Tamrin, orang kepercayaannya, telah memberikan laporan terakhir menyangkut persiapan keberangkatan. Rombongan telah menyiapkan 73 buah kapal, 787 ekor unta, bagal dan keledai untuk bekal di perjalanan, dengan mengangkut emas, perak, safir dan batu mulia lainnya, kayu ebony, rempah-rempah dan mebeler untuk dihadiahkan kepada sang raja.
Ia telah menyatakan secara resmi sebelum berangkat, dan memperoleh tanggapan tulus, rakyat memahaminya, tak ingin rasanya ia melupakan. “Kerajaan tidak bisa berdiri sendiri tanpa kebijaksanaan, harta kekayaan tak bisa dipertahankan, semua tidak ada artinya tanpa kebijaksanaan, tetapi barang siapa memperolehnya, kebijaksanaan itu melindungi dirinya, tempat kita mencari perlindungan, memberikan kekuasaan dan kekuatan. Marilah kita mencari, dan menemukannya, menyintai, dan kita akan menerima dan berpaling ke arahnya dan untuk tidak melupakannya.” Sebagai balasan, ia mendengar sendiri maklumat para bangsawan, budak-budak serta dayang-dayang serta penasehat-penasehatnya dihadapannya, “O, Bunda Maria, seperti kebijaksanaan yang tak kurang ada padamu, dan itu adalah buat dirimu memperhatikan kebijaksanaan. Dan untuk kami, jika engkau pergi, kita akan pergi dengan engkau, dan jika engkau duduk dibawah kita akan duduk bersama engkau. Kematian kita adalah kematianmu, hidup kita adalah hidup denganmu.”
Tidak ada yang dirisaukan lagi. Meskipun ia seorang wanita, ia adalah seorang ratu, kehadirannya tidak semata pribadi seorang wanita yang datang mengunjungi seorang laki-laki, melainkan dirinya mewakili bangsanya. Hasratnya makin tak terbendung, ada yang terus bergolak dalam jantungnya. Semua yang didengar selama ini bahkan menambah hasratnya tak terbendung. Benarkah dia, seorang raja yang begitu bijaksana, segala keputusan yang dia ambil membuat rakyatnya taat melaksanakannya ? Makin membuat negerinya tenang dan tentram, mendirikan pengadilan yang adil, berbicara di depan rakyat dengan kekuatan otoritas dan wibawa. Raja muda dari tanah Israel dan belum mengambil istri itu dikabarkan seorang lelaki yang cakap, memiliki suara lembut meluncur dari bibirnya, acap kali perintahnya cukup dengan isyarat tubuhnya, tingkah lakunya mencerminkan seorang yang bajik.
Kakinya melangkah dengan agak bergetar. Hampir saja air matanya jatuh, negerinya telah lepas dari bayangannya. Dalam perjalanan, ia merenung. Mungkin ia akan menangis didepannya, atau terhenyak berlama-lama, atau berdiri terpaku tanpa daya. Yang pasti ia menyadari, sebagai ratu mesti tampil didepan siapa pun sebagai seorang kepala pemerintahan, apalagi di depan sesama raja. Tetapi pertemuan kali ini, yang akan segera dialami, bukan semata urusan kenegaraan. Kepentingan pribadinya menohok–nohok untuk didahulukan. Bagaimanapun ia tetap pada pendiriannya, bahwa kepergian kali ini, satu-satunya adalah menimba kebijaksanaan. Hal itu yang lebih mengundang hasratnya selama ini.
Ia adalah Ratu Sheba, pemimpin bangsa Ethiopia yang ingin memiliki kebijaksanaan seperti itu, untuk diberikan kepada rakyatnya, diberikan kepada bangsanya, agar bangsanya dalam keadaan damai dan sejahtera. Ia telah sampai pada kesimpulan, menghormati kebijaksanaan adalah menghormati orang bijak, penuh kasih kebijaksanaan adalah penuh kasih pada orang bijak. Ia ingin seperti itu. Hal itu yang paling kuat, bahkan hingga tidak memikirkan dirinya sendiri, selama 6 tahun memerintah tanpa seorang pendamping disisinya.
Dingin angin malam yang menggigit, badai gurun yang kering, terik siang yang menyengat, cukup sudah menghantarnya. Ia telah tiba kini, istana raja telah mengepungnya. Raja tentu benar benar ramah, dia pasti berbaik hati, nampak dari persembahan diperuntukkan kepadanya. Ia ditempatkan di sebuah apartemen mewah disamping istana, hidangan buah-buahan, kain sutra linen, permadani, 11 tukang cuci setiap hari, 350 orang pelayan, 45 sak tepung, 10 ekor sapi, 5 ekor kerbau, 50 ekor domba, kambing, rusa, gazelle dan ayam, lalu madu dan anggur, belalang goreng, permen kaya, dan 25 penyanyi laki-laki dan perempuan. Hadiah-hadiah bagi sang raja yang dibawanya pun telah diserahkan.
