Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Pilihan

My Dream Vacation; Japanese Winter Fun with my Brother.

5 Maret 2015   04:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:09 784 0

Sejak lama Jepang telah mengisi ruang imajinasi saya dengan ketangguhan budayanya dalam bertahan menghadapi benturan jaman, kemajuan teknologinya yang bernafaskan inovasi, serta kedisiplinan orang-orangnya yang tak tertandingi. Merupakan sebuah impian bagi saya untuk bisa berkunjung kembali ke negeri yang berjuluk Negeri Matahari Terbit tersebut. Pernah tinggal selama setahun di Fukuoka, kota terbesar di Pulau Kyushu memberikan kesan sangat mendalam bagi diri saya. Bukan hanya menjadi pengalaman pertama saya pergi ke luar negeri saat itu, tetapi juga memberi pelajaran hidup berharga untuk bisa selalu ‘survive’ saat tinggal jauh dari keluarga. Kembali ke Jepang berarti bernostalgia dengan kenangan mendidik itu.

Musim dingin merupakan saat yang tepat untuk ‘menyesap’ segala keindahan yang ditawarkan oleh Jepang. Jepang pastilah tampil nan menawan dalam balutan salju putih yang akan menjadi atraksi tersendiri bagi orang tropis seperti kami berdua. Liburan musim dingin yang sangat berkesan di Jepang bisa didapatkan di wilayah Tokyo, Nagano, Gifu, Gala Yuzawa, dan Hokkaido. Meskipun jarak yang ditempuh jauh, namun perjalanan dari satu kota ke kota lainnya di Jepang pun terasa mudah karena semua telah terhubung dengan jaringan kereta api yang sangat memadai. Terima kasih pada Shinkansen, kereta super cepat yang sangat bisa diandalkan oleh para wisatawan untuk menjangkau berbagai wilayah di Jepang.

Mengakrabi Lanskap kota Tokyo

Sebagai ibukota Jepang, Tokyo wajib dikunjungi oleh siapapun yang berwisata ke Jepang. Bila menjadikan kota ini sebagai tempat persinggahan pertama dalam kunjungan ke Jepang, kota ini dapat dijangkau dari dua bandara internasional, yaitu Narita International Airport yang terletak di Provinsi Chiba dan Haneda International Airport yang mendiami pinggiran kota Tokyo. Cara termudah untuk memasuki megapolitan itu adalah dengan menggunakan moda transportasi kereta api. Ada tiga tiket kereta api ke Tokyo yang bisa dipilih di Narita International Airport, yaitu Keisei Skyliner dan Keisei Limited Express, dan Nex Tokyo Direct Ticket dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam. Dari ketiga itu, yang paling disarankan adalah Nex Tokyo Direct Ticket yang akan membawa kita langsung ke Stasiun Tokyo dengan hanya 1.500 yen. Dibandingkan dengan dua tiket sebelumnya, tiket ini bisa menghemat kantong sebesar 50%.

Perjalanan ke pusat Kota Tokyo dari Haneda Aiport lebih mudah karena jaraknya yang lebih dekat. Berangkat dari Stasiun JR Hamamatsucho, Tokyo Monorail menjadi pilihan yang menyenangkan untuk menjangkau pusat keramaian kota Tokyo, seperti Shinjuku, Shibuya, dan Ueno. Dengan jarak tempuh sekitar 40 menit, mata kita akan disuguhi dengan pemandangan gedung-gedung menjulang tinggi selama perjalanan. Tokyo layaknya disebut belantara hutan beton yang tak bertepi. Setiap jengkal tanahnya tak luput dari bangunan, entah berupa gedung besar ataupun kecil. Tetapi yang mengangumkan dari itu semua, bangunan-bangunan di sana tampak tertata rapi dan beraturan. Tata kota dirancang menurut sistem yang benar-benar ditaati.

Mengakrabi lanskap kota Tokyo bisa dilakukan dengan mengikuti Sumida River Cruise dengan Suijo Basu (bus air). Rute populer bus air yang melalui sungai Sumida adalah Asakusa-Odaiba Direct Line. Dengan tarif sekitar 1.500 yen, kami ingin mengarungi sungai, sekaligus menyaksikan keunikan bentuk gedung-gedung tinggi yang bertengger di kanan-kiri sungai selama kurang lebih 40 menit. Tak perlu kuatir menggingil kedingian diterpa angin musim dingin yang menusuk tulang karena kami akan tetap hangat di dalam kapal yang tertutup rapat. Asyiknya, atap kapal ini terbuat dari kaca panoramik yang tembus pandang, sehingga kami tidak kesulitan menikmati  pemandangan di luar kapal. Himiko, nama kapal yang akan kami tumpangi itu dirancang khusus seperti kura-kura yang mengapung di atas air.

Menyambangi Sensoji, kuil tertua di Tokyo.

Salah satu warisan jaman Edo, nama kuno Tokyo yang masih tegap berdiri adalah Kuil Sensoji atau lebih di kenal dengan nama Asakusa karena letaknya di Distrik Asakusa. Keinginan saya untuk mengunjungi kuil ini terdorong atas menariknya legenda yang melatari didirikannya kuil ini. Konon, di tahun 628 masehi, ada dua orang bersaudara menemukan patung Kannon, Dewi Pengasih di sungai Sumida. Setiap kali dikembalikan ke sungai, patung itu selalu kembali kepada mereka. Akhirnya, Kuil Sensoji dibangun di dekat patung dewi itu sebagai wujud penghormatan.

Arsitektur Sensoji tidak kalah menarik dengan legenda yang melingkupinya. Pengunjung akan langsung dibuat takjub dengan lampion raksasa yang menggantung di ‘Gerbang Halilintar’ (Kaminarimon) dan pagoda dengan atap yang bertumpuk-tumpuk berwarna merah merekah. Berfoto di bawah lampion itu bisa dijadikan bukti kalau kami pernah berkunjung ke Tokyo. Pernak-pernik khas Jepang dapat dibeli Nakamise, sebuah jalan sepanjang 200 meter di luar gerbang tersebut yang dijejali dengan toko souvenir yang tersusun berderet rapi. Yang dijual di sana mulai dari gantungan kunci,  kipas, pajangan khas Jepang, Yukata, kaos, hingga penganan tradisional yang menggoyang lidah. Apapun yang berbau Jepang dapat ditemukan di sana dengan mudah. Pas sekali untuk oleh-oleh kerabat dan sahabat di Indonesia.

Romantisme malam besutanOdaiba

Bila ditanya dimanakah dapat menikmati pemandangan malam kota Tokyo terbaik? Saya akan menjawab di Odaiba. Ini pun diamini oleh beberapa situs pariwisata Jepang yang merekomendasikan tempat ini sebagai tempat untuk menghabiskan salah satu malam di Tokyo. Niji bashi atau Jembatan Pelangi menjadi ikon dari Odaiba. Cahaya lampu yang menerangi jembatan tersebut dan pancaran lampu kapal-kapal yang berlalu-lalang di Teluk Tokyo yang memantul di atas air, melukiskan nuansa romantis. Tak heran bila tempat ini pernah menjadi tempat syuting drama Jepang berjudul Love Generation yang dibintangi Kimura Takuya dan Matsu Takako pada tahun 1997. Alhasil, banyak muda-mudi Tokyo yang memilih Odaiba sebagai tempat kencan. Karenanya, popularitas Odaiba sebagai tujuan wisata malam semakin melesat. Tetapi bila memang kita terpaksa berjalan tanpa membawa pasangan di sana, tak jadi masalah. Pemandangan gedung-gedung tinggi dan jembatan yang bermandikan cahaya sudah menjadi hiburan tersendiri. Pengalaman pernah bersantap makan malam di Odaiba beberapa tahun lalu  bersama seorang sahabat dari Amerika membuat saya ingin kembali lagi ke sana.

Menghidupkan kembali kenangan masa kecil akan ‘Anime’

Dengan berkunjung ke Tokyo, saya ingin menghidupkan kenangan masa kecil saya akan ‘anime’. Untuk itu, saya berencana untuk menyambangi Suganami Animation Museum yang terletak di Suganami-ku, Tokyo. Untuk mencapai ke sana, kami cukup naik JR Chuo Line selama 10 menit dari Stasiun Shinjuku.Dinamai juga  sebagai Anime Town, museum ini menyuguhkan sejarah animasi Jepang, tempat produksi anime, dan teknologi produksi digital terbaru. Kalau beruntung, kami bisa bertemu langsung dengan profesional pembuat anime yang diundang oleh museum itu untuk berbagi pengetahuan tentang animasi. Saya pun berharap dapat mengikuti workshop pembuatan animasi yang diisi oleh mereka. Hal ini sangat menyenangkan karena dapat menciptakan tokoh anime kami sendiri berdasarkan imajinasi yang kami miliki.

Rasanya masih belum puas menjelajah dunia anime, maka tujuan berikutnya adalah Toei Animation Museum yang terletak di Nerima-ku, Tokyo. Toei adalah perusahaan yang memproduksi animasi lebih dari 50 tahun. Masih ingat dengan Dragon Ball dan Sailor Moon? Dua film animasi produksi yang sempat sangat popular di Indonesia diproduksi oleh Toei. Sebuah studio yang bernama Oizumi dibangun di dalam musem untuk memamerkan sejarah Toei. Koleksi menarik lainnya yang dipamerkan termasuk skenario animasi, storyboard, sketsa gambar animasi, gambar seluloid, dan poster iklan untuk keperluan promosi film animasi yang diproduksi. Kabar gembiranya, kami bisa masuk ke kedua museum tersebut tanpa dipungut bayaran alias gratis. Asyik bukan?

Menaklukkan ketinggian Tokyo Skytree

Tokyo Skytree merupakan tempat wisata teranyar di Tokyo. Sebenarnya Tokyo Skytree merupakan menara pemancar telivisi dan radio dengan ketinggian 634 meter. Pada November 17, 2011 Tokyo Skytree dinobatkan sebagai menara tertinggi di dunia oleh Guinness World Records. Daya Tarik ini secara cerdik dimanfaatkan pemerintah Jepang untuk menggaet wisatawan. Termasuk saya yang ikut ‘terprovokasi’ untuk menyambangi menara ini hingga titik tertinggi. Saya ingin menjajal nyali saya untuk memandang hamparan kota Tokyo dari ketinggian 450 meter dari dek observasi kaca berbentuk spiral. Pastinya, gunung Fuji yang berselimutkan salju tebal di musim dingin dapat terlihat jelas dari sini.

Rasanya saya tidak akan merasa bosan berlama-lama di Tokyo Skytree karena ada atraksi wisata di setiap lantainya. Di lantai dasar terdapat shopping mall untuk berbelanja pengunjung dan akuarium yang mengoleksi berbagai ragam biota laut. Sumida Aquarium adalah nama akuarium yang mempunyai 9 zona ini, menyimpan koleksi ikan, ubur-ubur, karang, lingkungan kehidupan air laut, pinguin dan anjing laut. Kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan kehidupan laut juga merupakan atraksi wisata yang menarik. Tiket masuk ke Sumida Aquarium cukup mahal; orang dewasa wajib membayar 2.050 yen, remaja harus membayar 1.000-1.500 yen, dan anak-anak kecil harus membayar 600 yen. Tetapi saya yakin harga itu sangat sebanding dengan pengalaman yang akan didapatkandi sana.

Menyantap Sushi di Tsukiji Fish Market

Tokyo bisa menjadi salah satu kota terpenting dunia karena keberhasilannya dalam membangun setiap fasilitassecara masif. Salah satunya adalah Tsukiji Fish Market, pasar ikan terbesar di dunia yang menjual bahan makanan laut yang berasal dari seluruh penjuru dunia. Pendirian pasar ikan ini bertujuan untuk memenuhi ‘hasrat makan’ orang Jepang yang sangat menggemari makanan laut. Bagi orang asing, seluruh dinamika yang terjadi di pasar Tsukiji sangat menarik untuk dilihat. Atraksi yang tidak ingin dilewatkan adalah lelang ikan Tuna. Untuk menyaksikan aktivitas ini, kami harus datang sepagi mungkin. Setidaknya harus tiba di lokasi paling lambat jam 4 pagi. Karena kesempatan ini hanya terbatas bagi 120 orang, dipastikan akan menjadi rebutan dengan wisatawan lain. Sebelumnya, wisatawan diharuskan mendaftar terlebih dahulu di Pusat Informasi di Kachidoki Gate untuk bisa menyaksikan lelang ikan Tuna. Memang dibutuhkan sebuah perjuangan ekstra untuk bangun super pagi agar bisa menyaksikannya. Apalagi ditengah cuaca dingin yang menusuk tulang. Kalau malas, berarti melewatkan kesempatan bukan?

