Konon, wanita itu terlalu cantik untuk disebut sebagai seorang wanita. Banyak orang menyebut dirinya adalah jelmaan putri raja. Keturunan darah biru. Bahkan cerita yang lebih menggemparkan yang sempat kuingat adalah ia sangat sempurna. Bentuk nyata penuh kharisma yang selalu dipuja kaum Adam. Rambutnya panjang terurai menyapu tanah. Senyumnya menggetarkan setiap degup jantung yang sudah enggan berirama. Aroma tubuhnya bukan hanya wangi, tetapi mungkin inilah aroma surga yang banyak diimpikan setiap insan. Wajahnya? tidak usah diragukan lagi, air liur lelakipun akan terasa sangat sayangtertelan jika ia memunculkan keberadaanya.
Arum!!!
Mereka menyebutnya. Ia mulai membuat heboh kembali di kampung kami. Setelah kemunculannya kembali semenjak hari ke-tujuh kematiannya yang misterius. Warga Hulu Karam, tak lagi setenang dulu. Keheningan beberapa puluh tahun yang lalu, seakan terpoles oleh kanvas berwarna hitam yang terus memburu dinding pelabuhan. Kembang desa itu tak lagi ada. Ia hilang dari tatapan, tapi tak lenyap di peradaban. Tak ada yang tahu kejadian malam itu. Malam dimana terjadi pembantaian oleh orang misterius yang menghabiskan seluruh keluarganya . Tak ada jerit, tak ada tangis, juga ratapan yang terdengar.
Tanpa ampun, mereka membuat semuanya sama sekali tak tersisa. Pak Budiman beserta istri terkapar di kamarnya dengan beberapa puluh tusukan pisau yang menganga. Darah segar mengucur, bak kran air yang rusak termakan karat. Arum, kembang desa itu tak kalah tragis dari kondisi orang tuanya. Ia ditemukan tergantung dengan lidah yang menjulur dari dalam kamarnya. Bajunya terkoyak oleh jamahan tangan setan yang tak kenal tata krama. Tak ada yang tahu ulah siapa itu?
Misteri!!!
Semua orang diam penuh tanya. Misteri terbungkus trauma yang menjulurkan cerita baru ke dalam sebuah babak kehidupan berikutnya.
Brakkkk!!!!!!!
Tok..tok..tok....
To...tok...tok...
Tok...tok...tok...
Pintu kayu rumahku seperti ada yang mengetuknya. Semakin cepat ia mengetuknnya, dan semakin cepat lagi. Guncangan dari badan yang sembari ia sandarkan pada daun pintu tua itu, membuat bunyi engsel yang sudah tak lagi perawan terdengar riuh merajai sepinya malam.
“Mbak...buka pintunya!”
“Mbak...cepet mbak!”
Suara Aryani, adik lelakiku terdengar parau. Nafasnya terdengar jelas saling berburu diantarabuliran keringat yang membuat basah kaosnya. Ia nampak pucat sekali.
“Ada apa Yan?”, teriakku jengkel sembari menutup pintu.
Hhhhh...hhhh...hhhhh....
Nampak ia berusaha mengatur kembali nafasnya yang tak lagi normal terkendali. Segelas air hangat dari tanganku setidaknya membuatnya kembali mereda ketengangan.
“Mbak..mbak.., eh...aku nggak mimpi kan?”
Iyan bertanya kepadaku sembari menampar sendiri mukanya. Sekali, di pipi kanan. Dua kali di pipi kiri. Ia nampak aneh sekali. Ia diburu oleh rasa takut yang sangat tak terkendali. Dan ini, baru kulihat pertama kali pada dirinya.
Tuturnya, ketika ia melintasi gang enam lima, Iyan mengaku kalau bahunya dipukul dari arah belakang. Ketika ia menoleh, tak ada satupun orang yang sedang mengikutinya. Dibiarkan saja, namun hal yang sama kembali terulang. Pukulan di bahunnya terasa lebih keras dari sebelumnya. Bau anyir seketika menyengat mengikuti tarian angin malam yang menyusup di dua sela pernafasannya. Kaki yang ia andalkan untuk berlaripun, terasa terpatri oleh lekatan lem yang menempel pada dasaran tanah pasir yang sedang ia pijak.
***
Penduduk Hulu Karam percaya tempat tinggal para hantu disebut tempat angker atau sanget. Dan tak ubahnya, Masjid adalah tempat yang dianggap bersih serta suci. Adanya pantangan atau pamali masih dipercaya dan diyakini dengan taat. Terutama menyangkut kehidupan dan aktifitas sehari-harinya.Walaupun bukan merupakan peraturan tertulis, namun penduduk Hulu Karam tetap menjungjung tinggi tradisi kampung ini. Pada hari Suro, daerah yang sudah dianggap didiami para hantu tersebut, selalu tak lupa untuk tetap di beri sesajen. Hal ini menurun dari generasi ke generasi yang tak tahu siapa pemulanya.
Sementara, kondisi Iyan kembali normal. Ia nampak biasa saja, seperti semula. Namun, petang itu. Kamis Legi jam 21.00 setelah Iyan masuk rumah dan memarkir sepeda motornya, ia duduk terdiam di kursi rotan. Tak orang yang ia sapa seperti biasa kepulangannya. Tiba-tiba ia menjerit histeris sambil berkata,
”Jangan ganggu aku. Pergi...!”
“Pergi...!”
Nafasnya naik turun, Iyan terpental ke tanah.
Hhhhhh...hhhhhhhhhh...hhhhh....
“Tolong....!”, teriakku.
Semua tetangga berdatang malam itu. Rumah kami ramai seperti kondangan pada gelar hajatan. Iyan tersungkur dengan badan yang semakin kaku. Empat lelaki dewasa berusaha mengitari tubuhnya, agar ia tak terlepas dan berusaha lari. Iyan menggerang dengan cerocos mulut semakin tak menentu, Matanya tertutup rapat, tetapi masih sama dengan tenaga yang tak kalah kuat. Sesekali saja mata itu terbuka, ia langsung memelototi siapa saja yang berada di sekitarnya.Ketakutanku tak dapat aku sembunyikan. Memaksaku untuk bersembunyi dari tempat dimana Iyan masih terkapar. Dari bibirnya, ia menerocos lagi tak karuan. Suaranya berubah seketika, mimik manja tersungut dari arah senyumnya.
Perempuan? Ha...?
Semua orang bertanya-tanya, siapa perempuan yang merasuki tubuh Iyan saat ini?
“Sakit....sakit...”
“Antarkan aku pulang...!”
Hhhh...hhhh...hhhh...
“Aku ingin pulang...!”, Iyan tetap mengomel tak tentu arah dengan suara perempuan yang terdengar.
Dadaku berdesir halus, sangat halus bahkan dari halus kelembutan sutera. Aku takut, semakin takut.
“Duh...Gusti?”
***
Dengan siaga, ternyata kang Yanto, tetangga kami telah menghubungi seorang ustadz dari desa sebelah. Dengan dilantunkan ayat suci, tubuh Iyan mengoyak lebih dasyat di genggaman para lelaki disekitarnya. Matanya terlihat membuka lebih lebar dari sebelumnya. Nafasnya saling menguber, berburu. Tubuhnya nampak lunglai.
“Hahhhh..pergi kau!”
“Panas...!”
“Panas...!”
“Panas...!”
“Kalau tidak, akan kupanggilkan semua teman-temanku!”
“Arrrgggghhhhhhhhhhhhhhhhhhh.................!!!”
***
Dari cerita ustadz itu, dapat terungkap bahwa makhluk halus itu berasal dari Pohon Mangga yang berada di pekarangan belakang teras rumah Pak Budiman. Dan disarankan agar Pohon Mangga itu segera ditebang, tanpa menundanya.
“Harus sekarang Pak Ustad?”, tanya kang Yanto.
“Iya kang.”
“Gak bisa besok ya Pak?, kan sudah jam 1 malam?”
“Tidak bisa kang!”
Dengan keberanian yang setengah-setengah, akhirnya kang Yanto ditemani lima lelaki lainnya bergegas ke tempat yang dituju. Nampak dari kejauhan, Pohon Mangga itu berbuah sangat lebat. Setelah memasuki pekarangan depan rumah pak Budiman, dan berlanjut menuju teras belakang, langkah mereka terhenti seketika. Sosok bayangan putih nampak jelas sedang duduk tertunduk di bawah Pohon Mangga tersebut. Bau kembang kamboja menyengat searoma malam yang semakin kelam. Wanita itu tersenyum pucat.
Kang Yanto dan beberapa lelaki lainnya hanya bisa terdiam. Berdiri kaku seperti seonggok batu.
“A....A....A.....Arrrruummmmm?”, pekik lirih terdengar dari kerongkongan suara kang Yanto yang nampak asat.
“Kang.....antarkan aku pulang?.”, suara Arum terdengar sambil mendesah, memenangakan ketegangan malam bersama lelaki yang sedang ketakutan.
Arum mendekat dengan cepat. Ia tak berjalan, bukan pula terbang. Menghilang. Yach, ia begitu cepat menghilang tepat di depan tatapan mata kang Yanto. Asap putih dibarengi hembusan angin turut menyusup ke raut mukanya. Dingin.
Warga Hulu Karam geger kembali. Terdengar kabar bahwa kuburan Arum ditemukan berlubang. Mayat Arum menghilang!
Hidup ini sudah ada yang mengatur. Sebagaimana perbedaan kepercayaan, ia juga sama.
Ingin ikut meramaikan hari fiksi kompasiana, tapi telat friends....sorry...