“Sejumput kekuasaan lebih penting dari segudang idealisme.”(Mahfud MD saat diwawancarai di Mata Najwa, Metro TV, 16/4/2013)
Berkaca pada pemikiran ulama NU, Mahfud memaparkan bahwa politisi harus realistis dalam persaingan politik. Beberapa hari setelah mengucapkan itu, Mahfud tertangkap basah bertemu dengan Capres Partai Golkar Aburizal Bakrie. Dengan terang-terangan saat itu mantan ketua Mahkamah Konstitusi menyebut bahwa dirinya “cocok dengan Pak Ical.”
Tak hanya itu, Mahfud baru-baru ini juga melempat statement menarik. “Kemunduran umat Islam itu selalu merasa besar padahal kecil (realitanya),” ucapnya di Mata Najwa.
Seperti kita ketahui parpol berbasis Islam seperti PKB diketahui merapat pada partai nasionalis PDI-P, sedangkan PPP mendekat pada Gerindra. Ucapan ini dilemparkan kala banyak suara yang menyayangkan beberapa Partai Islam yang memilih berkoalisi dengan partai nasionalis ketimbang membentuk poros tengah yang tengah digarap Amien Rais.
Belum ada keputusan sikap yang resmi soal formasi capres-cawapres Golkar, tapi menarik untuk mencermati manuver politik seorang Mahfud. Hingga kini, ia masih menjadi bakal capres PKB bersama Jusuf Kalla dan Rhoma Irama, meski realitanya hal tersebut mustahil kecuali wacana koalisi Partai Islam tergenapi. Entah bagaimana nasib hubungan Mahfud dengan Cak Imin yang sepertinya sudah keburu jatuh hati pada PDI-P.
Sosok ARB dari segi rekam jejak kelam pasca isu lumpur Lapindo yang hingga kini perkara ganti rugi masih dipersengketakan. Terlebih lagi sejak Nasdem merapat pada PDI-P, berita-berita di Metro TV kini semakin gencar menyorot keretakan internal dalam Golkar. Terakhir ARB diminta untuk mundur sebagai capres setelah adanya ketidakpuasan di Forum Silahturahmi DPD II Golkar. Tak heran bila badai puting beliung internal PPP suatu saat akan mampir menggoyang kekokohan “pohon beringin.”
Tapi Mahfud MD mungkin punya “matematika” sendiri hingga mau menyempatkan diri bertemu dengan ARB. Golkar tak peduli seburuk apapun image dan kasus yang mendera, mereka selalu memiliki kestabilan politik yang luar biasa. Di Pileg 2004 dan 2009, Golkar tetap berjaya dengan meraup suara terbanyak pertama dan kedua di dua era, meski kerap diasosiasikan sebagai penerus Orde Baru.
Selama Orde Baru ada semacam istilah yang beredar di kalangan orang awam. PPP disebut sebagai Rumah Umat Islam. PDI disebut sebagai Partai Wong Cilik. Lalu bagaimana dengan Golkar? Si pohon beringin dikenal sebagai “Partai Intelektual.” The best minds of the nation were there. Bahkan kader-kader terbaiknya seperti Surya Paloh, Prabowo dan Wiranto sanggup mendirikan Partai sendiri serta mampu exist ketimbang puluhan partai-partai yang muncul mendadak (dan lenyap mendadak juga) pasca reformasi 1999.