Kini laki laki itu berada dihadapannya, menebarkan pengaruh wibawa, ditatapnya dengan tegar, inikah seorang raja dan seorang Nabi. Dialah Sulaiman yang beritanya tak pernah bosan hingga di telinganya, hingga ke negerinya yang berjarak 1400 mil dari Yerusalem. Sulaiman dengan ramah menunjukkan kebun dan taman-taman bunga di istana dengan dilengkapi air mancur dan kolam ikan. Ratu Sheba banyak menemukan bunga langka, kagum dengan kemegahan candi candi dan arsitektur bangunan pemerintahan Sulaiman. Singgasana yang terbuat dari kayu cendana dengan tangga bertingkat tujuh dengan berbalut emas dan batu mulia. Tampak di bagian istana sebuah baskom sangat besar terbuat dari kuningan, ditarik 12 ekor lembu, melambangkan duabelas bulan dalam setahun. Sulaiman nyata seorang ahli astronomi, Sheba diajarkan apa yang disebut dengan Batas Solomon, sebuah teori penanggalan yang menetapkan adanya penambahan satu bulan dalam sembilas belas tahun.
Semua tidak salah dengan yang didengarnya selama ini, orang yang dia kagumi telah berada dihadapannya, cakap dan tampan. Semuanya menjadi pantas, bahkan lebih dari beritanya. Tetapi masih saja belum cukup. Perjalanan 6 bulan bukan waktu yang sebentar, ia tak mau menyiakan kesempatan ini. Ia harus mencapai tujuan. Ia harus pastikan bahwa Sulaiman yang ada dihadapannya saat ini benar-benar seorang yang bisa ia harapkan.
Ia telah mengutarakan maksud kedatangannya kepada raja Solomon itu, sambil melemparkan puji-pujian, bagaimana sang raja dan seorang Nabi begitu bijaksana. Tidak aneh bagi Nabi Sulaiman mendengarnya, selain bisa membalas dengan rendah hati, bahwa semua itu datang dari Allah. Ratu Sheba mulai terkesan dan mulai mengenal Allah Israel. Allah, tuhannya orang Israel, bukan seperti tuhannya yang setiap pagi muncul dari timur menerangi bumi. Perbedaan itu menjadi bagian yang menarik, dari sekian banyak pandangan-pandangan sang Nabi yang ingin ia ketahui.
Sejak hari pertama bahkan sebelum ia meminta, Sulaiman telah mengajaknya berdialog dan berdiskusi; membawanya berjalan-jalan, melihat sudut-sudut Yerusalem. Perihal perihal yang besar tentang politik dan pemerintahan, kehidupan, tentang makna hidup, pengertian damai dan perang, hubungan antara roh dan tubuh, rahasia kematian dan keabadian, seksualitas, perbedaan pria dan wanita, sistem ekonomi, mengenai pasang surutnya bulan, Asma dan Sifat-sifat Allah. Nabi Sulaiman sepakat untuk membahas semua itu, bahkan menunjukkan sikap yang menyenangkan, dengan kepiawaian diplomasi yang tinggi.
Ratu Sheba memperlihatkan minatnya, betapa ia suka cita atas kesediaan raja Solomon. Tetapi bagaimana membahas perihal besar tanpa menjajagi pikiran-pikiran kecil, sebuah dialektika berpikir seseorang. Ia merasa perlu menyelami kecerdasan dan kecerdikan Nabi Sulaiman, apakah benar raja Israel ini pribadi yang memiliki wawasan yang luas dan seorang filosof. Dalam beberapa hari Ratu Sheba mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak mudah.
Di hari hari pertama, langkahnya masih berjarak. Disamping sang Nabi, ia melontarkan bahan pembicaraan lebih sebagai seorang ratu. Ia menyelipkan pertanyaan tidak resmi di antaranya. “Sebenarnya apa yang dimaksud sebuah kandang dengan 10 pintu; satu pintunya terbuka, 9 pintu tertutup, ketika 9 terbuka, 1 pintu terbuka ?”
Nabi Sulaiman dengan ringan menjawab, “kandang adalah rahim. Sepuluh pintu adalah 10 lubang pada manusia : 2 lubang mata, 2 lubang hidung, 2 lubang telinga, mulut, pusar, anus, lubang urine. Ketika seorang anak masih dalam kandungan, pusarnya terbuka terhubung dengan ketuban, sedang 9 lubang tertutup. Ketika si anak telah lahir dan tali pusarnya putus, 9 lubang pada dirinya terbuka.”
Sheba masih dengan pertanyaan, “apakah hal yang paling jelek di dunia, yang paling indah di dunia, yang paling pasti dan sebaliknya yang paling tidak pasti ?” Sang Nabi menjawab, “hal yang paling jelek di dunia adalah kesetiaan memutar kesetiaan, sedangkan orang yang berdosa lalu bertobat adalah sesuatu yang paling indah, yang paling tidak pasti adalah masa depan, dan yang paling pasti adalah kematian.”
Hari hari berikutnya ia mendekati Solomon dengan pertanyaan lebih longgar, mulai menjurus soal pribadi. Batas-batas formal seorang ratu dan seorang raja mulai menipis. “Selagi hidup tidak bergerak, selagi mati bergerak, apakah itu ?” “Itu adalah kayu yang digunakan untuk membangun kapal,” jawab sang raja.
Masih ada lagi, “orang mati tetapi hidup, sebuah kuburan pindah, dan yang mati berdoa, apa itu ?” Sang Nabi menjawab, “itu adalah Nabi Yunus.”
Lalu, “apakah yang dimaksud dengan, 7 buah meninggalkan, 9 buah masuk, 2 buah terlibat, dan 1 buah minuman ?” Solomon membalas, “7 hari wanita menstruasi, 9 bulan kehamilan, 2 buah payudara menyusui, memberikan 1 minuman kepada si anak.”
Tidak ada lagi rasanya yang tidak diketahui dari diri Solomon, semua terbuka tidak satu pun yang tersembunyi, segala kelebihan dan kelemahan terutama ilmu yang Solomon miliki telah dicurahkan semua kepada Sheba. Demikian pula dengan diri Ratu Sheba, dengan cerdiknya Solomon berhasil menguak rahasia kakinya yang cacat. Solomon telah buat sedemikian rupa lantai istana dari bahan kaca seolah hamparan air. Naluri kewanitaan Sheba membuat dirinya lengah menyibak pakaian kebesaran menjadikan tampak kaki yang kurang lazim. Sheba mengakui kelebihan seorang lelaki yang tidak dimiliki seorang wanita siapa pun meski seorang ratu seperti dirinya. Diam-diam Sheba takluk, lelaki seperti Solomon pantas sebagai raja dan Nabi.
Sebha tidak bisa menyembunyikan perasaannya, benar benar kagum dibuatnya, bahkan timbul keheranan dalam benaknya, seseorang yang begitu bijaksana dalam memahami segala sesuatu, menyenangkan dan anggun, perilakunya halus dengan suara merdu, bermartabat, membalas budi secara diam-diam, serta menyiratkan takut akan Allah. Sudah 6 bulan tanpa terasa ia bersama Solomon, bersepakat bersama Solomon tidak satu pun yang tersisa tidak diketahui.
Dengan rendah hati Nabi Sulaiman membalas, “betapa sangat menyenangkan bisa menjawabmu, begitu manis tutur kata dan suaramu, keindahan yang engkau miliki, ucapanmu begitu anggun, dari bibirmu meluncur kemauanmu yang tulus. Aku telah melihat sendiri dirimu, memberikan hikmah yang tiada habisnya, seperti lampu dalam kegelapan, seperti butiran delima di taman, seperti mutiara di laur, seperti bintang pagi di langit, seperti fajar yang mulia dan matahari terbit di langit.”
Namun begitu alangkah sulitnya bagi Sheba menerima kenyataan dirinya telah jatuh di depan Solomon. Meskipun Solomon telah menyatakan dihadapannya bahwa Solomon telah menimang-timang kehadirannya dengan mengatakan, seorang wanita begitu indah telah datang dari ujung bumi, apakah sesungguhnya yang menjadi kehendak Allah. Akankah Allah berkehendak akan memberikan dari wanita itu keturunan kepadanya ?
Bagi Sheba, ia tidak ingin tergoyahkan dengan pengakuan itu. Dengan agak risau ia bisikkan kepada Solomon, “aku datang kepadamu sebagai seorang ratu yang perawan. Akankah aku kembali dalam keadaan terampas keperawananku, dan menanggung derita aib dalam kerajaanku ?”
Solomon tidak menyiakan apa yang ada di depannya. Meskipun sebuah kenyataan tidak ia ketahui benar, tetapi ia adalah seorang raja yang agung, yang tidak ingin kehendaknya tidak tercapai. Bahkan ia telah mengakui dan telah mengatakannya. Itu keluar dari hati yang tulus. Paling tidak ia jujur pada dirinya sendiri sebagai pribadi yang telah jatuh hati dan dengan tulus ingin menjadikan Sebha seorang istri.
Solomon meyakinkan Sheba, “aku hanya akan mengambil engkau sebagai permaisuri yang sah. Aku adalah Raja, dan engkau menjadi Ratu. Engkau boleh menetapkan sebuah perjanjian bahwa engkau hanya menjadi istriku ketika engkau datang kepadaku pada malam hari ketika aku berbaring sendirian, di atas bantal di tempat tidurku.”
Agak getir rasanya ucapan itu, Solomon bukan tidak menyadari pernyataannya. Mungkin sebagai seorang ahli diplomasi tingkat dunia, ia pandai berstrategi, tengah membuat pertempuran kali ini kalah. Itu jelas ucapan orang kalah. Ia mungkin memperoleh seorang permaisuri, tapi belum tentu memperoleh keperawanan Sheba. Bukan Sheba tidak menyadari posisinya, tetapi sungguh keadaannya semakin sulit, posisinya menjadi terpojok. Ia mengeluh, terbayang negerinya di jauh sana. Ia telah mereguk kebahagiaan tiada tara, banyak menimba pengetahuan sang Nabi dan hatinya mengalami pencerahan bisa menerima Tuhan orang Israel, tetapi sekaligus ia tengah mulai merajut penderitaan baru. Ia seorang ratu, akan menjadi permaisuri seorang raja besar tetapi ia harus meninggalkannya, dalam tempo segera, kembali ke negeri sendiri.
Dengan sisa-sisa daya yang ada, Sebha meminta, “bersumpahlah kepadaku dengan nama Allah-mu, Allah Israel, bahwa engkau tidak akan mengambil aku dengan paksa. Sebab bila aku tergoda menjadi tak berdaya menyerahkan kegadisanku, aku akan pulang dalam keadaan menderita, penuh kesedihan dan kesengsaraan.” Solomon segera membalas dengan sungguh-sungguh permintaan Sheba, meski dibumbui sedikit gurauan. “Aku bersumpah kepadamu bahwa saya tidak akan mengambil engkau dengan kekerasan. Sebaliknya engkau harus bersumpah kepadaku bahwa engkau tidak akan mengambil dengan paksa apa pun yang ada di istanaku.”
Wajah Sebha nampak ceria, ketawanya tersisa dibibir sembari berujar, “masak seorang bijaksana berkata seperti itu. Janganlah engkau bayangkan aku datang jauh-jauh hanya karena soal harta kekayaan. Kerajaanku sama kayanya dengan kerajaanmu, tidak ada yang kuharap untuk itu, aku datang hanya untuk mencari kebijaksanaanmu.” Nampaknya Sheba ingin melepas bebannya yang terakhir ketika ia meminta lagi kepada Solomon, “bersumpahlah kepadaku bahwa engkau tidak akan membawa saya dengan kekuatanmu. Dan aku bersumpah tidak akan mengambil hartamu dengan paksa.”
Jari jemari tangannya seolah tanpa tulang, membiarkan dalam genggaman tangan suaminya tanpa daya. Sayup-sayup terdengar suara disisinya, “ikuti aku sekarang, duduklah engkau disampingku, duduklah dengan anggun dan megah. Aku akan kabarkan apa yang telah menjadi keputusanmu.” Ia tenggelam malam ini, dalam pesta besar untuk mengumumkan adanya seorang permaisuri, yakni dirinya, yang sudah diikat dalam perjanjian bersama dalam teks bahasa Arab. Raja dan Ratu duduk berdampingan diatas singgasana megah. Raja Solomon nampak sekali memperlihatkan suka citanya.
Pesta berjalan sangat meriah, penuh suka cita, menyambut seorang pemaisuri. Di kerajaan kini telah mempunyai seorang permaisuri, yang datang sejauh ribuan mil tanpa diundang, seakan Tuhan mengirimkan khusus bagi sang raja yang belum beristri. Berdua menikmati hari bahagianya, makan dan minum sambil berbincang bincang hingga larut. Mungkin saja terasa kelelahan, Solomon menyarankan Sheba tidur ditenda bersamanya. Sheba tidak menolak. Sheba memilih tidak kembali ke apartemen. Sheba ingin merasakan perangkap yang disiapkan Solomon. Sekarang saatnya ia menjadi permaisuri malam ini disisi raja Solomon.
Perangkap Solomon baru disadari setelah ia terbangun dari tidurnya. Betapa haus dirasakan tanpa ditemukan air sedikit pun ditenda, kecuali sebotol air disisi tidur Solomon. Dahaga mendorongnya mengambil air Solomon. Dan Solomon pun terjaga karenanya, lalu tegurnya, “mengapa engkau melanggar sumpahmu, katanya engkau tidak akan mengambil barang milikku ?” Sambil ketakutan Sheba berusaha bisa menjawab, “apakah sumpahku rusak hanya karena sebotol air minum ? Bebaskan aku dari sumpahmu, biarkan aku minum air ini,” pinta Sheba merengek. Solomon mengijinkan Sheba meminumnya. Sheba kemudian tidur bersama Solomon dan permaisuri kini terperangkap dalam dekapan sang raja.Ω
(sumber bahan : Kitab Kebra Negash)