Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Dokter Identik dengan Kaya?

2 November 2009   06:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 422 0
Tahukah anda?

- Ada dokter yang penghasilannya hanya 1 juta / bulan

- Ada dokter yang kemana-mana naik angkot

- Ada dokter yang resign dari RS setelah gaji yang diterima ternyata tidak sesuai dengan kontrak. Macam buruh pabrik saja...

- Ada yang setelah lulus dokter justru jadi sales asuransi, penjual boneka

- Ada seorang dokter spesialis melarang anaknya mengikuti jejaknya menjadi dokter meski anaknya menangis mengiba-iba

- Angka perceraian yang terus meningkat diantara dokter peserta pendidikan spesialis

Pada kesempatan ini saya ingin berbagi mengenai kehidupan seorang dokter setelah beberapa waktu lalu ada seorang kawan yang menghubungi saya via facebook. Dia menceritakan adiknya yang sedang bimbang menentukan jurusan kuliah. Kedokteran merupakan salah satu jurusan kuliah yang kemungkinan akan dipilihnya. Oleh sebab itu si kakak menanyakan kepada saya, gimana kuliah di kedokteran, prospek dokter, ngapain aja setelah lulus.

Kedokteran hingga saat ini masih menjadi salah satu jurusan favorit di negeri kita. Bahkan UI sampai membuka jalur internasional. Bagi orang tua, adalah suatu kebanggaan anaknya lulus menjadi dokter. Ada juga yang beralasan biar saat tua ada yang merawat. Bagi peminat kedokteran sendiri, kedokteran dianggap memberikan skill agar mereka bisa bekerja. Meski ga praktek di rumah sakit, klinik atau bekerja di instansi lain, bisalah untuk hidup dengan hasil dari praktek sendiri. Sama juga komentar yang saya dapat ketika saya mengutarakan ingn keluar dari PNS. Ada sebuah komentar yang mengatakan kalau dokter sih enak. Mungkin yang kebayang di matanya dokter-dokter spesialis yang tampak cantik, gagah dan ‘terawat' dan bersiliweran di rumah sakit dengan dengan jas putihnya. Apalagi menghitung-hitung penghasilan dokter spesialis yang mencapai ratusan ribu untuk 1x pemeriksaan.

Memang melihat dari arah pertanyaan kawan saya, pada akhirnya sebenarnya UUD (Ujung-ujungnya Duit). Saya sih ga alergi sama duit (amit-amit deh kalo alergi). Tapi, jangan minta langsung kaya dong. Yang ingin saya sharing adalah penghayatan saya terhadap profesi dokter. Hal ini berdasarkan pengalaman pribadi dan cerita-cerita teman sejawat. Mungkin ada yang berbeda pendapat, silakan.

Dari kecil saya memang bercita-cita menjadi dokter. Sebabnya karena mereka tampak menarik dan wah dengan jas putihnya. Mereka juga kelihatan cerdas karena bisa langsung menjelaskan penyakit kita, memberi obat dan saran. Alhamdulillah, saya ketrima di Kedokteran Umum UI tahun 1997. Waktu itu, iuran sukarela cuma 3 juta, itu pun bisa ditawar. Uang semesteran saya kala ga salah hanya 1,5 juta. Bandingkan dengan saat ini dimana uang masuk antara puluhan hingga ratusan juta. SPP per semester juga mencapai puluhan juta. Hal itu berlangsung hingga lulus, yaitu minimal 6 tahun. Bila dibandingkan dengan jurusan lain yang bisa 4 tahun, kedokteran umum makan waktu lama.

Setelah lulus, mereka berlomba-lomba mencari pekerjaan dengan melamar ke RS, klinik-klinik, menjadi pengajar, menjadi PNS, ikut PTT, menjadi dokter perusahaan / pabrik, ada yang berdikari membuka usaha sendiri,ada yang bekerja paruh waktu di media cetak....(apa lagi ya?). Jangan dikira bekerja di situ langsung kaya ya. Apalagi di Jakarta dengan biaya hidup mahal. Kalau di daerah-daerah kaya, seperti Riau, Maluku, Batam, bolehlah bermimpi habis PTT langsung bisa nabung untuk sekolah lagi. Kalau di Jawa, kalau ga dapat sokongan dari orang tua, mustahil sekolah lagi. Kecuali, si dokter punya bisnis yang menghasilkan.

Bila seorang dokter berpraktik sendiri dengan biaya berobat yang murah ( misalnya 25 - 30 ribu / pasien + obat ), artinya dia tidak mampu membayar dokter pengganti bila dia berhalangan jaga. Karena dokter hanya mendapat 10 ribu-an per pasien.

Terus gimana kalau lulus langsung sekolah lagi? Ambil spesialis?

Hari gini sekolah spesialis senilai dengan harga 1 rumah. Ratusan juta. Pengeluaran terbesar bukan dari sumbangan dan SPP, justru dari pengeluaran selama sekolah. Itu juga kalau diterima. Hehehe....Saingan spesialis ketat dan sering berbau nepotisme.

Beban makin bertambah untuk seorang ibu rumah tangga. Perceraian membayangi. Bagaimana tidak? Saat sekolah spesialis, paling tidak ada 8x per bulan dia tidak pulang ke rumah. Jaga malam. Bayangkan, anda - anda yang bekerja dan kuliah lagi, itu saja sudah membuat capek. Padahal masih pulang ke rumah. Ini, sudah sekolah, mungkin masih harus kerja sambilan, masih harus jaga malam lagi. Akibatnya, suasana rumah tegang. Keluarga kurang diperhatikan. Makanya ada seorang spesialis penyakit dalam yang berkata kalau anaknya yang perempuan jadi dokter, dia akan menyuruhnya kawin dengan dokter juga. Seorang teman saya yang sedang mengambil spesialis bercerita, bila bukan karena permintaan ibunda, dia tidak akan memilih spesialis tersebut. Bohong bila rumah tangga dan pekerjaan berjalan seimbang. Akhirnya, ada 1 yang harus dikalahkan. Untung suaminya yang sudah menjadi anestesi mengerti bebannya dan bersedia menggantikan sementara peran dirinya sebagai ibu rumah tangga.

Begitu keluar spesialis, ga langsung mulus. Cari tempat praktek hingga ke pelosok - pelosok yang jauh dari rumah. Sudah biasa itu rumah di Depok, praktik di Serpong, atau di Cikarang. Karena rumah sakit di kota umumnya sudah terisi. Kalaupun belum, umumnya lebih mengutamakan kawan-kawan, jaringan, atau kerabat.

Kalau sudah jadi spesialis ngetop, pasien ngantri panjang. Belum lagi pasien rawat inap yang harus divisite. Akhirnya, pulangnya bisa jam 11 malam, bahkan dini hari. Setiap hari.....Pertama-tama sih senang. Bangga punya banyak pasien. Tapi lama-lama ya enek. Akhirnya, dia membatasi pasien. Mengurangi jam praktek. Karena kemampuannya emang hanya segitu.

Akhirnya, pesan yang ingin saya share adalah bahwa rejeki sudah ada yang mengatur. Sudah hukum alam bahwa kesuksesan tidak mungkin diraih sekonyong-konyong tanpa usaha. Di belakang cerita sebuah kesuksesan pasti ada cerita kerja keras, disiplin, ketekunan, dan kegagalan.

Saat ini anda melihat dokter langganan anda yang terlihat mapan. Sebenarnya dibelakangnya terdapat sejuta cerita pengorbanan dan air mata yang telah dilalui.

Jadi, dokter tidak identik dengan kaya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun