Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Pilihan

Kisah Bermartabat dari Kampung Pemulung

6 Maret 2015   21:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04 200 3


kami merasa hidup lebih baik dengan kebijakan pemerintah yang melokalisasi kami. Lalu menyediakan air bersih, perumahan, fasilitas kesehatan gratis, dan kenyamanan hidup”
--Yohan Pantau (Warga)--


Sekilas tidak ada yang berbeda antara kebanyakan perkampungan, dengan kompleks pemulung yang terletak di area TPA Aer Tembaga di Kecamatan Aer Tembaga Kelurahan Aer Tembaga Dua Kota Bitung.

Rumah-rumah berjejer teratur, halamannya pun asri. Ada pot-pot bunga bahkan pagar-pagar bambu dicat beragam warna. Para penghuninya ramah-ramah, mengajak kami berbincang dan berjabat tangan. Sedikit pun tidak memberi kesan, bahwa mereka itu adalah pemulung yang setiap harinya bekerja mengais rejeki dari tumpukan sampah.

Yohan Pantau (67) sang kepala suku, begitu warga menyematkan status padanya, ia mengaku sangat betah tinggal di perkampungan itu. Meski baru sekitar empat tahun bermukim di sana, ia dan keluarganya merasa hidup jauh lebih baik dari sebelumnya. Yohan bisa memulung tanpa takut diusir pihak tertentu.

Yohan juga bisa menikmati fasilitas cukup di perkampungan itu seperti pemukiman sederhana dan teratur, toilet umum yang cukup representatif, termasuk lapak-lapak gudang sampah yang dibangun berpetak-petak persis di seberang jalan berhadapan dengan rumah-rumah warga.

Jadi, para pemulung dapat beraktivitas secara teratur dan tinggal tidak jauh dari pusat TPA. Para pemulung juga dapat beraktivitas meski panas terik ataupun hujan, karena mereka bisa bernaung di lapak-lapak itu.

Di perkampungan itu juga ada fasilitas penerangan yang membuat rumah-rumah mereka terang benderang di malam hari. Sesama pemulung, mereka saling bersosialisasi bahkan Yohan mengaku, warga di kampung pemulung tersebut sangat solid dan kompak. “Senasib sepenanggunganlah pak” kata Yohan.

Ide perkampungan pemulung ini dirintis oleh Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Bitung. Kepala Dinas Kebersihan, Jossy Kawengian, mengatakan, ide lokalisasi para pemulung tersebut bermula dari keprihatinan pihaknya melihat mereka tinggal di area penumpukan sampah.

“Awalnya mereka membangun gubuk-gubuk di sekitar pengolahan sampah, lalu kami berpikir bahwa mereka harus dibuatkan tempat layak untuk mereka bisa hidup bermartabat. Karena mereka adalah mitra penting kami dalam penanganan sampah,” kata Jossy.

Setidaknya, terdapat 23 KK bermukim di sana jumlahnya 65 jiwa. Dinas Kebersihan kota telah menyediakan fasilitas yang layak bagi warga pemulung. Ada fasilitas air bersih yang membuat warga tidak kesulitan untuk kebersihan.

Padahal, sebelumnya, para pemulung harus membeli air dari kampung sebelah. Selain itu, warga tidak lagi mengeluarkan uang untuk membeli gas epiji, karena Dinas Kebersihan Kota Bitung sudah menyiapkan sarana pengolahan gas methan yang diolah dari pusat pengolahan sampah. Gas-gasnya dialirkan ke rumah-rumah warga, sementara kompor gas yang dipakai warga juga difasilitasi gratis oleh Dinas Kebersihan.

Perkampungan pemulung yang terletak sekitar 1 kilometer dari pemukiman warga tersebut, bahkan memperoleh akses jaminan kesehatan gratis. Jossy Kawengian, mengatakan, pihaknya telah bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Bitung, sehingga setiap bulan ada pemeriksaan dan pengobatan gratis khusus untuk warga pemulung.

Jossy Kawengian bahkan sedang bernegosiasi dengan Habitat For Humanity, salah satu lembaga donor yang biasa mendonasi pembedahan rumah tinggal untuk masyarakat terpinggirkan.

“Tim dari lembaga donor tersebut sudah pernah melihat langsung kampung pemulung TPA Aer Tembaga, mereka bersedia membantu. Kami sedang menunggu tahap implementasinya. Kalau kerjasama itu bisa diwujudkan, maka warga pemulung akan mendapatkan program bedah rumah sehingga mereka semakin hidup layak,” terang Jossy.

Perkampungan pemulung Aer Tembaga adalah salah satu potret pembenahan pemulung secara manusiawi. Masyarakat pemulung bisa bekerja dengan maksimal, mereka sangat berkontribusi besar terhadap pengolahan sampah di Bitung. “Kami merasa bertanggungjawab atas penghidupan yang layak bagi mereka,” kata Jessy.

Kini, anak-anak yang hidup di perkampungan itu bisa menikmati standar hidup layak yang didambakan setiap orang. Mereka bahkan punya tim sepakbola dengan banyak prestasi, salah satunya adalah Semifinal Lanud Cup se Kota Bitung.

Yohan Pantau bahkan bermimpi, kelak akan membuat banyak event-event di perkampungan itu, seperti even lingkungan, seni-budaya hingga perlombaan olahraga. “Perkampungan ini bisa menjadi contoh bagi kota dan daerah-daerah lain di Indonesia bagaimana mengelola TPA tanpa mengebiri keberadaan pemulung,” katanya

(Tulisan ini adalah Reportase saya dari sebuah kampung Pemulung di Kota Bitung Sulawesi-Utara akhir tahun 2014 lalu)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun