Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Surat untuk Anindita Sayang

20 April 2015   17:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 52 1
Anindita sayang,
biarkan aku memanggil balik dirimu diantara seruak duri yang membuatmu nyeri.


Bahwa aku melihatmu memanggilku, kehabisan kata. Aku menangisimu sekeras kamu menangisi hidup. Aku memanggul beban yang sama beratnya. Sungguh aku selalu memelukmu dan membisikimu kalau tidak apa-apa kalau kamu merasa kenapa-napa.


Aku memutar lagu lama, lagu yang sama saat kamu patah hati lima tahun lalu. Lagu yang membuatmu tercekat untuk mengingat seseorang di dalamnya. Lagu yang hanya empat menit lamanya namun terasa menyesakkan dada tiap detiknya.


Aku tahu bagaimana kamu hanyut dalam matanya. Aku tahu kamu yang selalu berlama-lama dan rela pulang larut hanya untuk mendengarnya bicara tentang hal yang ia sukai. Dan aku tahu kamu mencintai diam-diam diantara pengakuannya yang jatuh cinta kepada laki-laki lain.


Ya Aninditaku sayang, kamu perempuan lalu jatuh cinta dengan perempuan. Lantas sengsara dalam tangis karena terpisah dengannya. Aku tahu kamu tak pernah benar-benar menginginkannya. Tak ingin menyentuh fisiknya, aku benar-benar tahu yang kamu inginkan hanya sekedar berada di sekelilingnya dan sudah, lebih dari cukup.


Lantas laki-laki datang seolah pahlawan. Ya ia memang pahlawan. Aku tahu ia benar-benar pernah mencintaimu buta. Ia tahu kamu habis patah hati dengan seorang perempuan, dan ia tak pernah masalah dengan hal itu. Aku tahu kamu banyak bicara tentang perempuan itu padanya. Ia sungguh seorang penyembuh bukan. Sebuah cinta bisa padam sayang, itu yang telah kamu pelajari.


Kamu tak pernah minta ia datang kepadamu, kamu bahkan tidak mengenalnya dengan baik sebelumnya. Takdir bicara, sedang kamu tak tahu harus bagaimana dengan laki-laki itu. Ya kamu takut karma sayang, ketakutannya membuatmu enggan meninggalkannya. Maksudku ya, ia baik dan tak ada masalah dengannya. Masalahnya, kamu tak menaruh hati padanya. Hanya pada awalnya.


Kamu tahu ia punya sejuta kesamaan dengan dirimu. Ya sejuta kesamaan dan itu tak cukup untuk tetap merekatkan. Aku tak tahu, waktu memang hal terkuat. Kamu bahkan tak ingat sejak kapan kamu menyukainya, pelan-pelan kemudian jatuh dalam. Hingga begitu takut untuk kehilangannya.


Aninditaku, akupun juga tak pernah mau hinggap dan berbagi hidup denganmu. Aku tak ingin merecoki segala apa yang ada di dalam kepalamu, bahkan hatimu. Maaf karena aku selalu sok mengatur apa yang terbaik untukmu. Aku membenci sekaligus mencintaimu. Aku lahir dari lukamu. Kamu yang menciptakan aku dari hal itu. Aku adalah kamu namun hanya sebagian. Entah seperberapa bagiannya, tapi mengapa kamu harus selalu kontradiktif denganku.


Hidupmu mau tak mau hidupku juga. Maksudku aku tak suka bagaimana laki-laki itu menyakiti kamu, kita juga. Aku selalu marah karena hal itu. Aku tahu kamu memahamiku, tapi tak ada yang lain yang bisa mengerti tentang kita.


