dapat berpotensi menjadi bom waktu di kemudian hari.
Catatan Penulis:
Mungkin 5 tahun dari sekarang, ketika anak SD di Moskow belajar mengenai sejarah, maka mereka akan belajar bagaimana Russia “membebaskan” Crimea dari “kolonialisme Ukraina.” Hal yang sama ketika kita belajar bagaimana Indonesia “membebaskan” Papua dari “kolonialisme Belanda.”
Masih ingatkah pula bahwa saat Jepang menundukkan Belanda, mereka juga mengklaim sebagai “pembebas Asia?”
Hmmm...siapakah yang dapat menentukan bahwa si anu penjajah dan si anu adalah pahlawan pembebas? Sejarah hanyalah milik pemenang.
Semoga Presiden Vladimir Putin tahu apa yang ia lakukan.
Semoga otoritas Crimea yang pro-Russia sadar akan tiap konsekuensi atas integrasi dengan Russia.
Semoga saja Crimea tidak menjadi seperti Papua.
Meski berbeda secara letak geografis, baik Crimea dan Papua membutuhkan satu hal yang sama: TRANSPARASI dan KEJUJURAN di mata komunitas internasional.
Anda Mungkin Tertarik Baca:
2. Jusuf Kalla: Kristen Ada 300 Aliran, Islam Cuma Satu. Kurang Toleran Apa Kita?
3. Tanya Ketua MUI, Negara Mana Yang Jualan Air Kemasan?
4. Belajar Dari Macau, Tak Selamanya Nasionalisasi Jadi Solusi
5. Insiden Kasar Ridwan Saidi di TV One Saat Bahas Pencapresan Jokowi