Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Mengagumi Muthiah Alhasany, Potret Kesalihan Perempuan dalam Ritual dan Perjalanan

30 April 2020   05:25 Diperbarui: 30 April 2020   16:42 262 42
Saya datang, duduk paling depan, jejer dengan Dr.Posma. Fokus acara, lupa bahwa saya datang untuk keinginan berkenalan, berpelukan dengan Kompasianer lain. Yang sudah malang melintang di jagat Kompasiana lebih lama dari saya. Termasuk sosok Muthiah Al Hasany, Kompasianer yang ketika saya tulis tengah memperingati satu dasawarsa kebersamaannya dengan Kompasiana.

Satu rekor yang terbilang wah, untuk sebuah kesetiaan. 10 tahun itu lama, konsisten di satu tempat, betul-betul potret istiqomah yang patut diteladani. Saya mengagumi, tentu saja. Sebagai sesama perempuan, sebagai orang yang kagum pula terhadap tulisan-tulisannya.

Bukan style yang sedang saya bicarakan, apalagi kualitas tulisan. Mbak Muthy menawan, itu tak diragukan.  Untuk non fiksi maupun fiksi, mengalir dari paragraf awal hingga akhir. Saya suka membaca ulasannya, opininya juga cerpen- cerpennya. Lugas, bernas.

Dibalik tulisan. Ada sesuatu yang saya catat dari seluruh kisahnya ketika perjalanan. Istiqomah beribadah. Jangankan yang wajib, sunnah pun rutin. Ini membuat saya sungguh salut padanya. Kalau tidak sedang dalam situasi sibuk saya memaklumi, tapi perjalanan, sesuatu yang langka bisa melakukan, termasuk saya.

Perjalanan ke Turki, hal yang saya sukai dari episode travelling seorang Muthiah Al Hasany. Daratan selain Makkah Al Mukarromah yang ingin saya datangi. Sebagai muslim saya menyukai kebijakan pemerintahannya yang terang-terangan pro muslim. Terutama untuk solidaritas ukhuwah Islamiyah, menampung muslim Rohingya salah satunya.

Maka, kalau saya kemudian suka membaca catatan perjalanannya ke Turki, kebijakan Turki, bahkan sampai cerpen dengan latar belakang Turki, tak lain karena saya memang suka Turki.

Menelaah perjalanan mbak Muthi, bukan hanya kagum pada catatannya saja, juga pemaparan lewat tulisan tentang banyak hal namun juga cara dia tetap istiqomah mendekat pada Tuhan. Dia potret keshalihan perempuan Indonesia yang bisa menjadi citra baik negeri ini di mata luar negeri

Tertegun mata ini ketika mendapati kalimat ada orang Turki sampai meminta doa padanya, karena tahu dia sedang puasa sunnah. Hal yang menunjukkan kualitas ritual luar biasa terhadap ibadah agamanya. Belum lagi shalat tahajjud rutin yang ini kalau tidak terbiasa sangat sulit melaksanakannya. Apalagi di negeri orang. Dalam perjalanan, dimana rukhsah, atau keringanan bisa didapatkan atas ibadah muslim yang wajib dilakukan.

Cintanya pada penciptalah yang menurut saya mendorong melakukan itu. Saya tertampar oleh sebuah percakapan dua arah di grup Whatsapp awal puasa lalu. Dia, meskipun di luar negeri selalu bisa mengkhatamkan Alqur'an, sedangkan saya?

Sibuk dunia atau nafsu memburu kepentingan dunia rupanya melenakan saya dari rutin membaca kalam Tuhan.

"Alah bisa karena biasa. Sesibuk apapun aku bisa khatam setiap tahun.Bahkan juga ketika traveling keluar negeri, masih sempat baca Kalam Allah." Tutur mbak Muthi tentang kebisaanya itu.

Masya Allah, kalimatnya membuat saya bercermin. Ada apa dengan diri ini? Jauh punya kesempatan waktu luang dibanding dia yang sedang dalam fokus mengerjakan sesuatu, tapi saya tak bisa istiqomah, rutin melantunkan kalamNya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun