"Hei, kau Hafidz bukan?"
"Eh, Hana? Hana Faizzatul Jamilah, teman SMA dulu?"
"Iya, kau masih ingat?"
"Tentu saja. Bagaimana kabarmu?"
"Aku... aku buruk," jawabku sendu kemudian menundukkan kepala teringat kejadian di rumah tadi sebelum keluar.
Suara kereta terus berderit. Menimbulkan bising yang begitu memekakkan telinga. Beberapa penumpang ada yang berdiri. Mereka berdesakkan. Ada yang berebut tempat pegangan. Mungkin khawatir tak bisa menjaga keseimbangan. Ada juga yang dengan santainya berdiri tanpa perlu pegangan meskipun sesekali tubuhnya gontai saat kereta melintasi kelokan. Beruntung hari ini aku mendapatkan tempat duduk. Sehingga aku tak perlu capek-capek harus berdiri dan berdesakkan dengan penumpang lain yang juga tak mendapatkan tempat duduk. Â
"Kenapa?"
"Aku tidak apa-apa. Kau sendiri apa kabar?"
"Alhamdulillah, aku baik."
Sudah berapa lama ya aku tidak bertemu dengannya. Lima tahun, enam tahun, tujuh tahun? Entah lah. Dia teman SMA-ku. Tak ku sangka aku bertemu dengannya hari ini. Di sebuah kereta pula. Suara bising kereta selalu membuatku terpaksa menutup telinga. Memasang handsfree mendengarkan nasyid atau mp3 tilawah dari handphone. Tapi hari ini aku tak memasangnya karena aku bertemu dengan teman lamaku.
"Atau kau ada masalah dengan suamimu?" tanya Hafidz terkekeh.
"Kau ini bicara apa? Aku belum menikah. Dan itulah kenapa kondisiku buruk. Selalu buruk," balasku menjelaskan.
"Kenapa begitu? Jodoh pasti datang. Jadi bersabarlah."
"Seorang gadis berusia 29 tahun masih belum juga bertemu dengan jodohnya? Ibuku selalu bicara begitu. Setiap hari," balasku dengan senyum pahit.
Sekali lagi kulihat dia terkekeh. Hufzz, apa ada yang lucu? Apa memang semua orang akan menertawakanku jika tahu aku yang berusia hampir kepala 3 masih belum menikah.
"Tidak boleh begitu."
"Oh ia kemarin temanku ada yang sedang mencari wanita untuk dijadikan istri. Barangkali kalian cocok tidak ada salahnya kan mencoba," lanjutnya.
"Kau ini," protesku.
"Ini simpan nomornya nanti kuberitahu padanya tentangmu."
Hafidz mencatat sebuah nomor telepon di secarik kertas lalu menyerahkan begitu saja padaku.
"Nomormu?"
Dengan bodoh aku memperlihatkan nomor di handphone ku. Lalu dia menyalinnya ke secarik kertas dan menyimpannya entah di mana. Dia memasukkannya ke dalam tas gendongnya. Lalu segera bergegas turun. Kereta memang berhenti beberapa detik yang lalu saat Hafidz sibuk mencatat nomorku. Stasiun Cimindi. Apa dia tinggal di daerah Cimindi? Entahlah.
***
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menghilangkan segala penat yang sering kali mendera. Sudah kucoba atur jadwal sedemikian rupa agar waktuku padat dengan berbagai kesibukan. Namun tetap saja aku harus bertemu rumah. Keinginan untuk kos sendiri tidak memungkinkan. Yang ada ibu malah akan marah besar. Buat apa? Tempat kerja masih bisa dijangkau. Bisa dengan naik angkot, bus, kereta. Pemborosan. Kata-kata seperti itu pasti akan keluar dari mulut ibu. Tapi aku lelah. Ya Allah, bantu aku bersabar mendengar ceramah ibuku mengenai jodoh yang tak kunjung datang.
"Hana, kemarin ibu ketemu teman lama ibu. Dia memiliki anak laki-laki. Duda sih. Apa mau jika nanti ibu berniat menjodohkanmu dengannya?"
Aku kembali menarik nafas dalam-dalam. Bukankah sudah biasa? Tak perlu marah Hana, tak perlu.
"Ibu, aku punya kenalan laki-laki. Dia bilang kalau cocok nanti dia akan melamarku," balasku kemudian.
Rizki. Ya, laki-laki yang Hafidz kenalkan padaku. Beberapa hari ini aku berhubungan dengannya. Meski hanya lewat sms sih. Itu pun jarang. Sangat jarang. Hafidz bilang, dia laki-laki alim. Tidak mau kalau sampai sering-sering berkhalwat dengan yang belum resmi menjadi istri. Dosa.
"Siapa? Apa kau mengenalnya dengan baik?" tanya ibu.
"Insya Allah dia laki-laki yang baik, Bu," balasku pura-pura tahu. Padahal bertemu saja belum pernah.
"Terus kapan dia mau melamar?"
"Insya Allah secepatnya, Bu. Dia bilang kalau memang cocok nanti sekitar dua atau tiga bulan akan ke sini melamarku."
Aku tidak mengada-ada. Sungguh. Lelaki bernama Rizki itu memang pernah bicara seperti itu padaku. Meski entah lah. Antara yakin dan tak yakin. Sedangkan bertemu saja belum pernah. Apa semudah itu aku harus mempercayainya. Apa dia tampan, jelek, kurus, gendut, aku tidak memikirkan hal itu. Sama sekali tidak. Â Hafidz bilang dia seorang ustadz sekaligus penceramah. Jika yang dikatakan Hafidz benar bahwa dia laki-laki alim, itu saja sudah lebih dari cukup bagiku. Umurku berapa? Tidak ada waktu untuk memilih-milih ukuran fisik. Yang penting ibu bahagia bisa secepatnya memiliki menantu. Itu.
***
Cuaca sangat panas. Tapi aku justru memilih naik bus kelas ekonomi hari ini. Aku mudah bosan. Berganti suasana akan lebih menyenangkan. Berjejal. Hari Senin memang selalu padat penumpang. Untunglah aku mendapat tempat duduk di sisi jendela sebelah kanan.
"Boleh aku duduk di sini?" suara seorang lelaki mengagetkanku yang tengah melamun memandangi suasana kota Bandung dari balik jendela.
"Boleh," balasku cuek.
Lelaki itu tengah menunduk sibuk menyimpan tas gendongnya di bawah jok. Aku kembali mengarahkan pandanganku di luar jendela.
"Hana?"
"Ya," balasku setengah kaget. Kini lelaki itu sudah duduk di sampingku. Lelaki bertubuh agak kurus tinggi dengan wajah bersih.
"Hafidz. Sebenarnya kau tinggal di mana? Aktivitasmu apa? Kalau kau menetap di Bandung kenapa baru sekarang-sekarang ini aku bertemu denganmu lagi?" tanyaku penasaran. Sungguh. Sedangkan aku sudah dari kecil menetap di Bandung. Hafidz? Setahuku sejak lulus SMA dia hilang kabar entah ke mana rimbanya.
"Aku di Bandung. Aku tidak ke mana-mana," balasnya santai. Seperti biasa setiap perkataannya selalu di akhiri senyuman. Menjengkelkan.
"Mana mungkin," balasku lirih. Hampir tak terdengar. Dan entah dia dengar atau tidak.
"Bagaimana Rizki? Apa dia menghubungimu?" tanyanya kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Dia aneh. Sama sepertimu. Datang sebentar lalu menghilang. Entahlah. Aku tidak tahu akan bagaimana."
"Dia pernah berkata yang menunjukkan ke arah keseriusan atau tidak?"
"Pernah. Dia bilang kalau cocok dia akan datang sekitar dua atau tiga bulan lagi."
"Syukurlah. Aku turun dulu, Assalamu'alaikum," ucapnya lalu bergegas pergi.
"Wa'alaikumsalam," balasku lirih.
Ciroyom. Sebenarnya apa aktivitas dia? Beberapa waktu yang lalu saat pertama aku bertemu dengannya, dia turun di Cimindi. Hari ini di Ciroyom. Ah, masa bodo. Yang penting tujuan aku masih tetap sama, TK Bina Islam Padalarang. Tempatku sehari-hari mencari nafkah. Tahu kenapa aku memilih menjadi pengajar di TK? Karena keceriaan anak-anak mampu membantuku melupakan pertanyaan ibu tentang kapan jodohku datang.
***
Sudah hampir tiga bulan sejak perkenalanku dengan Rizki. Perkenalan dalam diam. Perkenalan tanpa pertemuan. Apa mungkin dia akan datang melamarku? Aku khawatir ibu kecewa. Aku khawatir Rizki tidak cocok denganku lalu memutuskan untuk tidak pernah datang melamarku. Ah, menyedihkan sekali aku ini. Bagaimana aku bisa tahu dia cocok atau tidak denganku sementara aku tidak pernah diberitahu olehnya?
'Malam ini aku akan datang.'
Sebuah pesan singkat dari kontak nomor bernama Rizki. Benarkah? Benarkah dia akan datang? Itu artinya dia menginginkanku. Artinya dia merasa cocok denganku. Ah, ibu akhirnya anakmu ini akan memiliki seorang calon suami.
Aku bergegas menghampiri ibu yang tengah sibuk dengan jahitannya. Aku masih belum juga menghilangkan senyuman dari sudut bibirku.
"Ibu, lihat!" ucapku lalu memperlihatkan sebuah pesan dari Rizki.
Seketika ibu berhambur memelukku. Ternyata ibu mampu menangkap maksud pesan dari Rizki. Aku pikir dia akan bertanya apa maksudnya. Ternyata tidak.
"Selamat ya sayang. Akhirnya anak ibu satu-satunya yang cantik ini akan menjadi seorang istri," ucap ibu. Ah, ibu kenapa pula ibu menangis.
"Ibu kenapa menangis?"
"Ibu terharu, nak," balas ibu menyeka air matanya setelah melepas pelukan dariku.
Ibu. Asal ibu tahu, Hana tidak ingin segera menikah karena Hana tidak ingin ibu sendiri. Setelah kepergian ayah menghadap Yang Kuasa, ibu harus pontang-panting membiayai Hana. Ibu. Kau ibu yang hebat. Karena akhirnya mampu membiayaiku hingga masuk perguruan tinggi. Meski pada akhirnya aku hanya memilih untuk menjadi seorang guru TK. Tapi ibu, aku menyukai kesederhanaan ini. Kesederhanaan membuat kita bahagia. Aku tak betah di rumah pun hanya karena ibu selalu ingin aku segera menikah. Hanya itu saja. Ah, ya sudahlah. Bukankah kebahagiaanku akan kembali lagi? Bahkan lebih sempurna. Ibu akan melihatku menikah.
"Assalamu'alaikum," suara ketukan pintu membuat jantungku berdetak lebih cepat tak karuan. Berbagai pertanyaan berkelebat di kepalaku. Seperti apa Rizki? Apakah benar dia laki-laki yang baik? Apa dia tampan atau jelek?
Setelah menjawab salam dengan lirih. Aku melihat ibu membuka pintu dengan perlahan. Aku tak berani membukakannya. Jadi tugas membuka pintu diganti oleh ibu. Kulihat seorang lelaki berkemeja biru muda mencium tangan ibu. Wajahnya masih belum bisa kulihat. Terhalang oleh badan ibu. Di sisinya seorang lelaki setengah baya yang sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi entah lah siapa. Ibu mempersilahkan mereka masuk. Aku melihat laki-laki itu dengan jelas. Sangat jelas. Senyumnya merekah. Dia menatapku.
"Hafidz?"
"Hafidz Rizki Abdillah?"