Akan tetapi, kenyataan di lapangan mendorong saya menarikan jari lagi. Kiriman kabar kegiatan Mas Mahbub di lapangan terkini.
Pada hari yang sama ketika saya mengunggah tulisan, sore hari istrinya melaporkan bahwa akan berangkat ke Sitiarjo. Daerah kantong Kristen yang pas bertetangga dengan desanya. Daerah terparah yang terapar banjir, dengan kawasan rumah tenggelam paling banyak.
Lepas sholat asar dia lakukan itu. Akan berangkat menyalurkan bantuan untuk saudara-saudara sebangsa se tanah air. Terlihat di depan mata, jerit deritanya sampai di telinga. Ini yang membuatnya terdorong melakukan sesuatu. Hanya menolong, semampu yang dimiliki, meski pada keadaannya dia juga tidak lebih baik dari saudara Kristiani di Sitiarjo.
"Daerahnya parah, sulit mendapatkan bahan makanan, akses putus, ada tanah longsor yang menghalangi distribusi," begitu disampaikan istrinya kala menulis chat alasan harus ke sana.
"Sekarang beliau sedang meluncur ke Basis Kristen, Sitiarjo, Rowo Terate bersama rombongan relawan, jalan agaknya terhambat karena ada longsor, pangestunipun," tulisnya mengabarkan.
Sebuah perjuangan berat untuk sampai ke lokasi, tidak mudah mengingat medan berlumpur yang harus ditempuh. Ada akses naik perahu sebetulnya, namun susah juga mengingat waspada terhadap banjir susulan yang kemungkinan besar masih bisa terjadi.
"Kami harus salurkan bantuan, daerah mereka terisolasi. Kami kuatir kesehatan mereka menurun karena kondisi tubuh yang lemah kurang makan," jelasnya.
Dia mengkhawatirkan perut saudara tetangganya. Sehingga bantuan pangan yang dia peroleh dari sumbangan pula diantarnya sendiri dengan relawan-relawan yang setia mengikuti langkahnya.
Apa yang dilakukan mengusik kemanusiaan ini, masihkah mungkin memilih memilah siapa yang akan diberi? Sementara pada jarak sekedipan mata ada yang melolong minta tolong.
Tidak bisa, pilihannya hanya menyelamatkan yang terdekat, nyawa itu, perut itu butuh uluran, kalau memilih maka ada kemungkinan korban jatuh tanpa ada sebuah upaya melakukan sesuatu. Kejam sekali diri yang berlaku begitu.
Pada yang bertanya saya katakan, urusan perut, urusan nyawa harus sat set. Termasuk penyaluran bantuan. Saya tak mau berlama menggalang. Berapapun yang ada langsung saya transfer, saya salurkan. Terserah mereka mau dipakai apa, terpenting dana terkirim dan mereka bisa gunakan itu untuk membeli aneka kebutuhan.
"Relawan itu gak ada matinya, dia pasti punya cara mencairkan dana untuk membeli kebutuhan," pikir saya ketika berkecamuk bayangan kesusahan belanja di kota.
Kalau menunggu saya turun bakal lama, tidak efektif dan efisien pula. Apalagi cuaca masih membahayakan, kondisi jalan juga menyulitkan untuk saya terjun sendiri. Percaya pada mereka, yakin mereka bisa mengatasi kesulitan medan untuk belanja kebutuhan dan menyalurkan bantuan.