Apakah aku laki-laki atau perempuan yang tinggal dalam dirimu, aku juga tak tahu. Mungkin juga aku bahkan tak peduli. Tapi aku selalu menyayangimu bagaimanapun juga. Kamu terlihat begitu sempurna, kita bersama bermain drama tentang siapa yang pergi memancing dan pura-pura pulang ke rumah dan saling mengobrol, kamu tahu itu masih menjadi hal yang menyenangkan. Saat laki-laki itu tak ada, karena memang jarang ada, kita selalu bersama. Aku hampir-hampir bisa meyakinkanmu bahwa kamu tak perlu siapapun untuk menemanimu. Siapa yang butuh pacar kalau ia tak pernah ada. Maksudku ayolah kamu bisa hidup dengan tenggelam pada buku, sama seperti sebelum ia pernah datang. Tentang keinginanmu membeli buku-buku mahal dan punya berbagai lemari dengan koleksi buku terbaikmu. Bukankah kita bisa melakukannya. Dibanding kamu mati-matian meyakinkan dan mengorbankan diri dengannya yang entah apakah kamu bisa hidup dengan umpatan sepanjang waktu. Sayang, ia tak pernah mengerti apa yang terjadi denganmu. Itu bukan salahmu dan bukan juga salahnya. Sungguh pemilik salah itu sudah kamu kubur hidup-hidup, lantas kenapa kamu memilih menggalinya kembali.


Aninditaku, aku memutar lagu yang sama kembali. Kita sama-sama tahu itulah lagu patah hati. Aku minta maaf karena kamu tidak bisa dengannya dan terjebak selamanya denganku. Ia punya masa depan dan aku rasa itu bukan denganmu karena ia tak akan kuat hidup bertiga dengan kita. Bagaimana dalamnya cinta itu dengannya rasa-rasanya mustahil memilikinya tanpa terus menyakitinya.


Awalnya kamu takut kehilangannya, tapi cara terbaik untuk mengalahkan rasa takut itu adalah menghadapinya bukan? Kamu selalu berusaha meninggalkannya. Entah percobaan keberapa setelah hampir tahun kelima kalian.
Kamu membencinya sekaligus mencintainya. Kamu ingin ia pergi, sekaligus ingin ia memelukmu. Kita hidup bagai kutub magnet yang sama namun saling bertolak belakang. Kita panas namun juga dingin. Aku sayang kamu dan juga membencimu.


Di sinilah kita terjebak selamanya. Dan hanya kita yang tahu apa rasa darah kita. Dan semua luka dari cakar tangan kita ke kulit kita. Bagaimana kita menyukai sakit sebagai penyembuhan untuk hal yang tak pernah kita inginkan. Aku memukul rahangmu yang juga rahangku begitu keras. Kita tahu rahang itu kini geser bukan, aku minta maaf. Aku juga menampar wajah kita, karena hampir-hampir setiap bercermin aku tak tahu mengapa wajah itu tak pernah sama.


Aku sama histerisnya denganmu. Aku membenci hidup ini sekuat kamu membencinya. Tentang teman yang tak pernah kamu punya, dan juga tentang kepergian teman terbaik itu. Aku tahu laki-laki itu teman terbaikmu dan kamu tak bisa tanpanya. Tapi dia juga punya hidup sendiri yang harus dihidupi dan kamu bukan lagi menjadi bagian hidupnya. Kamu mendoakannya. Kamu begitu keras mencintainya, ya aku tahu. Dan kamu tak tahu harus apa sekarang.


Dear Anindita yang sedang patah hati, satu-satunya cara untuk melepas kesedihan patah hati adalah dengan jatuh cinta lagi. Kamu tahu ungkapan itu rasanya tak pernah cocok untuk kita. Rasanya seperti menumpuk batu dengan batu dan bukan kebahagiaan yang didapat malah bencana kuadrat.


Sayang, setidaknya pulanglah kembali denganku. Aku tahu aku tak bisa membasuhmu, malah terus menyakitimu. Tapi bukankah aku satu-satunya tempatmu pulang? Rumah yang selalu menyalakan lampunya untukmu. Rumah yang tak ada apa-apa hanya sebuah kursi dan jendela yang menghadap ke danau buatan kita. Kamu tahu aku selalu di sana.

Dari : Aku yang tak pernah kamu namai.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun