Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Agresi Amerika terhadap Irak dalam Operasi Pembebasan Ditinjau dari Teori Konstruktivisme

17 November 2022   11:53 Diperbarui: 17 November 2022   11:55 644 0
Agresi Amerika terhadap Irak dalam Operasi Pembebasan Ditinjau dari Teori Konstruktivisme

Dalam studi kasus ini penulis menganalisis kasus menggunakan Teori Konstruktivisme. Konstruktivisme memiliki perspektif teoritis alternatif terhadap neo-neo dalam Studi HI kontemporer, Relevansi konstruktivisme sebagai penyedia kerangka analisis dan instrumen riset HI dapat dipetakan dalam dua area pokok dengan varian tematis masing-masing yang lebih spesifik. Pada 1980, Irak melakukan invasi terhadap Iran. Invasi ini dikenal dengan nama Perang Teluk I. Pertempuran yang terjadi antara AS dengan Irak perihal invasi Kuwait dikenal dengan nama Perang Teluk I (Persian Gulf War I). Sebelum pertempuran antara pasukan aliansi dan Irak terjadi, pada tanggal 3 Agustus Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan Irak untuk menarik diri dari Kuwait, dan pada 6 Agustus dewan tersebut memberlakukan sanksi ekonomi berupa larangan perdagangan dengan Irak di seluruh dunia. Setelah Perang Teluk I ini, Irak dan Iran membuat perjanjian gencatan senjata. Khususnya Irak membuat janji untuk Tidak melakukan invasi ke negara-negara tetangganya. Tetapi pada 1990 Irak melakukan invasi lagi, kali ini terhadap Kuwait. Invasi ini dinamakan juga Perang Teluk II. penyerangan ini menarik perhatian internasional. PBB langsung memberi peringatan ke Irak untuk segera cabut dari Kuwait. Karena Irak tidak patuh terhadap peringatan PBB, bahkan sampai sudah diberi ultimatum, Irak menghiraukan ultimatum tersebut kemudian sesuai dengan tanggal yang dijanjikan dalam ultimatum tersebut pada tanggal 15 Januari tahun 1991, PBB akhirnya mengirim pasukan multinasional untuk membantu Kuwait. pasukan aliansi yang semula mengumpulkan 600.000 pasukan, kini telah bertambah jumlahnya hingga mencapai 700.000 pasukan. Pasukan tersebut terdiri dari 540.000 pasukan AS dan sejumlah kecil dari negara aliansi seperti Inggris, Prancis, Mesir, Saudi, Suriah, dan berbagai negara lainya.

Dalam studi kasus ini, penulis menggunakan teori konstruktivis sebagai penyebab utama perang AS-Irak 2003. Penyebab perang adalah beberapa alasan yang digunakan AS sebagai pembenaran untuk menyerang Irak: Misi Pembebasan ke Irak. Bush percaya bahwa pemimpin Irak saat itu Saddam Hussein telah melakukan banyak kekejaman yang melanggar hak asasi manusia dan merupakan seorang diktator yang perlu digulingkan. Beberapa yang dilakukan Saddam adalah memimpin invasi ke Kuwait (Perang Teluk Kedua) dan membantai suku Kurdi, salah satu suku Irak. Di bawah Saddam Hussein, orang Irak menikmati kekayaan minyak Irak, tetapi siapa pun yang menentang pemerintah disiksa dan dieksekusi. Kedua, adanya dugaan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal atau WMD (Weapons of Mass Destruction). Ketiga, Amerika Serikat mencurigai Saddam Hussein ada hubungannya dengan serangan 9/11. Afghanistan tetap menjadi tersangka utama. Tapi konon Irak ikut membantu suplai senjata untuk pelatihan teroris di sana. Hal ketiga inilah yang menyebabkan Irak berperang melawan Amerika.

