Sebagaimana yang diungkapkan oleh K. Heyne dalam De Nuttige Planten Du Nuttige Planten van Ned (1916), Pohon Asam Jawa digambarkan sebagai welbekende (terkenal) dan fraaie (indah), yang berartikan berfungsi sebagai "hiasan" jalanan. Tamarindus Indica (Asam Jawa), dengan batang berwarna coklat keabuan-abuan, berkulit kasar dan beralur vertikal, pohon ini seolah menjadi penjaga, pelindung, dan pengingat bahwa di tengah hiruk-pikuk kota, keanekaragaman hayati (KEHATI) masih bisa bertahan, jika manusia memberinya ruang untuk hidup.
Pohon asam Jawa mengingatkan kita bahwa kehidupan dapat berjalan selaras dengan alam, bahkan di lingkungan urban yang terus berkembang. Di tengah gedung-gedung tinggi dan lalu lintas yang padat, pohon ini berdiri tegak, melawan tekanan perubahan zaman. Kehadiran pohon asam mengajarkan bahwa manusia dan makhluk hidup lainnya saling terhubung, membentuk jaringan ekosistem yang saling bergantung. Pohon menghadirkan contoh nyata "multi-species cohabitation", di mana manusia dan non-manusia berbagi ruang dalam komunitas yang saling memengaruhi.
Pohon ini bukan sekadar tumbuhan yang diam di lanskap kota atau desa. Sebagaimana diungkapkan dalam buku The Hidden Life of Trees karya Peter Wohlleben, pohon Asam Jawa adalah rumah bagi berbagai kehidupan yang saling bergantung, mulai dari mikroorganisme di akar hingga serangga penyerbuk yang mengunjungi daunnya. Pohon ini menjadi titik pertemuan berbagai makhluk hidup dalam jaringan ekosistem yang kompleks. Namun, peran pohon Asam Jawa tidak hanya terbatas pada kontribusinya dalam ekosistem fisik, tetapi juga memiliki makna simbolis yang sangat kuat dalam mitologi dan budaya Jawa.
Mitologi yang Bertahan dari Realitas yang Menampar
Di dunia pewayangan, kayu pohon asam dipercaya memiliki kekuatan mistis. Misalnya, dalam cerita tentang Werkudara atau Bima, tusuk konde yang digunakan terbuat dari kayu Asam Jawa. Sifat pohon ini, yang dianggap nengsemake atau menyenangkan, melambangkan pribadi Werkudara yang menyenangkan. Sebuah pengingat bahwa dalam setiap langkah, kebaikan dan sikap positif adalah elemen yang tidak boleh dilupakan. Ini menjadi pesan dari pohon Asam Jawa sebagai simbol moral yang dapat menginspirasi kita untuk hidup lebih baik dan mengedepankan perilaku menyenangkan di tengah kehidupan yang serba cepat dan penuh tekanan.
Dalam folklore yang bertebaran, pohon asam Jawa dianggap sebagai tempat tinggal makhluk malus. Mitos ini yang membuat masyarakat tradisional menghormati keberadaanya. Masyarakat percaya bahwa pohon-pohon besar, seperti Asam Jawa, adalah tempat bersemayamnya makhluk halus, seperti pocong atau kuntilanak. Kepercayaan ini sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional, di mana mereka akan menghormati pohon tersebut sebagai bagian dari dunia gaib yang memiliki kekuatan mistis. Mitos-mitos ini bukan hanya berfungsi untuk memberikan rasa takut atau hormat, tetapi juga menjaga agar pohon-pohon besar seperti Asam Jawa tetap dilindungi. Dengan menganggap pohon ini sakral, masyarakat secara tidak langsung menjaga kelestariannya dan menghindari penebangan pohon yang tak terkendali.
Kini, mitos ini perlahan memudar. Pohon Asam Jawa yang dulunya dianggap "bertuah" kini sering dipandang dengan skeptis, bahkan digantikan oleh tanaman lain dianggap lebih "estetik." Ketika kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya semakin padat, menjadikan ruang hijau berkurang, pohon Asam Jawa sering kali ditebang demi memberi ruang bagi pembangunan.
Dulu, Belanda menebarkan benih-benih Asam Jawa di pinggiran jalan Aceh Besar, Kota Banda Aceh, dan Sabang. Melansir dari kediripedia.com pohon asam itu sengaja ditanam sebagai peneduh jalan. Padahal jika dibayangkan sekarang, di sudut kota ada pemandangan yang membawa kesegaran, Pohon Asam Jawa berdiri tegak di sepanjang trotoar, memberi naungan dan mengubah suasana panas menjadi lebih sejuk. Menciptakan ruang teduh bagi mereka yang melintas untuk beristirahat sebentar.
Namun, cerita itu kini perlahan terlupakan. Pohon-pohon tua seperti asam semakin jarang kita lihat di tengah kota. Pohon yang memiliki batang berkambium, berumur lama, dan cocok di iklim tropis, mereka kalah oleh beton dan aspal, oleh gedung tinggi yang terus menjulang. Di sinilah letak dilema besar, apakah kita harus sepenuhnya meninggalkan mitos-mitos ini demi kemajuan, atau justru memaknainya dalam konteks baru yang lebih relevan untuk keberlanjutan lingkungan dan pelestarian KEHATI?
Eksistensi Pohon Asam Jawa saat ini
Pohon Asam Jawa adalah simbol penting dalam pelestarian KEHATI, yang mengingatkan kita bahwa kehidupan dan alam bisa berjalan beriringan, bahkan di tengah kesibukan kota modern. Generasi muda, yang tumbuh dengan dominasi teknologi dan urbanisasi, semakin kehilangan hubungan dengan alam dan warisan budaya yang mengitarinya. Banyak dari mereka bahkan tidak mengenal pohon asam sebagai bagian dari lingkungan sekitar mereka.
Keberadaan pohon Asam Jawa di trotoar kota memberikan lebih dari sekadar keteduhan. Di tengah kota-kota yang semakin panas akibat perubahan iklim dan fenomena urban heat island, pohon seperti Asam Jawa berperan sebagai penyelamat. Tajuknya yang rindang mampu menyerap panas, menurunkan suhu di sekitarnya, dan membuat trotoar lebih nyaman untuk para pejalan kaki. Namun, di mana keberadaan pohon Asam Jawa di masa kini?
Meskipun peran ekologisnya sangat penting, keberadaan pohon Asam Jawa di kota-kota besar semakin terancam. Di tengah bangunan tinggi dan trotoar yang padat, pohon-pohon ini sering kali tergeser demi pembangunan yang dianggap lebih "modern." Eksistensi Asam Jawa mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan. Menjadi pengingat bahwa kota modern tidak harus melupakan akar tradisinya. Sebaliknya, tradisi bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan kota yang inklusi dan berkelanjutan.
Di kota-kota besar seperti Yogyakarta, pohon asam Jawa memiliki makna yang lebih dalam. Di sepanjang sumbu filosofi kota, pohon ini tumbuh kokoh, menghubungkan masyarakat dengan tradisi dan filosofi lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Ia bukan hanya penghijauan di tengah beton dan aspal, tetapi juga penjaga nilai-nilai kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya harmoni antara manusia dan alam.
Melirik kembali Asam Jawa
Kabar terbarukan terdengar dari kota pendidikan yakni Malang. Upaya pemerintah Kota Malang yang diinisiasi oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk menanggapi persoalan musim penghujan yang rawan dengan pohon tumbang. Mereka merencanakan penanaman sekitar 9.000 pohon di tahun 2025. Di mana, akar pohon-pohon tidak sanggup menahan derasnya hujan angin yang melanda Malang. Dalam rentang waktu November hingga Desember 2024, tercatat 1 pohon tumbang dan 3 dahan yang patah meninggalkan batangnya.
Ternyata, pohon Asam Jawa mulai dilirik kembali. Menurut penuturan Laode KB Al Fitra, Kabid RTH Kota Malang dalam lentera.com menjelaskan bahwa Asam Jawa memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap cuaca ekstrem. Di sisi lain, pohon ini terbukti efektif dalam mengurangi emisi karbon. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Samsoedin (2015), membuktikan bahwa pohon Asam Jawa memiliki kemampuan luar biasa dalam menyerap polutan, termasuk logam berat timbal (Pb). Pohon Asam Jawa tercatat dapat menyerap polutan hingga 0,0856 g/cm.
Pohon Asam Jawa mengajarkan kita bahwa menjaga keberlanjutan lingkungan bukanlah hal yang hanya bisa dicapai dengan teknologi atau kebijakan semata. Dalam setiap helai daunnya, terdapat pelajaran yang harus kita simak. Sudahkah kita memberikan ruang bagi alam untuk tumbuh di dunia yang kita pijak bersama?