Menjajal Ketangguhan Diri di Jalur Nakasendo

Persamaan saya dan adik saya adalah sama-sama menyukai sejarah. Berkunjung ke suatu negara tanpa mengetahui sejarahnya adalah hal yang sia-sia. Akan sangat berkesan bila kunjungan ke Jepang diisi dengan napak tilas kehidupan masa lalu bangsa Jepang. Maka dari itu, kami berkeinginan untuk menyelusuri Jalur Nakasendo. Diartikan sebagai ‘jalan tengah di gunung’, Nakasendo merupakan satu dari lima jalur pada masa keshogunan Tokugawa  antara tahun 1600-1868. Dulunya, jalur ini merupakan rute yang harus ditempuh oleh para daimyo (tuan tanah) yang diwajibkan bergiliran melapor ke Edo, nama Tokyo sebelumnya, dalam sebuah sistem yang disebut sankin-kotai.

Jalur Nakasendo membentang dari Kyoto ke Tokyo. Terdapat beberapa rute yang dapat dipilih oleh wisatawan sesuai dengan kemampuannya. Kami ingin trekking antara Magome dan Tsumago sejauh hampir 8 km. Dahulu kala, dua kota kecil ini pernah menjadi tempat persinggahan para tuan tanah dalam perjalanannya ke atau kembali dari Tokyo.  Kedua kota ini masih mempertahankan pesona masa lalunya dengan deretan rumah kayu khas Jepang.

Terletak di Provinsi Nagano, konon rute tersebut menawarkan pesona pegunungan Alpen Jepang yang memukau. Dengan menelusurinya, kami ingin merasakan kehidupan pedesaan khas Jepang yang mulai menghilang. Menghabiskan malampun dilakukan di ryokan, penginapan tradisional khas Jepang yang menonjolkan keramahtamahan pemiliknya. Yukata (kimono kasual) akan kami kenakan tepat sebelum santap makan malam yang biasanya disajikan dari hasil kebun pemilik penginapan tersebut. Kami ingin mencicipi Yosenabe, sup khas Jepang berisi daging, tahu, udang, telur dan sayuran yang pas untuk disantap panas-panas bersama saat udara dingin.

Melihat berbagai bentuk unik pahatan es di Sapporo Snow Festival

Terletak di pulau paling utara, Sapporo merupakan salah satu kota di Jepang yang paling akrab dengan titik beku. Kondisi ini menjadikan kota itu unik. Demi menegaskan keunikannya tersebut, Sapporo secara rutin menggelar festival salju selama seminggu penuh di bulan Februari yang dipusatkan di Odori, Susukino, dan Tsu Dome. Berbagai pahatan es unik mengisi sudut-sudut ketiga tempat tersebut. Khusus di Tsu Dome, kita bisa ‘menjadi’ anak-anak kembali dengan meluncur dari perosotan es, serta bermain-main dengan salju.

Atraksi memahat es dilombakan setiap tahunnya dengan mengundang puluhan pemahat es dari negara lain. Karya yang ditampilkan bermacam-macam yang mencirikan asal negara para peserta. Bagi mereka, keikutsertaan itu menjadi ajang pertukaran budaya yang diwujudkan dalam setiap pahatan es. Bagi pengunjung seperti saya, karya pahatan es merupakan benda seni bernilai tinggi yang sangat menarik untuk dinikmati.

Homestay di Shirakawa-Go

Shirakawa-Go telah lama dikenal sebagai salah satu tempat terindah di Jepang. Terletak di Provinsi Gifu, desa ini dikurung oleh pegunungan yang ditumbuhi pepohonan pinus, dan  sungai Shokawa yang molek. Arsitektur rumah-rumah pertanian tampak unik terlihat dari atapnya yang berbentuk segitiga. Rumah pertanian khas Jepang ini disebut Minshuku yang dibangun antara 200-300 tahun yang lalu. Pasti Indah. Apalagi saat musim dingin tiba di mana salju menyelimuti atap-atap rumah tersebut. Persis seperti sebuah negeri yang diceritakan dalam dongeng-dongeng.

Dengan homestay di desa sini, saya ingin memperdalam sejarah dan budaya Jepang. Yang tak kalah seru adalah gaya hidup khas desa pertanian Jepang yang bisa dipelajari secara langsung di sana. Uniknya, kita hanya diperkenankan untuk tinggal semalam saja dalam sebuah Minshuku. Bila ingin tinggal selama 2 malam atau lebih, maka pengunjung harus tinggal setiap malam di rumah yang berbeda. Terdapat 10 Minshuku yang dapat disewa oleh pengunjung. Biaya sewa antara 7.000-10.000 yen per malam. Kalau mau stay 2 hari atau lebih, tinggal kalikan saja biayanya dengan jumlah hari dan jumlah Minshuku (10 rumah) yang ada di sana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun