Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Ritual Pagi "Emak", Sekolah Hati yang Terus Kuikuti

6 Desember 2020   22:15 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:16 178 29

"Nduk, sisa nasi taruhlah di sarangan. Jangan dibuang."

Begitu selalu yang dikatakan perempuan sepuh penemanku menghabiskan sendiri di rumah suami itu. Menjadi "anak"nya selama lebih dari 20 tahun menjadikanku kenal betul dengan pesan yang tersirat maupun yang tersurat dari lisannya.

Pagi adalah hari piket tanpa libur untuk perempuan-perempuan sepertiku. Membereskan rumah hukumnya wajib agar kalau keluar untuk bekerja sudah tak ada tanggungan diselesaikan. Mencuci piring, pakaian dan bersih-bersih rumah. Rutinitas yang kalau diabaikan berdampak pada kepikiran, mengganggu konsentrasi pekerjaan.

Memasak kadang kulakukan, bila emak sedang berhalangan, misal sakit atau bepergian menengok saudaranya. Tetapi lebih sering tidak, karena memasak merupakan kesukaan emak. Dia merasakan gairah suka bila bergumul dengan dapur, merasa bahagia bila aku makan lahap.

Sering orang berkomentar, "Enaknya jadi mantu kesayangan, gak pernah masak."

Tak perlu kujelaskan pada yang berpandangan demikian. Aku memang kesayangan, bagaimana tidak? Akulah satu-satunya menantu, suamiku anak tunggal hingga ibu kandungku rela memberikan aku kepada emak.-- begitu kupanggil beliau--.

Itu yang terjadi lewat seribu hari lalu, saat suamiku berpulang. Emak meraung di pelataran kamar jenazah, meminta meronta pada ibuku agar tak membawaku pulang ke rumah bapak-ibu kandungku, yang dulu menyerahkanku pada suami untuk dinikahi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun