Lagi -- lagi si kepala sekolah sialan itu! Mereka malah menghukum korbannya. Mereka terlalu bodoh untuk menyadari perbuatan anak -- anak bedebah itu.
Namaku Roy, aku tinggal bersama ibuku. Sejak dulu ayah meninggalkan kami tanpa kabar. Meskipun kami hanya berdua di rumah kecil, tidak masalah asalkan ibu tidak apa -- apa. Aku dibesarkan di lingkungan yang keras. Kalau ingin makan harus bekerja dulu. Ibu sudah renta. Tidak mungkin pula aku menyuruhnya bekerja. Setiap hari sepulang sekolah, aku beralih profesi menjadi kuli bangunan
"Aku diskors lagi, Bu. Sekarang lamanya seminggu."
"Ya ampun, Roy. Kamu kenapa lagi?" tanya Ibu dengan rautnya yang gelisah.
"Biasalah, Bu. Anak -- anak itu lagi. Tidak puas -- puas berurusan dengan Roy", jawabku ketus.
"Kamu tidak bisa begini terus, Roy. Nanti kalau kamu dikeluarkan mau jadi apa kamu!" Ibu makin gelisah akibat aku selalu terlibat masalah di sekolah.
"Mereka yang maksa Roy melakukan itu, Bu!"
"Sudah ribuan kali ibu bilang, Roy. Kamu fokus sekolah saja, jangan dengar kata mereka".
"Sudahlah, Bu. Roy mau tidur saja. Roy harus kerja besok. Tidak ada gunanya kita bahas ini. Mereka tidak akan jera."
Entah mengapa semua orang di sekolah menginginkanku untuk sirna. Mereka selalu mengolokku. Tapi aku tidak peduli akan hal itu. Tapi aku akan merobek mulut sampah mereka jika mencoba menghina ibuku. Aku tak akan segan menonjok mereka. Itulah yang membuatku sering berurusan dengan kepala sekolah.
Khusus untuk seminggu ini Roy bebas dari jangkauan mereka. Cahaya pagi terasa lebih cerah hari ini. Udaranya yang segar membuat Roy semangat untuk bekerja sebagai kuli. Ia berjanji akan membeli bubur ayam kesukaan ibu dan dirinya sepulang kerja.
Dimulai dari mengangkat semen, mengaduknya bersama pasir dan air, mengangkat tumpukan bata, lalu menyusunnya dengan adonan semen. Semua dilakukan Roy dengan semangat membara di dirinya. Panas terik pun tak dapat meggoyahkan dirinya. Akhirnya Roy selesai kerja saat menjelang malam. Sebelum pulang, ia harus memenuhi janjinya tadi pagi. Roy pun membeli bubur ayam di warung kaki lima yang terhampar hampir di seluruh penjuru kota.
Sesampainya di rumah, Roy membuka pintu dengan perlahan. Hari sudah larut malam. Dia tidak ingin membangunkan ibunya yang mungkin sudah terlelap.
"Roy pulang".
Sesuai dugaan, ibu sudah tidur. Roy langsung menyadarinya. Rumah mereka hanya terdiri satu ruangan dimana tempat tidur, masak, dan ruang tamu tergabung. Roy hendak membangunkan ibu untuk mengajaknya makan bersama.
"Bangun, Bu. Ayo makan", aku mengusap tangan dan pundak ibu dengan lembut. Aneh, tangan ibu terasa dingin dan kaku. Biasanya hanya suara sedikit saja ibu sudah terbangun.
"Ibu, bangun. Ibu belum makan, kan? Roy sudah bawa bubur ayam kesukaan ibu nih. Kita makan yuk!"
Wanita itu tak kunjung sadar. Curiga, Roy mendekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke hidung ibu untuk merasakan deru nafasnya. Nihil, Roy tidak merasakan adanya hembusan udara di jarinya. Lalu ia segera menempelkan telinganya ke dada kiri wanita itu. Hening, irama jantung sama sekali tak terdengar.
"Bu... Ibu kenapa? Bangun, Bu. Bangun!" kali ini Roy mengguncangkan badan ibu. Ibu masih bergeming.
Roy seketika panik lalu menggotong ibu keluar rumah. Roy melolong meminta bantuan kepada warga sekitar. Untungnya mereka mendengar lolongan tersebut dan segera membantunya. Diantara warga tersebut, ternyata ada seorang dokter. Dokter itupun mengidentifikasi keadaan ibu. Apa yang dilakukannya tidak dipahami oleh Roy, namun tetap mengharapkan ada kabar baik. Setelah beberapa pengecekan, dokter itu kini menghadap kepada Roy sembari menopang kedua tangannya ke pundak Roy.
"Bagaimana, Pak? Ibu saya masih hidup, kan?"
"Nak, kamu harus tabah, ya. Ibumu sudah tiada, nak", ucap dokter tersebut dengan nada penyesalan.
"Tidak, kau bohong. Ibu belum mati!" tanpa disadari air mata mulai mengucur di pipi Roy. Ia menepis tangan dokter tadi dan memeluk ibu erat -- erat.
"Ibu.. jangan meninggal dulu. Jangan tinggalkan Roy. Roy belum siap, Bu. Roy belum sukses menjadi anak yang ibu impikan, Bu.... M-maafkan Roy".
Sayang, ibu tidak bisa mendengar permintaan Roy lagi untuk selamanya. Tak disangka, hari yang seharusnya menjadi angin segar bagi Roy malah menjadi hari duka. Dengan berat hati, Roy harus menerima kenyataan bahwa Ibu tak akan bersamanya lagi.
Hari -- hari terasa lama setelah kepergian ibu. Rumah terasa sepi setelah kepergiannya. Â Tak terasa 'hadiah' dari kepala sekolah sudah habis. Ini masanya bagi Roy untuk kembali ke sekolah. Kepala Roy terasa hampa, kosong, ia merasa kehilangan minat untuk hidup. Hinaan dan cacian masih terdengar olehnya saat di sekolah, namun tak ada lagi yang masuk ke dalam benak Roy. Tubuhnya tidak dikendalikan oleh ruhnya, hanya otak yang bekerja. Situasi yang mirip dengan istilah 'Auto-pilot'.
Saat berjalan, Roy tidak menyadari di depannya ada orang iseng yang ingin menungkainya. Roy tidak peduli akan hal itu, akibatnya ia jatuh ke perangkap tersebut. Semua orang sontak menertawakannya, terlebih lagi si pelaku. Benak Roy yang awalnya kosong seketika ditumbuhi amarah yang menggelegar bagaikan muntahan gunung api.
"Aku tak tahan lagi. Aku tak peduli kalau kau mati, BAJINGAN!" gumam Roy.
Matanya langsung tertuju ke batu yang seukuran kepala tangan. Roy mengambil batu tersebut sembari mengbangkitkan dirinya. Amarah yang amat besar membuat Roy benar -- benar kehilangan akal sehat. Ia langsung mengayunkan batu itu ke kepala si pelaku. Ayunannya sangat cepat, tidak memberi pelaku kesempatan untuk menghindar.
"PANG!!", batu itu tepat sasaran, mengenai pelipis kepala pelaku. Ia langsung terkapar tak sadarkan diri. Orang disekitar sana refleks berteriak dan terpojok ketakutan melihat aksi brutal Roy. Seolah ayunan itu belum cukup, Roy pun mencekik leher si pelaku dan meninju wajahnya tanpa ampun. Lahar panas di dalam hati Roy tak kunjung mereda, ia terus memukuli wajah orang yang menungkainya, hingga wajah orang itu bonyok, berlumuran darah.
Roy mulai kehabisan tenaga. Ia berhenti memukul setelah beberapa saat. Mengingat kondisi lawannya yang sudah parah, Roy teringat kembali saat melihat kondisi ibunya yang tak bernyawa. Wajah itu kurang lebih sama dengan kondisi si pelaku. Mati.
"Apa yang sudah kulakukan? Kau mati?" Roy sadar bahwa amarahnya sudah merenggut nyawa seseorang.
Roy langsung berinisiatif untuk kabur dari mayat itu. Dia hendak keluar dari pekarangan sekolah. Terlambat, polisi sudah berdatangan dari seluruh penjuru dan mencegat Roy. Tidak ada yang bisa dilakukan Roy lagi selain menerima dirinya ditangkap polisi. Ia langsung dipenjarakan atas tindakan pembunuhan. Tak perlu persidangan karena motifnya sudah lengkap.
Sekarang Roy hanya terpaku di dalam jeruji besi. Tidak ada lagi yang dimilikinya. Tak butuh waktu lama untuk mendapat kabar dari sekolah bahwa ia dikeluarkan. Tidak ada siapapun yang menjenguknya kecuali sipir yang mondar -- mandir di sana. Di kesunyian itu, Roy berbicara dengan hati kecilnya.
"Maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menjadi anak baik seperti yang ibu mau. Aku hanya ingin membela ibu karena hanya ibu yang ku punya. Mereka memang iblis, aku tidak bisa hanya diam membiarkan mereka bicara tentang ibu. Bagaimanapun juga, aku masih anakmu kan, Bu?"