Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Menulis Itu Mudah

22 November 2021   10:25 Diperbarui: 22 November 2021   10:59 60 1
"Bagaimana Cara Memulai Menulis?"

Di sini, saya tidak memberi embel-embel "Dengan Baik dan Benar." Sebab, untuk pemula, jangan pernah pikirkan "Apakah tulisan saya ini baik, ya?", "Apakah tulisan saya ini sudah benar, ya?"

Garis bawahi kata ini. "Jangan"

Kenapa?

Salah satu alasan kita tidak bisa sampai ke titik finish hingga berhasil punya karya, karena terlalu banyak mikir saat mau melangkah. Gimana jika ini? Gimana jika itu?

Ujung-ujungnya, waktu terbuang hanya untuk berpikir saja. Waktu tidak bergerak lambat sehingga kita sia-siakan untuk berpikir, maka dari sekarang yuk ber-aksi.

Jika bisa memulai sekarang, kenapa harus nunggu bagus dulu?

Tapi saya takut banyak salah, dialog tag tidak sesuai kaidah, dialog aksi tidak sesuai juga.

Saya ada sedikit cerita, ini terjadi pada diri saya sendiri dalam buku yang saya cetak pertama kali bahkan ber-ISBN. Apa uniknya? Saya tidak punya modal sama sekali kecuali keyakinan pada diri sendiri, PUEBI, KBBI, semua kaidah penulisan kala itu saya NOL banget.

Setelah ikut kelas menulis, dan sedikit tahu alur pembuatan novel. Ada tema, konflik, penyelesaian. Nah, saya hanya pegang tiga ini dari sekian banyak materi yang diberikan.

"Aku harus bisa, toh bukan kah membuat novel itu sama halnya dengan kita menceritakan kehidupan nyata. Hanya saja kita ubah namanya saja."

Saya mulai menulis, tidak peduli komentar miring orang. Bukankah komentar itu perlu sekali kita saring? Yang baik kita ambil, yang buruk kita buang. Sesimple itu.

Akhirnya, cerita itu rampung dalam kurun waktu kurang lebih 1 bulan. Setelah mengalami beberapa drama penerbitan, beberapa part cerita itu sudah saya up di WP kala itu, ternyata saya mendapat notif, ada yang berminat dan ingin segera memeluk novel tersebut.

Saya semakin bersemangat, "Ini harus segera cetak."

Kala itu saya masih tidak terlalu terkesan dan pusing jika dibahas-kan PUEBI, KBBI, dsb.

Setelah PO, benar-benar tidak menyangka bahwa penerbit berani mencetak 100 eks, percaya bahwa novel tersebut akan laku di pasaran. Dan hasilnya, alhamdulillah.

Jika saya baca sekarang? Bagaimana isi novel tersebut?

Tentu banyak sekali dialog tag, dialog aksi, dan kata yang tidak sesuai dengan PUEBI, KBBI. Dari sini saya perlahan belajar, ikut pelatihan lagi, ikut event sering dikomen habis-habisan sama para mastah. Saya tidak apa-apa, tidak baper justru semakin semangat. "Saya memang masih belajar, maka membuat kesalahan itu wajar." Demikian yang saya pegang.

Beberapa kali harus revisi, akibat masih ada saja susunan kalimat yang tidak sesuai aturan bahasa.

Hingga akhirnya, saya terus menghasilkan karya hingga saat ini. Berawal dari nol, dari ketidak tahuan.

Maka, apa semua bisa berkarya? Pasti bisa.

Gimana caranya?

 1.  Jangan persulit diri dengan memikir hal di luar kendali kita.
Tulis semampu kita, apapun itu masukkan saja dalam tulisan kita.

 2.  Lihat sekitar kita, ada barang? Atau apapun itu yang kita lihat.
Contoh: Pohon, coba kita rangkai dari satu kata ini menjadi beberapa kata bahkan hingga menjadi kalimat.

Pohon di depan rumah tua tertiup angin, membuat daun-daun berwarna hijau itu bergerak meliuk-liuk, sementara daun yang menguning dan kering harus gugur.

Dari kata pohon, kita sudah bisa membuat kalimat. Maka bagaimana jika beberapa kata yang bisa kita temukan?

 3.  Hadirkan khayalan. Ibaratnya kita penentu nasib dari tokoh-tokoh dalam sebuah cerita kita. (Dalam dunia nyata, tentu ada tokoh yang berperan dalam menjalani kehidupan)
 
Misal kita buat tokohnya bernama Rini. Hubungkan dengan pohon yang tadi.

Rini terlihat begitu murung, ia menopang dagu dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri ia gunakan untuk memainkan ranting, mengukir sesuatu yang entah apa di tanah.

 4.  Kok ternyata setelah membuat kalimat di atas, perlu adanya dialog. Maka tambahkan dialog. Ingat, jika belum paham kaidah dialog aksi atau dialog tag dan lainnya. Jangan dijadikan beban. Pelajari sambil berjalan. Bukankan teori yang kita dapat sambil praktek itu akan lebih menghasilkan?

Misal kita buat Rini sedang sedih, maka seolah-olah ia sedang meratapi nasibnya.

"Kenapa aku harus menerima semua ini? Teman-temanku menjauhiku, sekarang saudaraku sendiri enggan bermain denganku. Apa salahku?"

"Ya Allah, kirimkan satu teman saja untuk  menemaniku. Aku benar-benar merasa kesepian," ucap Rini, sembari menengadahkan tangannya dengan air mata bercucuran.


 5.  Hal yang tak kalah penting selain narasi dan dialog yang kita buat sedemikian rupa, kita juga dilarang keras melakukan edit-edit hingga cerita benar-benar rampung.

Kenapa? Sebab, kita pasti akan menghapusnya.

Ah ini kayaknya tidak pas deh. Jika ini dihapus? Duh, ini jelek. Ujung-ujungnya, kembali ke awal, enggan melanjutkan.

Namun, jika tulisan kita sudah berhalaman-halaman. Maka tentu merasa eman yang mau menghapus atau lainnya. "Eman banget, udah 25 halaman. Tanggung ah, mau dilanjut aja."

Nah, eman banget jika sudah 25 halaman, sudah berapa jumlah kata yant berhasil kita rangkai, masak mau dihapus.

Endingnya, dengan drama di atas. Kita berhasil punya satu karya.

Minimal, kita bisa ulangi dengan menulis cerpen.

Cerpen, menurut Burhan Nurgiyanto dalam bukunya. Cerita yang jauh lebih singkat dari novel, cerpen ialah cerita yang bisa diselesaikan sekali duduk oleh pembacanya. Menurut Kurnia Effendi, sastrawan Indonesia, misalkan sedang menunggu bus, cerpen itu selesai dibaca saat bus itu datang. Maka, misal dibaca di dalam bus, cerpen itu selesai sebelum bus itu sampai. Sesingkat itu untuk cerpen.

Mungkin ini saja yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat. Jika ada kesalahan kata semata-mata dari saya, saya ucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Untuk selanjutnya, saya kembalikan pada moderator.










KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun