Konon, banyak orang mengibaratkan Indonesia sebagai sempalan surga. Perumpamaan itu memang bukan isapan jempol belaka melihat fakta-fakta yang menunjukkan keistimewaan negeri ini. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas 13.466 pulau. Kesuburannya yang tiada tara membuat sumber daya alam dapat ditemukan melimpah baik di daratan maupun di lautan. Pulau-pulau itu didiami oleh 1.128 suku bangsa yang melafalkan 749 bahasa daerah yang berbeda-beda. Atas perbedaan itu, ribuan suku bangsa tersebut tak lantas saling bermusuhan satu sama lain. Akan tetapi, kerukunan telah menjadi pilihan hidupnya selama ratusan tahun. Inilah sebuah gambaran indah negeri ini yang direfleksikan dengan keberadaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Tahun ini, TMII genap berusia 40 tahun, suatu usia yang tak lagi muda. Di usia ini, TMII telah menunjukkan keberhasilannya dalam menyajikan atraksi wisata khas budaya Indonesia. Sebagai sebuah proyek ambisius, TMII digagas oleh Ibu Tien Soeharto pada 13 Maret 1970 dengan tujuan sebagai ruang pamer kemajemukan bangsa Indonesia. Di dalam negeri, keberadaan TMII diharapkan mampu memupuk kebanggaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia akan khasanah budaya yang dimilikinya. Sementara itu, bagi bangsa-bangsa lain di dunia, taman wisata ini merupakan inspirasi akan keberagaman suku, budaya, agama, bahasa dan tradisi bangsa Indonesia yang hidup rukun dalam harmoni.
Kita dan TMII
Ketika jaman sekolah SD dulu, keberadaan TMII sudah disinggung dalam buku pelajaran yang saya baca. Saya pun yakin kalau pembaca sekalian juga mengalaminya. Dari sana lah, timbul ketertarikan untuk bisa mengunjungi TMII suatu saat nanti. Kalau dipikir upaya penyebutan TMII ini sebagai tujuan wisata budaya merupakan branding yang sangat mengena kepada anak-anak sekolah. Dalam pikiran saya, bertandang ke TMII merupakan cara termurah untuk menikmati keberagaman budaya negeri ini. Layaknya ribuan anak-anak sekolah dari luar Jakarta yang berbondong-bondong mengunjungi TMII saat ini, saya menjejakkan kaki pertama kali di taman wisata tersebut ketika ikut study tour SMP tahun 1998.
Tak hanya pengetahuan yang didapatkan, rasa bangga memiliki keberagaman tradisi dan budaya dan menjadi bagian dari keluarga besar yang bernama Indonesia sungguh saya rasakan saat berwisata ke TMII. Taman wisata seluas 150 hektar ini laksana sebuah buku cerita yang memaparkan kekayaan tradisi dan budaya yang dimiliki Indonesia. Memasuki setiap wahana yang ada di TMII ibarat membaca lembar demi lembar keelokan warisan bangsa. Saya pun yakin pembaca juga merasakan hal yang sama ketika berkunjung ke TMII. Kalau tidak, berarti rasa nasionalisme Anda dipertanyakan.
TMII, ruang belajar nyata budaya Indonesia
Tujuan didirikannya TMII adalah mereplika Indonesia dengan segala kekayaan alam dan budayanya. Oleh karena itulah, dibuatlah beberapa wahana yang menyerupai kondisi nyata Indonesia. Dari sini, pengunjung taman wisata ini diajak belajar mengenal negara dan bangsanya secara utuh. Kesadaran kita akan betapa besarnya negara ini ditampakkan pada peta wilayah Indonesia yang dibuat di atas danau buatan. Negara ini tersusun atas pulau-pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh lautan luas. Di setiap pulau tersebut didiami suku-suku bangsa dengan corak budaya yang berbeda. Di bagian lain keragaman ini ditunjukkan dengan anjungan rumah adat dari 33 provinsi yang bisa disambangi oleh pengunjung. Dengan mengerti keragaman budaya dan tradisi, maka akan timbul sikap saling menghargai dan menyaudara antara warga bangsa.