Pada 19 Maret 2003, invasi AS ke Irak dimulai dengan penjatuhan bom di kota Baghdad. Amerika Serikat bekerja sama secara militer dengan Inggris di bawah pemerintahan Perdana Menteri Tony Blair. Dari serangan pertama ini, Amerika dengan cepat menguasai Baghdad. Sementara itu, Inggris menguasai wilayah Bashra. Apa yang diinginkan AS dan Inggris dari serangan ini adalah untuk menemukan senjata pemusnah massal yang menurut Irak mereka miliki, dan juga menginginkan Saddam Hussein menyerah sehingga dia dapat diadili atas tindakannya.merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Irak tidak merasa memiliki senjata pemusnah massal dan tidak keberatan dengan inspektur senjata PBB yang "mencari" Irak untuk senjata semacam itu. Tapi untuk keinginan kedua, Saddam Hussein dengan enggan menyerah dan malah bersembunyi. Sejauh ini, senjata pemusnah massal Irak belum ditemukan, yang menjadi dalih bagi AS dan Inggris untuk membenarkan invasi militer mereka ke negara tersebut. Oleh karena itu, wajar bila kedua negara ini dipandang sebagai pembohong dalam menjalankan ambisinya menyerang Irak dan menggulingkan Saddam Hussein. Bahkan, pada 1 Mei 2003, tepat 41 hari setelah serangan pertama dimulai, perang dinyatakan berakhir dengan kemenangan Amerika. Namun, AS belum segera meninggalkan Irak karena masih mencari Saddam Hussein. Baru pada 13 Desember 2003, Saddam Hussein akhirnya ditemukan bersembunyi di bunker bawah tanah di Ad-Dawr, dekat Tikrit, tempat kelahirannya. Dia kemudian dieksekusi pada 30 Desember 2006. Dan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Saddam Hussein adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini ada hubungannya dengan apa yang dia lakukan di Kuwait dan Kurdi.

Dampak invasi Amerika mengakibatkan banyak korban jiwa. Mulailah dengan kerusakan infrastruktur negara secara fisik dan sosial. Berbicara mengenai korban jiwa, tercatat sekitar 80.000 warga sipil tak berdosa tewas. Dalam hal pendidikan, Irak adalah negara dengan tingkat partisipasi yang tinggi sebelum perang, untuk sekolah dasar tingkat partisipasi mencapai 100%. Irak pun harus menerima kehancuran kota Bagdad, termasuk Masjid Al-Askari sebagai bukti sejarah paling awal peradaban manusia. Perang ini juga menyebabkan disintegrasi kelompok etnis di Irak dan munculnya politik sektarian. Politik faksional ini adalah paham kebencian yang timbul terhadap kelompok hingga menimbulkan diskriminasi. Selain itu, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat bahwa pada September 2007, lebih dari 4 juta warga Irak telah dideportasi dari rumah mereka sendiri. UNHCR juga mencatat sekitar 2,5 juta pengungsi Irak dan 2,2 juta pengungsi eksternal melarikan diri ke negara tetangga seperti Lebanon, Yordania, Suriah, Turki dan Mesir.
Pada tahun 2010, UNHCR mencatat bahwa dari 31,5 juta warga Irak, 3,5 juta tinggal di kamp pengungsian. Kamp pengungsian ini tidak lepas dari masalah seperti kondisi perumahan, ketahanan pangan dan akses ke perawatan kesehatan. Lembaga Penilaian Ketahanan Pangan melakukan survei dan menemukan bahwa dari 1.188 rumah tangga pengungsi di Irak, 57% mengalami kekurangan pangan.

Meskipun perang memiliki banyak efek negatif pada orang-orang, itu tidak sebanding dengan kerugiannya, tetapi ada satu hal baik yang dapat diperoleh rakyat Irak dari invasi ini. Ini adalah pertama kalinya orang Irak tahu tentang sistem pemilihan umum. Pemimpin sebelumnya, Saddam Hussein, memang seorang diktator dan kepemimpinannya tidak bisa ditentang. Jadi sistem demokrasi seperti pemilu ini akan menjadi hal baru bagi rakyat Irak dan dapat membuat pemerintah Irak tidak lagi otoriter seperti dulu. Selanjutnya, kehadiran perusahaan asing di ladang minyak Irak semakin meningkatkan optimalisasi pengelolaan minyak mereka. Irak memiliki cadangan minyak terbesar kelima di dunia karena minyak Irak dapat dikelola dengan teknologi unggul. Pada 15 Desember 2011, Perang Irak dinyatakan berakhir. Hal ini ditandai dengan deklarasi Menteri Pertahanan AS Leon Panetta tentang penyelesaian misi militer AS di Irak.

Dari studi kasus Agresi Amerika terhadap Irak dalam Operasi Pembebasan ini dapat disimpulkan bahwa Amerika terhadap Irak Ditinjau dari Teori Konstruktivisme, Amerika Serikat bertujuan menyingkirkan Saddam Hussein dan menggantikan pemerintahan Irak dengan kepemimpin yang pro dalam demokrasi AS agar dominasi perusahaan-perusahaan pengelola minyak AS di Irak semakin berkembang. Tindakan agresi merupakan alat untuk mencapai tujuan tersebut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun