Ilmu Alam, Teori Evolusi dan Fenomena “Cocok-mencocoki”
4 Januari 2014 15:04Diperbarui: 23 September 2015 12:335591
Jika terdapat perdebatan antara pemeluk suatu agama dan ilmuwan sering sekali mereka yang condong dengan agamanya dipojokkan bahwa mereka tidak mempunyai sandaran ilmu (science). Mereka dianggap hanya mengandalkan percaya yang tidak mampu membuktikan secara ilmiah. Bahkan pada artikel tentang “Apakah teori evolusi layak dipercaya?” disini http://edukasi.kompasiana.com/2014/01/01/apakah-teori-evolusi-layak-dipercaya-624583.html terdapat komen bahwa pemeluk agama (Islam?) itu suka-nya ‘menggatuk-gatukan’ antara temuan science dengan ajaran agama.
Saya sedikit akan berbagi bahwa sebenarnya ‘ilmu gatuk-gatuk’ atau cocok-mencocokan itu adalah bagian dari pekerjaan keseharian manusia. Yang solid hanyalah ilmunya Allah SWT bahkan janji Allah untuk memelihara kalam-Nya adalah nyata sampai pada kehidupan saat ini. Saya disini hanya fokus pada bahasan bahwa ilmu ‘gatuk-menggatukan’ adalah juga ditemui dalam natural science / ilmu pengetahuan alam. Dalam hal ini ilmu ‘gatuk-gatukan’ yang saya bahas berkaitan dengan topik diatas, teori evolusi.
Teorinya Darwin “the origin of species” berawal dari pekerjaannya meneliti atas variasi tanaman dan binatang, pada tahun 1868 bukunya tentang hal tersebut keluar. Pekerjaannya berlanjut dengan kesimpulan dia atas asal-usul species dan bukunya “the origin of species” mengulangi pencetakan sampai 6 kali (terakhir tahun 1976 dan dia meninggal di tahun 1882).
Apakah teori tersebut murni pemikiran Darwin? Jawabannya tidak. Darwin sendiri termasuk termasuk kelompok naturalist sebenarnya. Pada masa itu kaum naturalist sudah terbelah menjadi dua: (1) berfikiran bahwa species asalnya turun-temurun dan pada moment turun-temurun itu mengalami proses modifikasi ke arah yang lebih baik. Mereka-mereka yang mendukung teori ini antara lain yang pertama adalah Lamarch, 1815; Prof Grant, 1826; Patrick Matthew, 1831; dst. (2) mereka yang berfikiran bahwa species tidak mengalami perubahan, bentuknya tetap, dan tercipta secara terpisah. Salah satu tokoh pendukung teori ini adalah Geoffrey Saint Hilaireb (1795) yang kemudian landasan teorinya muncul pada horticultural experiments (1828). Herbert dalam bukunya ‘Horticultural Transactions’ yang meneliti tentang ‘Amaryllidaceae’ menyimpulkan bahwa botanical species itu mempunyai varietas yang permanent dan dia berpendapat binatangpun varietas-nya tetap.
Darwin sendiri termasuk naturalist yang pertama. Dia pada saat itu mempunyai ‘concern’ yang besar pada masalah teori pertama karena belum disertai dengan bukti-bukti empirik. Penelitiannya dia didorong untuk memberikan bukti-bukti empirik pada keyakinan bahwa “species berasal dari species lain yang dalam proses turun-temurun tersebut mengalami perubahan bentuk kearah yang lebih baik”. Pernyataan tersebut awalnya disampaikan oleh Prof. Grant di dalam ‘Edinburgh Philosophical Journal’, 1826. Intinya Darwin ingin mencocokan asumsi tersebut dengan suatu bukti empiris, yang akhirnya terkenal dengan penelitiannya dia di kepulauan Galapagos. Meskipun demikian, banyak pertanyaan yang tidak bisa dibuktikan dengan teorinya Darwin, misalnya saja pertanyaan dari kelompok Naturalists 2 yaitu bagaimana tiba-tiba hadir berbagai species yang beragam di bumi ini.
Di sisi lain pada masa yang bersamaan sekitan tahun 1870-an seorang monk yang juga ilmuwan, Gregor Mendel, yang awalnya tertarik pada bidang botany karena ayahnya yang suka berkebun, menemukan tentang bertahannya karakteristik hereditas makhluk berkaitan dengan penurunan benih cell. Sampai saat ini para ilmuwan masih berspekulasi apakah pada masa itu Darwin tahu Mendel dan juga sebaliknya, yang jelas pekerjaan-nya Mendel dianggap bertentangan dengan teorinya Darwin karena dia berkesimpulan bahwa alam tidak akan mampu dengan sendirinya merubah bentuk species kecuali ada faktor yang mempengaruhi. Mendel saat bicara tentang hereditas (keturunan) memasukkan unsur pembuahan berkaitan dengan benih cell yang tidak dibicarakan oleh kelompoknya Darwin. Penelitiannya Mendel sekitar tahun 1900-an ditinjau kembali karena terdapat perselesihan antara kelompok yang mengklaim bahwa gen dan mutasi cell merupakan sub keilmuan yang berkaitan dengan evolusi, sedang kelompok satunya meng-klaim bahwa ilmu tersebut sejak awal berdiri sendiri.
Kisah singkat diatas intinya sama dengan kesimpulan di artikel saya http://filsafat.kompasiana.com/2012/12/10/memilah-ilmu-pengetahuanscience-dan-ilmu-agama-bagian-i-514764.html yang menunjukkan bahwa manusia itu selalu bermula dari mencoba ‘meng-gatuk-gatuk-kan’ mengenai fenomena alam yang dia temui, termasuk dalam hal ini dalam bidang scientific research. Meski para proponents dibidang science akan meng-claim bahwa “kami bekerja berdasarkan data dan penelitian”, tetap saja pekerjaan mereka dimulai dari asumsi/hypotesa, lalu mereka berusaha membuktikannya dengan “limited data” sebagai sample. Asumsi mereka bisa terbukti bisa juga tidak. Teori evolusi disatu sisi dapat bermanfaat untuk pengelompokan species, tetapi sampai sekarang tidak terbukti dapat menyimpulkan tentang asal-usul species itu sendiri. Mau diakui atau tidak, Darwin saat itu mencoba “menggatuk-gatukan” datanya dengan asumsi akan asal-usul species. Akan tetapi banyak sekali fenomena yang tidak dapat dipahami dan belum dibuktikan sampai sekarang. Contoh saja: “Pada prosses selesksi alam, sampai sejauh mana perubahan bentuk terjadi? Apakah benar ada perubahan bentuk yang mengarah pada bentuk yang lebih bagus? Kapan awal terjadi dan sampai kapan? Kapan berhenti dan tidak mengalami perubahan lagi? Beyond our life now? When?”. Kenyataannya dari mulai Darwin hidup sampai sekarang manusia tidak ada yang mengalami perubahan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab.
Yang menjadi tanda tanya besar adalah ketika tidak terjawab pertanyaan diatas, kenapa para ilmuwan tidak menghilangkan saja teori evolusi dan menggunakan penelitian Darwin pada wilayah yang seharusnya saja yaitu tentang klasifikasi species, tidak perlu bicara tentang asal-usul species. Tetapi kita terkadang tidak memahami ‘politik’nya manusia bukan? Termasuk politiknya ilmuwan, mereka bersikeras dan mulai mencari-cari bagaimana gen dan mutasi cell dapat menjelaskan pada proses evolusi. Akankah para ilmuwan terus menerus berspekulasi atas nama science tentang asal-usul species??? Bagi yang mengikutinya silahkan saja.
Bagi mereka yang lebih mengutamakan hukum agamanya terlebih dahulu dan menomor duakan science sering dianggap tidak mempunyai dasar. Padahal bukti empiris itu banyak ragamnya, apalagi dalam social sciences. Contohnya Agama Islam, documentary evidences -nya lengkap dan pencatatannya umurnya sangat tua melebihi bidang natural sciences, yaitu disekitar 600-an Masehi. Salah satu document-nya - Al Qur’an - yang awalnya terekam dengan cara dihafal terbukti sampai sekarang terus dapat dilakukan penghafalan. Para Hafidz Al Qur’an banyak, mereka mampu menghafal Al Qur’an total 30 juzu. Adakah sebuah buku lain dapat dihafal detail seluruh isinya sampai detail cara bacanya dan panjang pendeknya? Hal yang demikian juga termasuk bukti empiris dalam social sciences kalau mau jujur mengakuinya. Natural sciences track-records yang tersedia dimulai sekiatar tahun 1600 - 1700 M. Perbedaan antara social sciences dan natural sciences harus dipahami jika ingin paham tentang bukti empiris. Jadi perkaranya suatu sumber mana yang akan diikuti tidak sesederhana yang katanya berkaitan dengan kepercayaan saja. Banyak faktor yang dipertimbangkan.
Saya ambil contoh yang lain, saya salah seorang ibu yang lebih percaya padaSurah Al Baqarah, 233, mengenai perintah bagi seorang ibu untuk menyusui bayinya hingga dua tahun dan percaya manfaat ASI dari pada berita pemerintah yang berkaitan dengan penelitian medis di bidang vaksinasi (Dua hal yang berbeda, tetapi ada kesinambungan karena kedua2nya berkaitan dengan issue tentang pembentukan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit). Saya memutuskan untuk tidak memberikan vaksinasi sama sekali pada putera dan puteri saya meski saat itu program ‘imunisasi’ lagi digalakkan. Dan ternyata dibelakang hari saya temui vaksinansi BANYAK masalahnya, Alhamdulillah, saya tidak menjalankannya, terbukti keputusan saya mengikuti Al Qur’an bermanfaat (cocokisasi? Ya lah) Sebagian kontroversi imunisasi saya bahas disini: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/12/17/vaksinasi-kontroversi-kandungan-vaksin--619959.html.
Cocok-mencocokan suatu fenomena itu memang perkerjaannya manusia, bisa saja karena dia ingin memahami suatu hal, mengambil ibrah (pelajaran) dan hikmah atas suatu peritiwa, atau karena ingin membuktikan sesuatu. Dengan contoh kegagalan teori Darwin, tetapi para proponents-nya masih mendukungnya, dan bahkan menganggap agama itu tidak lain adalah buah pemikiran manusia semata sebagaimana pemikiran Heyes pada ‘the evolution of religion’ menunjukkan bagaimana ‘keangkuhan’ para evolutionists. Yang benar kalau ingin menggunakan ilmu untuk memahami bagaimana sebuah agama terbentuk, ya rujukannya yang tepat adalah Kitab-nya, dan para ‘ilmuwan’-nya (para ahli bidang ilmunya Islam adalah ulama). Tanpa rujukan kesana ya sama saja yang ditulis hanya asumsi belaka yang kebanyakan hanya berdasarkan pengamatan pada perilaku sosial sebagian pemeluknya. Natural Sciences yang bersentuhan langsung dengan realitas manusia dan kehidupannya tentu ada yang bermanfaat, tetapi ada juga yang melangkah terlalu jauh ‘tersesat’ dalam suatu rimba kefanaan dunia.
Beberapa sumber terkait teori evolusi:
Brannigan, A. (1979). The reification of Mendel. Social Studies of Science, 9(4), 423-454.
Hayes, E. C. (1915). The evolution of religion. The American Journal of Sociology, 21(1), 45-64.
Murray, J. (1906). The origin of species: By means of natural selection or the preservation of favoured races in the struggle for life. The American Psychological Association.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.