Perempuan adalah makhluk rentan. Sekali pun di balik semua itu, perempuan juga termasuk makhluk tangguh yang sanggup memikul banyak beban. Tapi sekali lagi kutegaskan, rentan itulah yang paling dominan.
Mengapa? Sebab aku salah satu dari mereka. Aku terlahir sebagai seorang perempuan. Sudah pernah melahirkan satu anak perempuan, pun kini tengah hamil anak perempuan.
Siapa yang ingin terjatuh dua kali dalam kesalahan yang sama? Aku pernah gagal dalam sebuah rumah tangga. Menghasilkan seorang anak perempuan yang kini tak lagi mendapat nafkah dari ayah kandungnya.
Kini? Aku jatuh ke lembah yang sama. Bahkan ke lembah yang lebih dalam. Ini lebih memalukan. Aku hamil di luar nikah. Meski kemudian aku menikah dengan lelaki yang menghamiliku, tapi aku tahu bahwa hubungan pernikahan kami tidak pernah sah. Sebab perempuan yang tengah hamil memang tak sah bila dinikahi bukan? Ini dilakukan hanya untuk menutup sebuah aib. Percuma! Siapa yang akan membenarkan? Apa lagi pernikahan dilakukan secara siri. Sebab lelaki itu, dia masih berstatus seorang suami secara negara, sekalipun secara agama sudah tidak lagi. Dia belum mengurus perceraiannya dengan istri pertama. Aku bodoh sekali bukan? Perempuan terbodoh yang pernah ada di dunia, barangkali!
"Kamu kapan pulang? Aku sebentar lagi akan melahirkan!" teriakku pada seseorang di seberang sana.
"Aku tidak tahu. Kamu kan tahu sekarang aku masih kerja," balasnya.
"Kalau tidak mau pulang, ya cukup kamu bantu dengan kasih uang buat biaya persalinan," balasku.
"Aku belum ada uang, Ratih," balas suara di seberang sana.
Aku tidak mengerti. Mengapa ia seolah enggan terhadapku. Berkali aku meminta, jawabannya selalu tidak tahu, tidak ada, tidak bisa.
Selain itu, entah mengapa hatiku pun selalu merasa gusar. Seolah ada sesuatu yang salah. Setiap hari hanya ingin marah-marah.
Lelaki itu, dia dulu manis sekali. Tapi mengapa? Mengapa sekarang berubah? Acuh, tak pernah mau mengindahkanku. Tak mau memberi kabar jika tak kukabari terlebih dahulu. Bahkan seringnya pun tak menjawab teleponku. Sekalinya menjawab, ucapannya begitu membuatku kesal.
Bulan ini, kandunganku menginjak usia 9 bulan. Aku malu. Dan lebih malu lagi karena Rudi, ayah dari bayi yang ada di kandunganku tak berada di sini. Ia tengah berada di luar pulau. Aibku semakin tampak tanpa keberadaannya. Barangkali ini yang membuatku mudah marah.
Seharusnya aku tak mengizinkannya pergi jauh. Sekali pun dengan alasan ingin mencari biaya buat persalinan nanti. Sebab nyatanya apa? Selama 6 bulan kepergiannya, tidak pernah sekalipun ia mengirim uang untuk kebutuhanku. Siapa dia? Suamikukah? Sedangkan pernikahan kami saja tidak pernah sah di mata Allah.
"Ibu, aku harus bagaimana?" keluhku pada ibu.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tak berani keluar rumah. Orang-orang di luar sana sudah pasti tengah asyik menggunjingkanku. Aku wanita jalang. Aku seorang janda yang kegatalan. Dan entah apa lagi.
"Sabar, Nak. Semua sudah terjadi. Jadi ikhlas saja untuk menjalaninya," balas ibu merangkulku.
"Maafkan Ratih, Bu," ucapku dalam isak.
"Terus Rudi bagaimana? Dia ada kasih kabar ke kamu?" tanya ibu.
"Aku tidak tahu, Bu. Aku tidak tahu apa maunya. Dia seperti enggan sama Ratih, Bu," balasku semakin terisak.
"Nanti biar ibu yang bicara, Ratih," balas ibu mencoba menenangkan.
Duniaku gelap. Rasanya gelap sekali. Ini memang kesalahanku. Seharusnya aku bisa menjaga diri. Seharusnya aku tak mudah tergoda lelaki. Jika waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya aku kembali ke masa lalu.
"Ibu, kapan dedek bayi lahir?" tanya Aira anakku, saat aku tengah akan menidurkannya.
"Sebentar lagi, sayang," balasku.
"Dedek bayinya nanti perempuan kaya Aira ya, Bu?" tanyanya lagi.
"Iya sayang. Sudah malam, tidurlah," ucapku memeluknya mesra.
Aku berkali mencoba menghubungi Rudi setelah Aira terlelap tidur, tapi tak ada jawaban. Jika saja dia ada di hadapanku, ingin sekali aku menamparnya. Perlakuannya padaku seolah aku bukan siapa-siapa. Padahal jelas-jelas aku tengah mengandung anaknya.
"Halo," sapaku ketika teleponku akhirnya diangkat.
"Ya, halo," balas suara di seberang sana.
Deg.
Jantungku berdegup kencang, ketika yang kudapati adalah suara seorang wanita. Siapa wanita itu? Mengapa berani sekali memegang HP Rudi.
"Maaf ini siapa? Rudinya mana?" tanyaku ketus.
"Oh Mas Rudi sedang di kamar mandi. Ini siapa ya?" tanyanya kemudian.
Kamar mandi? Apa maksud wanita itu?
"Aku istrinya," balasku masih dengan suara ketus.
"Istri? Jangan ngaco kamu Mbak. Dia itu suami saya. Kami menikah dua bulan yang lalu," balasnya kemudian.
Sementara aku, dadaku semakin memanas. Air di mataku tanpa sadar mengalir. Rudi menikah lagi? Benarkah? Bahkan istri pertamanya saja belum sah ia ceraikan. Pun aku, siapa aku di matanya?
Aku langsung mematikan telepon. Hatiku serasa tercabik-cabik. Rasanya, ingin sekali mengakhiri semuanya. Rasanya ingin sekali aku pergi dari dunia ini.
Selang beberapa menit, aku mendapat foto-foto mesra kiriman dari nomor Rudi. Foto pernikahan, juga foto-foto mesra Rudi dengan wanita itu. Entah siapa yang mengirim. Rudi atau wanita itu, aku tidak tahu.
Rasanya, sudah hancur hidupku. Ini kesalahanku. Terlalu bodoh percaya dengan lelaki keparat seperti Rudi.
"Ibu ...," teriakku.
Aku menangis, meronta. Merasakan sakit di perut secara tiba-tiba.
Kemudian ibu dan ayah membawaku ke rumah sakit. Aku akan melahirkan malam ini. Tepat di malam aku mendapati ayah dari anak yang kukandung ternyata menikah lagi.
"Nak, ibu akan menjadi ibu sekaligus ayah bagimu," lirihku memeluk bayi mungil yang baru lahir.