Saat itu, seorang bernama nameis menjemputku di terminal Bus Reykjavik. Berperawakan riang, terkaannya macam orang pedalaman, tanpa sandal dan lompat menghantarkan pelukan padahal aku agak khawatir karena takut dikira sebagai pembawa virus. Maklum, sebelumnya Italia sebagai negara tempatku belajar, pernah menduduki posisi pertama dengan jumlah korban positif terbanyak. Ternyata, dia menghiraukan tosku dan membuka lebar lengan seraya menyambut kedatangan.
KEMBALI KE ARTIKEL