Kebanggaan akan kekayaan alam Indonesia juga dikobarkan melalui pembangunan unit flora fauna. Koleksi bunga melati, anggrek, kaktus, tanaman apotik hidup, reptil, bekisar, burung, dan hewan air tawar dapat dinikmati pengunjung selama beranjang sana ke TMII. Selain menghibur, pengunjung dapat memetik manfaat flora bagi kehidupan mereka, sehingga kesadaran untuk menghargai dan menjaga alam untuk kemashalatan manusia dapat tumbuh. Upaya edukatif inilah yang ingin dikedepankan dengan keberadaan unit flora dan fauna ini. Terlebih lagi, TMII merupakan jujukan pelajar dari seluruh Indonesia. Oleh karenanya, dengan kelengkapan koleksi akan mewakili flora dan fauna khas yang berasal dari berbagai daerah. Dengan begitu, rasa bangga dapat dirasakan oleh seluruh pelajar Indonesia karena flora dan fauna daerahnya dipamerkan di sana. Rasa menjadi bagian Indonesia merupakan tahap awal dalam merekatkan persatuan bangsa.
TMII, wahana ekspresi dan apresiasi budaya Indoesia
Orang akan merasa diterima bila diberikan wadah untuk bereskpresi. Begitu juga dengan suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia ini. Pandangan ini sungguh dimaknai oleh TMII dengan menggelar berbagai acara kebudayaan. Secara terjadwal dengan baik, seperti lomba menyanyi lagu daerah, pagelaran seni tari daerah, pagelaran kethoprak, pagelaran Lenong Betawi, karnaval keprajuritan nusantara disuguhkan kepada pengunjung TMII. Mereka yang berpartisipasi dalam acara kebudayaan tersebut biasanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Menyaksikan mereka merupakan bentuk apresiasi tak hanya atas budaya dan tradisi, tetapi juga upaya mereka yang tak pernah lelah dalam memelihara warisan bangsa. Terlebih lagi di masa ini di mana minat generasi muda untuk mempelajari budaya bangsa sangat rendah, dibutuhkan agen-agen penjaga budaya seperti mereka. Namun tampaknya, daya juang  mereka dalam mempertahankan budaya juga sangat memerlukan dukungan kita semua. Minimal, sebagai penonton di setiap pagelaran budaya yang diselenggarakan oleh TMII, kita sudah memotivasi mereka untuk menjaga warisan budaya bangsa.
Tantangan TMII saat ini
‘Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang berhembus’. Semakin tua usia sebuah institusi, semakin kompleks masalah yang dihadapi. Di usianya yang akan genap 40 tahun, TMII menghadapi masalah pengelolaan yang terkesan kurang professional. Parkir kendaraan yang kurang tertata rapi dan kebersihan lingkungan TMII yang kurang terjaga membuat pengunjung tidak nyaman. Masih saja, ada pengunjung yang mengeluhkan koleksi yang semakin lama tidak lengkap dan akhirnya hilang. Tetapi tidak diisi dengan koleksi terbaru. Jelas, hal ini sangat mengecewakan pengunjung, terutama mereka yang berasal dari luar negeri. Niatnya ingin melihat keunikan Indonesia dalam satu tempat. Karena kecewa, mereka pun jadi malas mempromosikan TMII kepada wisatawan lainnya.
TMII harus berbenah. Apalagi, dengan bermunculan taman wisata baru membuat persaingan memperebutkan wisatawan semakin sengit. Unsur inovasi harus dikedepankan jika ingin memenangkan persaingan. Tetapi jangan lupa, persoalan mendasar harus diselesaikan terlebih dahulu untuk menjamin kepuasan pengunjung. Infrastruktur parkir, jalan, pengelolaan sampah dan fasilitas penunjang lainnya, serta wahana harus dibangun secara memadai. Bila semuanya sudah terpenuhi, maka upaya pengembangan menjadi taman wisata modern akan lebih mudah dan terarah. Modernisasi TMII merupakan suatu keharusan untuk berpacu dengan kemajuan jaman. Pemikiran ini semakin menemukan relevansinya kembali sekarang di saat generasi muda kita dihadapkan pada gempuran budaya asing yang sangat dahsyat. Miris rasanya melihat banyak anak muda kita lebih akrab dengan K-Pop atau lebih mengenal artis-artis Korea ketimbang tokoh-tokoh pewayangan.
TMII harus menjadi benteng penjaga kebudayaan, sekaligus sebagai ‘rumah’ bagi generasi muda Indonesia untuk memahami dan belajar budaya bangsanya. Menempatkan diri sebagai rumah, tentunya menuntut TMII untuk lebih dekat dengan anak muda lewat berbagai program kebudayaannya. Menurut hemat penulis, upaya TMII dapat ditempuh melalui promosi yang kreatif, pengemasan wahana wisata, mengadakan event pariwisata khas anak muda, serta membuat program Sahabat TMII.
Optimalisasi Promosi TMII melalui Media Sosial
Akrabnya generasi muda sekarang terhadap media sosial membuka kesempatan untuk lebih dekat dengan meraka. Hal ini dapat dimanfaatkan juga oleh TMII dalam membuat program promosi yang atraktif. Memang, TMII melalui Facebook telah meluncurkan lomba selfie bagi para pengunjung TMII. Upaya ini patut diapresiasi. Yang harus diperhatikan di sini dalah kontinuitas kegiatan sejenis untuk menjaga interaksi dengan generasi muda. Lomba lain yang menggunakan media sosial dapat digagas, misalnya lomba menulis pengalaman berkunjung ke TMII dengan keluarga dan teman-teman atau lomba foto memakai pakaian daerah saat perayaan Hari Kartini atau peringatan hari kemerdekaan RI. Mereka diminta share ke teman-temannya di media sosial untuk melakukan voting. Media sosial dipakai juga dalam mempromosikan wahana wisata TMII dengan lebih lengkap disertai foto-foto yang menggambarkan keindahan visual, dan menawarkan paket wisata yang dapat dipilih calon pengunjung TMII.
Kerja sama dengan sekolah untuk mendatangkan wisatawan
Promosi TMII adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk menarik pengunjung. Karena mengusung panji edukasi, TMII secara aktif dapat mengundang sekolah-sekolah untuk menjadi taman wisata tersebut sebagai tempat praktik mata pelajaran Geografi, Kesenian, Kewarganegaraan, dan Sejarah. Agar tak membosankan, kegiatan belajar dibungkus secara fun. Kita bisa mengadopsi acara televisi Amazing Race. Seperti acara ini, para siswa ditantang untuk menjelajahi kawasan TMII dengan tugas-tugas yang harus dipenuhi. Mereka dites pengetahuannya tentang budaya, tradisi dan wilayah Indonesia. Menarik lagi, ada tugas menyanyikan lagu daerah atau mengenakan busana daerah beserta asesorinya dengan tepat sebagai salah satu poin penilaian. Yang bisa menunaikan seluruh tugas paling cepat serta hasilnya benar dan memuaskan menjadi pemenangnya. Acara ini bisa diagendakan bulanan.
Lengkapi anjungan rumah adat dengan pemandu wisata yang handal, teknologi terkini, dan wahana Dolanan Bocah.
Jadikan anjungan rumah adat ‘lebih hidup’. Selama ini, kesan kosong mlompong didapatkan oleh banyak pengunjung begitu memasuki anjungan rumah adat. Sehingga, hal ini membuat mereka tak bisa maksimal belajar. Maka, sediakanlah pemandu wisata yang dibekali informasi mengenai seluk beluk rumah adat dan budaya yang melatarinya. Akan lebih menarik, bila mereka berdandan sesuai dengan pakaian adat. Fasilitas interaktif, seperti komputer dan video pendek yang menyajikan pengetahuan daerah asal rumah adat ditampilkan untuk memberi informasi yang lebih menarik bagi pengunjung.
Belajar yang efektif melibatkan semua modalitas; penglihatan, penciuman, pendengaran, dan kinestetik.Prinsip ini bisa diterapkan dalam penyajian wahana wisata di TMII agar lebih menarik. Untuk itu, TMII dapat membuat wahana Dolanan Bocah yang dapat dilekatkan di dalam kawasan anjungan rumah adat, di mana pengunjung terutama anak-anak dapat riang bermain aneka permainan tradisional dari berbagai daerah. Untuk orang dewasa, bermain permainan tradisional menjadi sarana nostalgia masa lalu. Aspek-aspek kemanfaatan permainan tardisional untuk tumbuh kembang anak-anak dalam hal psikologis dan membangun sikap positif perlu diinformasikan kepada pengunjung. Ini merupakan daya tarik lain yang perlu ditonjolkan dalam wahana Dolanan Bocah tersebut.
Festival Kuliner Nusantara, ajang memperkenalkan makanan daerah
Festival kuliner nusantara bisa diagendakan secara rutin sebagai salah satu acara kebudayaan TMII. Perwakilan dari masing-masing provinsi di Indonesia dapat diundang untuk memeriahkan acara tersebut, sambil memperkenalkan kuliner khas yang hanya ditemui di tempat mereka. Demo masak bisa disisipkan untuk mengajari pengunjung, terutama ibu-ibu agar dapat memasak makanan tradisional di rumah. Tak boleh ketinggalan, lomba memasak masakan tradisional dengan mengundang pemuda-pemudi Karang Taruna diselenggarakan sebagai upaya mensosialisasikan eksistensi masakan tradisional. Selain itu, festival kuliner nusantara juga menjadi bazaar makanan. Bila TMII tidak ingin terlalu repot, dapat mengundang perusahaan makanan atau kecap untuk mensponsori acara tersebut seperti yang sudah sering diselenggarakan di tempat lain. Upaya ini juga merupakan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) mereka dalam menjaga kebudayaan nusantara.
Menyelenggarakan TMII Writers & Readers Festival
Unsur kebudayaan tak terbatas pada tangible things, seperti rumah adat, busana, dan tarian. Tetapi juga mencakup intangible things, seperti karya sastra. Bertolak dari pemahaman ini, rasanya TMII juga bisa menggagas acara kebudayaan berbasis pada sastra. TMII Writers & Readers Festival dapat diselenggarakan secara rutin. Penulis buku dan penggiat sastra dari seluruh penjuru negeri diundang. Mereka diberi kesempatan untuk berbicara membahas karya sastra yang diciptakannya dan berdiskusi mengenai perkembangan dan masa depan sastra Indonesia. Saya membayangkan alangkah asyiknya menyimak Andrea Hirata membahas novelnya ‘Laskar Pelangi’ atau Dewi Lestari memaparkan ‘Supernova’ dengan sangat menggugah penikmat karya sastra. Pada sesi lain, dapat pula dihadirkan penulis remaja untuk mempromosikan karya novel atau cerpen yang ditulisnya. Apabila TMII Writers & Readers Festival ingin  dibuat dalam skala internasional, malah lebih hebat  lagi karena ajang ini menjadi sarana pertukaran pemikiran dan budaya antar bangsa
TMII harus mewadahi kreatifitas generasi muda
Dewasa ini, kaum muda mengembangkan sistem budayanya sendiri yang dinamakan pop culture. Meskipun banyak orang yang memandang budaya baru ini merupakan rival dari budaya luhur kita. Namun, bermacam produk budaya yang dihasilkan menjadi jantung dari ekonomi kreatif modern. Misalnya, desain pakaian dan sepatu atau asesoris khas anak muda, graffiti, dan mural yang sangat atraktif. TMII dapat memberikan wadah bagi mereka melalui perlombaan atau acara pekan budaya anak muda. Yang membedakan dari kebanyakan acara sejenis yang diadakan pihak lain  adalah disisipkannya unsur-unsur budaya asli Indonesia dalam karya-karya mereka. Pasti sangat menarik melihat gambar tokoh-tokoh wayang didesain dengan sentuhan modern pada kaos, atau mungkin mengamati mural warna-warni yang menggambarkan keberagaman bangsa ini. Upaya ini merupakan strategi untuk lebih mendekatkan budaya warisan leluhur kepada anak muda.
Membuat Program Sahabat TMII
Menumbuhkan rasa kepemilikan anak muda terhadap TMII tak cukup dengan menempatkan anak muda Indonesia sebagai penikmat sajian budaya saja. Akan tetapi, mereka harus diajak menjadi pelaku penjaga budaya. Berpijak dari pemikiran ini, TMII bisa membuat sebuah program bernama Sahabat TMII. Berbekal status ini, anak muda mendapatkan privilege menikmati berbagai wahana di TMII, misalnya beli dua tiket masuk gratis satu atau harga khusus untuk pembelian paket wisata tertentu. Cara ini bertujuan untuk menarik lebih banyak anak muda supaya bersedia menyambangi TMII. Kaum muda, terutama pelajar dan mahasiswa  dapat dilibatkan dalam acara-acara kebudayaan sebagai panitianya. Mereka juga diajak bertugas secara voluntir dalam kegiatan konservasi kawasan TMII, misalnya menanam pohon untuk memperindang kawasan TMII dan bersih-bersih masal untuk menjaga kenyamanan. Kegiatan positif ini didorong untuk dipromosikan lewat media sosial, seperti  Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya,  demi menggugah kepedulian pemuda lainnya sekaligus mempromosikan TMII.
Memang tak semudah membalikkan tangan untuk menjalankan program-program di atas. Tetapi bukan berarti tidak bisa kan? Untuk mewujudkannya diperlukan kerja sama antara semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Jaringan komunikasi dan pemasaran harus dibangun dengan landasan komitmen yang kuat dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor pendidikan, dan sektor swasta. Kuncinya terletak pada profesionalitas pengelola agar setiap program dapat berjalan dengan baik. Ini bukan saja tugas memperbesar pundi-pundi penerimaan TMII, tetapi merupakan sebuah tugas mulia untuk mencerdaskan generasi muda bangsa.