Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Artikel Utama

Jangan Panggil Aku Pelacur!

7 Juni 2011   17:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:45 2315 25
[caption id="attachment_115017" align="aligncenter" width="640" caption="Gbr: Googleimages"][/caption] Tuhan itu Adil!

Teriak batinku yang tersayat malam itu. Ketika pertama kali dalam hidupku aku merasa sangat terhina. Ketika tubuhku terjamah oleh manusia pemburu nafsu kebrutalan. Tercabik oleh pemuas ladang kebejatan.

Aku marah!

Aku sangat marah!

***

Kepergian Ibuku menjadi TKW ke Arab Saudi tak seberuntung lek Nuryati, Budhe Katiyem, atau mbak Jumiati, tetangga rumah yang sukses dengan gelimang harta. Membawa berjuta pundi-pundi real ke dalam Kantongnya. Atau mereka membangun rumahnya dengan bangunan yang kokoh serta megah. Keinginan Ibuku sebenarnya tak muluk-muluk. Sangat sederhana. Hanya ingin mengembalikan hutang kepada tetangga kanan-kiri, itu saja!

Operasi kanker yang diderita Bapak dalam rentang dua tahun ini, menghabiskan banyak sekali biaya. Apalagi keluarga kami adalah keluarga dalam taraf ekonomi biasa saja. Sangat biasa. Bapak bekerja hanya sebagai tukang becak. Mereka menyebut singkat tentang pekerjaan Bapakku dengan sebutan ‘hanya’. Tetapi tidak denganku. Aku menyebut Bapak adalah kebanggan dalam keluarga kami. Dari peluh siang dan malamnya lah aku beserta Ibu dapat menikmati syukur ketika sesuap nasi serta sesruput air teh manis itu menjulur merayapi kerongkongan kering kami. Dari peluhnya lah aku bisa merasakan mengenakan baju baru, walaupun itu harus menunggu lebaranmenyapa. Setahun sekali pun tak mengapa, aku bahagia!

***

Kepulangan Ibuku dalam waktu yang sangat singkat sama sekali tak kami duga sebelumnya. Dulu, si mbok sering mengisyaratkan apapun melalui mimpi. Dan mungkin itulah firasat yang telah Tuhan berikan kepada keluarga kami. Bapak yang saat ini dalam keadaan lemah terbaring tanpa daya di ranjang kayunya, bermimpi kalau giginya bagian atas telah tanggal. Tetapi Bapak hanya diam malam itu. Ia mencoba tak mempercayai mitos Jawa yang telah bertahun-tahun dipakai oleh si mbok.

***

Hanya dengan waktu satu tahun, Tuhan telah membuat skenario tak lagi sama. Ibuku pulang dalam keadaan pucat pasi, membeku dalam suntikan obat yang membuat tubuhnya kaku. Terbujur dingin dalam peti berwarna cokelat mengkilap. Selembar surat dengan tanda tangan dan stempel orang berseragam itu menjadi pengatar kepulangannya Senin sore ketika hujan mengguyur kampung kami. Mereka berkata, kalau Ibuku terjatuh dari lantai 14 sewaktu sedang mengelap jendela di tempat kerja ia tinggal. Bapak, aku dan si mbok hanya bisa diam. Tangis kami tak bisa menggantikan keterangan surat pengantar ataupun mengembalikan jiwa yang telah hilang. Sangat singkat dan sederhana. Ibuku pergi dalam niat tulus yang dia rancang demi keluarganya. Tetapi ternyata Tuhan telah mempunyai kehendak lain untuk Ibuku. Untuk aku, Bapak dan si mbok.

***

Jam 11 malam, kukenakan pakaian berwarna merah jambon sebatas dada itu. Ku oleskan gincu merah marun ke lapisan atas dan bawah bibirku. Kubedaki pipiku dengan taburan bedak yang telah ku semai dengan rapalan mantera dari mbah Jadi, dukun di belakang rumahku, agar tamuku bisa ketagihan dan datang lagi padaku. Sepatu ber-hak tinggi warna sepadan baju menemaniku. Dan tak lupa ku biarkan rambut ikalku yang sepunggung tergerai, ke samping kiri-kanan mengalunkan tarian bersama desahan angin malam. Sama seperti diriku yang hanya me-lakonkan alur kehidupan.

Di Pasar Wage aku mangkal malam itu. Di dekat warung Pak Karto mereka biasa menemuiku. Lelaki hidung belang saling kelayapan ketika malam mulai mengintip fajar. Di dekat terminal, suara musik dari alunan pedangdut jalanan berhenti seketika.Ia bertanya kepada lingkaran beberapa pasang mata lelaki yang sedang mengitari serta mendengarkan suara yang sama sekali tak merdu itu. Permintaanlagu dituruti dengan desalansaweran tangan yang menjulur nakal ke arah buah dadanya.

Kering sudah rasanya air mataku

Terlalu banyak sudah yang tertumpah

Menangis meratapi buruk nasibku

Nasib buruk seorang tunawisma

Langit sebagi atap rumahku

Dan bumi sebagi lantainya

Hidupku menyusuri jalan

Sisa orang yang aku makan......

Jembatan menjadi tempat perlindungan

Dari perih matahari dan hujan

Begitulah hidup yang aku jalani

Entah sampai kapan hidup begini....

Lagu kawakandari sang raja dangdut memulai pesta malam itu, dengan desahan serta gerak manja penyanyinya. Malam itu semua insan pemburu syurga dunia larut dalam suka. Sederhana. Mereka hanya ingin bahagia, dan menikmati hidup. Senyum yang tidak terlalu ikhlas ku simpulkan ketika mataku kembali menemukan wanita muda itu menggeliat oleh saweran beberapa lelaki.

Sementara aku, di sini. Bersaing dengan beberapa wanita remaja lainnya. Atau bahkan juga mereka, para waria. Menunggu si hidung belang. Sambil melontar umpan.

Sekali lagi.

Jangan panggil aku pelacur!

Keinginanku hanya sederhana, sesederhana Tuhan membuat Ibuku berpulang. Aku hanya ingin makan!

Jaga lelakimu, jangan salahkan aku jika mereka mencariku untuk ke sekian waktu!

Mengingat malam itu, di Pasar Wage Tulungagung aku mengenalnya.

Ani 01.27 am

HK-080611

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun