Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Mental Setelah Kelulusan

15 Mei 2011   13:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:39 95 0

Besok seharusnya menjadi hari yang mendebarkan bagi seluruh siswa Sekolah Menengah Atas di Indonesia. Besok kami akan menerima hasil kami setelah tiga tahun menuntut ilmu. LULUS / TIDAK LULUS. Dua pilihan yang hanya terpisah tanda garis miring dengan makna yang sangat jauh berbeda.

Yah memang seharusnya kami baru mengetahui hasil itu esok. Undangan orang tua yang telah disebarkan pun semakin membuat kami tegang karena hasil kami harus diketahui langsung oleh orang tua kami. Tak ada kesempatan untuk menyampaikan flowery words pada orang tua kami. Tapi malam ini kami ternyata tak merasakan ketegangan yang seharusnya kami rasakan itu. Kami sudah menerima hasilnya tadi malam mejelang tengah malam. Sekolah saya untungnya keluar dengan hasil sangat luar biasa. Seratus persen. Namun, berita yang seharusnya kami dengar besok senin, ternyata sudah kami ketahui sabtu malam. Tapi tak hanya sekolah kami. Tapi, yasudahlah alhamdulillah.

Tapi permasalahan selanjutnya adalah, apakah mental kami sudah cukup puas dengan predikat ”LULUS” itu saja? Tentu tidak. Mental ini masih berbayang ketakutan pada tes SNMPTN tulis. Hanya dua pilihan jurusan dan universitas saja yang bisa kami pilih (untuk IPA dan IPS sedang IPC masih tetap 3 pilihan). Kesempatan yang akan diperebutkan oleh ribuan orang.

Jurusan – jurusan favorit serta universitas – universitas beken masih menjadi tujuan utama bagi mayoritas calon mahasiswa ini. Tapi, kesempatan ini terbatas. Tidak boleh melulu melihat ego saja. Lalu pula bila universitas biasa yang kekurangan siswa bagaimana? Bila banyak yang nekat bagaimana? Sehingga banyak yang tidak diterima bagaimana? Lalu apakah kemudian diabaikan sehingga menjadi kompetitor baru di SNMPTN tahun depan? Masih rancu.

Tapi sekali lagi tahun ini angkatan saya menjadi uji coba. Tepat tiga tahun lalu, saya yang sedang menempuh tahun ketiga di Sekolah Menengah Pertama saya menjadi uji coba pertama kali ketika Biologi dimasukkan ke dalam Ujian Nasional. Tapi, bukan masalah uji coba yang selalu dikenakan pada angkatan saya. Tapi persoalan siapkah mental kita bersama untuk dihadapkan pada masalah baru yang akan muncul setelahnya seolah masih diacuhkan.

Tantangan – tantangan baru justru menjadi momok baru. Tak memperbaiki kualitas tapi hanya menambah kuantitas. Misal saja dengan momok baru dan ketakutan yang bertambah pula, siswa, sekolah, dan bahkan orang tua terkadang menghalalkan banyak cara untuk melampaui momok itu. Mental seperti ini dikatakan sudah siap? Siap MENANG? Saya rasa ini adalah mental siap MENANGgung malu. Saya belum sempurna. Teman – teman saya pun belum sempurna. Tapi, kesempurnaan itu tak akan pernah tercapai jika tak ada niatan untuk menyempurnakannya. Sama saja dengan pendidikan Indonesia tak akan bertambah baik, jika tak mau terbuka menerima kritik dan mau memperbaikinya. Jika butuh rakyat, kami siap sedia!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun